💌 TIGA PULUH TIGA 💌

824 79 33
                                    

Aurora duduk di kursi salah satu kafe, tengah menunggu seseorang dengan bosan. Sudah 10 menit ia menunggu, namun orang yang ia tunggu belum juga terlihat batang hidungnya.

Ia melirik pada seseorang berbaju hitam di meja seberangnya, dia adalah tangan kanan Aurora.

Tidak lama kemudian orang yang Aurora tunggu akhirnya datang juga. Orang yang ditunggu itu duduk di depan Aurora, ada sebuah meja menjadi pembatas keduanya. Senyum lebar di bibirnya membuat Aurora mendengus, apakah laki-laki itu tidak merasa bersalah setelah membuat dirinya menunggu lama?

"Maaf lama," ucap laki-laki itu.

"Kamu membuang 12 menit ku sia-sia." kata Aurora. Aurora adalah gadis yang ramah dan ceria, namun jika ia sudah tidak suka dengan sesuatu, ia tidak akan segan-segan membuat yang tidak disukainya itu tersingkirkan.

Tapi kemarin-kemarin, ia sudah kalah dengan pendiriannya itu. Belum sempat ia menyingkirkan yang tidak ia sukai, sialnya ia malah terjatuh dalam permainannya sendiri. Namun itu yang terakhir, karena sekarang tidak akan lagi terjadi hal seperti itu.

Berhubung ini masih menyangkut yang kemarin, ia sedang ingin berbicara serius dengan laki-laki di depannya ini.

"Yaudah." Adit, laki-laki itu mengangkat bahunya tidak peduli, tapi ketika melihat tatapan Aurora yang tajam menusuk, ia terkekeh pelan seraya mengangkat kedua jarinya.

"Damai..."

Aurora berdecak.

"Cukup, sekarang kita serius."

"Mbanya mau di seriusin?"

Brak

"Oke maaf, ayo kita serius--ke pelaminan." Di ujung kalimat Adit sedikit berbisik namun ternyata Aurora masih dapat mendengarnya. Aurora mendelik, lagi-lagi Adit terkekeh.

"Oke serius, jadi bagaimana, Nona? Aku setuju untuk ikut rencana ini." ucap Adit. Aurora mengangguk kecil karena laki-laki di depannya ini sudah mulai serius.

"Bagus, yang harus kamu lakukan cukup mudah. Dengarkan apa yang aku katakan, dan kamu harus melakukannya, setuju? Sebagai imbalannya aku akan memberikan apa saja yang kamu mau." jelas Aurora.

"Setuju, aku juga tidak ingin apa-apa selain satu hal--eh, dua hal." kata Adit, Aurora mengangguk.

"Katakan."

"Aku cuma ingin Haila dan putrinya tidak terlibat dan mereka selamat." Aurora terdiam mendengar permintaan dari Adit.

"Aku tidak janji."

Adit menautkan kedua alisnya, menatap Aurora dengan tatapan menusuk. Sekilas Aurora terpana dengan tatapan itu, namun ia bisa langsung mengontrol raut wajahnya. Ia menatap Adit dengan tatapan menantang.

"Jangan usik mereka, kalau kamu masih ingin hidup dengan tenang." kata Adit, mengancam. Tapi Aurora tidak takut, seolah itu hanya ancaman yang tidak akan Adit lakukan padanya.

"Coba saja kalau bisa."

***

Addi dan Sela duduk di teras rumah Sela. Mereka lesahan, duduk di atas lantai keramik tangga, posisinya bersebelahan.

"Apa alasan kamu terima perjodohan ini? Apalagi sama anak SMA kaya aku, kamu harus nunggu beberapa tahun dulu kalau mau nikah sama aku. Kamu ganteng, kaya, kenapa ngga cari wanita lain aja? Kalau alasannya karena ngga ada yang mau sama kamu, aku ngga percaya."

Addi terkekeh mendengar penuturan dari Sela.
"Kalau emang bener ngga ada yang mau sama aku, gimana?" tanya Addi.

"Ya enggak gimana-gimana, itu urusan kamu." jawab Sela acuh.

HAILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang