Gadis manis ber-usia 13 tahun tengah memejamkan matanya erat, sudah menutup telinga rapat-rapat namun suara pertengkaran di luar kamarnya masih saja terdengar.
Mereka yang bertengkar adalah Mama serta Papa gadis itu. Aurora, ya, namanya Aurora atau sering kali dipanggil Ara.
Pertengkaran antara Mama dan Papa Ara sudah berlangsung kurang lebih 15 menit, waktu yang lama hanya untuk mendengar kegaduhan saja.
Disana, Mamanya tengah menahan Papanya untuk tidak pergi menemui istri keduanya. Ya, Papa Ara memiliki 2 istri, Mamanya adalah istri pertamanya.
Dulu Mama dan Papanya sudah menikah selama 2 tahun, namun mereka belum juga dikaruniai momongan. Hingga akhirnya diam-diam Papanya menikah lagi, tapi tidak lama Mamanya mengetahui itu. Mamanya marah besar, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Tiga bulan Papanya menikahi istri keduanya, istri keduanya dinyatakan hamil. Mama cemburu, dia yang sudah 2 tahun menikah kenapa belum juga diberikan seorang anak? Apakah tuhan tidak mempercayainya untuk menjaga seorang anak? Tanpa di duga, ketika istri keduanya hamil 3 bulan, Mamanya dinyatakan hamil--mengandung Ara.
Bisa dibayangkan sudah berapa lama Papanya menafkahi kedua istrinya?
Mama Ara menangis meraung-raung memohon agar Papanya tidak pergi, namun Papa bersikukuh ingin pergi dengan alasan 'adil'. Satu bulan di sini, dan satu bulan di rumah istri keduanya. Besok giliran Papa bersama istri keduanya. Tapi Mamanya menahan Papa agar tidak pergi.
Perlahan Ara turun dari ranjang tidurnya. Membuka pintu sedikit dan menyembulkan kepalanya mengintip ke luar.
Entah mengapa perasaan Ara tidak enak ketika melihat Papanya akan pergi, sepertinya Mamanya juga merasakan hal yang sama. Maka sebab itulah Mamanya menahan Papanya untuk tidak meninggalkan mereka.
"Papa..." lirih Ara seraya membendung air matanya agar tidak luruh. Tapi pertahanannya sia-sia ketika melihat Papanya menampar Mamanya karena terlanjur kesal, air mata itu luruh membasahi pipinya.
"Papa..." panggil Ara dengan nada sedikit meninggi. Papa serta Mamanya menoleh ke arahnya.
"Jangan pergi Pa, perasaan Mama ngga enak! Kamu tega ninggalin putri kamu itu!" kata Mama Ara sembari menunjuk Ara. Tatapan Ara tidak beralih dari Papanya, begitupun Papanya yang tidak memutuskan kontak mata dengan dirinya.
Ara yang tidak tau harus melakukan apa, hanya bisa menangis seperti Mamanya. Ia takut jika ia menahan Papanya untuk pergi, nanti malah dimarahin seperti Papanya yang memarahi Mamanya.
"Aku harus pergi, aku udah berusaha untuk berlaku adil. Sekarang giliran aku bersama mereka. Bulan depan aku pasti kesini lagi. Kamu ngga bisa larang aku pergi." ucap Papanya.
"Aku berhak larang! Aku istri kamu!" jerit Mama. Papanya menoleh ke arah Mama, ia melangkah lebih dekat mendekati Mama. Papa mengelus pipi Mama yang sedikit memerah bekas tamparannya, ia mengelus bekas itu dengan pelan.
Ia tidak bermaksud menampar istrinya, hanya saja tadi ia sudah hilang kesabaran. Tapi ketika menatap putrinya, kesabarannya tumbuh kembali.
"Maaf," lirihnya pada Mama. Mama memeluk Papa erat, seakan-akan ia tidak akan lagi bertemu dengan suaminya itu. Papa mengelus tengkuk Mama dengan sayang.
"Aku harus pergi, kamu memang istri aku, tapi aku harus adil karna istri aku bukan cuma kamu. Sabar ya, bulan depan aku pasti kembali. Kamu baik-baik, jaga Ara. Kalau kamu butuh sesuatu, hubungi aku."
Bohong. Nyatanya laki-laki itu tidak kembali hingga sekarang Aurora sudah ber-umur 23 tahun.
Tidak ada Papanya, terpaksa Mamanya bekerja banting tulang untuk memberikan Ara sesuap nasi. Bekerja menjadi seorang pelayan di restoran, pembantu, dan masih banyak lagi. Hingga ketika Ara ber-usia 17 tahun atau kelas 12 SMA, Mamanya setres karena bekerja terlalu cape, juga banyak tekanan yang membuat Mamanya Down.
Dua tahun Mamanya berada di rumah sakit jiwa, selama itu juga Ara hidup sendiri, mencari makan sendiri, dan kerja apapun sebagai sampingan.
Ia kuliah dengan uangnya sendiri. Ketika Mamanya kembali kerumah, Mamanya lebih banyak berdiam diri di kamar. Kini Ara harus memberi makan Mamanya juga, sehingga biaya pengeluaran lebih banyak.
Namun perjuangannya itu tidak sia-sia. Kini ia memiliki distro/toko baju yang sudah tersebar diberbagai kota. Tentu saja Ara bangga dengan dirinya sendiri. Ia bisa membeli rumah sendiri, menggaji beberapa pelayan di rumahnya, dan seorang suster yang bekerja untuk merawat Mamanya.
Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu. Tapi rasa benci kepada Papanya masih melekat hingga sekarang.
***
Jessica memeluk erat putrinya, ia sangat rindu pada putrinya ini setelah hampir seminggu ia tidak bertemu dengan putrinya Sela, karena putrinya itu pergi mengindap di rumah temannya.
"Kamu baik-baik aja, kan, Nak?" tanya Jessica pada Sela. Sela mengangguk seraya tersenyum lebar.
"Bagus, udah ada yang nunggu kamu di dalam." kata Jessica membuat alis Sela menaut bingung.
"Siapa, Ma?"
"Ayo liat sendiri aja!"
Sela dan Jessica berjalan bersama memasuki rumah bak istana itu, ternyata sudah ada banyak orang berada di ruang makan.
Ada apa ini?
Ketika mendengar suara langkah kaki mendekat, serentak yang tengah duduk di kursi meja makan itu menoleh ke arah Sela dan Jessica.
Sela tersentak, lalu ia tersenyum canggung pada semuanya. Ia menatap satu persatu orang di sana. Ada Papanya, Kaka laki-laki dan Istrinya. Dan ada seorang wanita dan laki-laki yang sepertinya seorang pasutri. Matanya berhenti pada wanita baya yang menatapnya kagum, kenapa?
Sela duduk di samping Mamanya, tepatnya di depan wanita baya itu.
"Wah ini anak kamu itu, Jes?" tanya wanita itu dengan binar senang di matanya mengarah pada Sela.
"Iya... Sela kenalin ini Bunda Jia, dan Pa Farhan."
Sela mengangguk lalu tersenyum lebar pada keduanya.
"Mereka siapa, Ma?" bisik Sela pada Jessica.
"Calon mertua kamu."
"APA--aw!" Sela mengaduh ketika kakinya terasa diinjak, pasti Mamanya yang menginjak kakinya. Dikira ngga sakit gitu ya!
"Jaga etika, Sela!" bisik Jessica namun terdengar tegas sekali.
"Maksud Mama apa jodoh-jodohin Sela? Sela ngga suka ya!"
"Jessica, Sela!" tegur Atama karena melihat Istri dan Putri berbisik-bisik, itu tidak sopan di depan tamu!
"Maaf Pa," ucap Sela.
Jessica tersenyum tidak enak ke arah Jia, Jia membalas tersenyum memaklumi.
"Oh Iya, putra kamu kemana, Bun?" tanya Jessica pada Jia.
"Tadi ke toilet dulu Jes, kebiasaan emang dia." cibir Jia untuk putranya. Jessica terkekeh pelan.
"Iya enggak apa-apa, kita tunggu aja."
"Aku disini!" ujar seorang laki-laki, dia adalah anak Jia dan Farhan. Sela menoleh ke arah sumber suara, seketika matanya membola ketika tatapannya bertemu dengan laki-laki itu.
"Loh, Addison?"
***
Lah? Addi? Canda Addi.
Udah 32 chapter aja, seneng banget masih ada yang bertahan sama masih ada yang semangatin aku buat tetep lanjutin HAILA. Jujur aja, semangat dari kamu itu bener-bener jadi mood buat aku buat lanjutin cerita ini.
Terimakasih banyak❤!
Follow instagram aku yuk hhe😁 @Mila.khns
Salam manis, Mila
KAMU SEDANG MEMBACA
HAILA
Romance[Follow dulu sebelum baca ya, artinya kamu support aku^^ Akan direvisi setelah ending.] "Bulan akan tetap bersinar meskipun tanpa aku." -Haila Putri Annisa Hanya cerita kecil saat dunia jarang sekali berpihak kepada ku. Aku hanya bisa menunggu, kapa...