💌 TIGA PULUH SATU 💌

588 61 25
                                    

Satu minggu Haila menghabiskan waktunya di Rumah Sakit dengan rasa bosan. Tapi akhirnya, hari ini ia sudah di izinkan pulang. Arman yang akan mengantar Haila pulang secara diam-diam.

Selama itu juga Sela memerankan perannya sebagai pendonor ginjal Teressa dengan baik. Entah ada hubungan apa Sela dengan Rumah Sakit ini hingga ia melakukan perannya yang terlihat sangat natural seolah Sela lah yang benar-benar mendonorkan ginjalnya pada Teressa.

Apakah keluarga Sela tau apa yang dilakukan Sela? Tentu saja tidak. Ia membuat bualan sampai keluarganya paham dan percaya. Apakah ia bersekolah? Tidak, Sela yang memang dekat dengan salah satu guru di sekolahnya sudah mengirim surat bahwa Sela sakit dan sedang dirawat di rumah sakit--tanpa memberitahu ia sakit apa--beruntung guru itu percaya saja.

Dan bagaimana Sela bisa menginap disini? Mungkin dengan suapan uang? Mungkin saja.

Sampai saat ini Sela belum menemui Haila, sedangkan Teressa semakin lengket dengan Sela yang sesekali berkunjung ke ruang inap Teressa.

Cukup sampai disitu, mari kita berpindah pada seorang wanita yang baru saja turun dari mobil berwarna hitam yang dikendarai oleh Arman.

"Makasih, Pah!"

Arman mengangguk, "kamu yakin mau pulang? Bagaimana kalau Raja--"

"Nggak apa-apa, Pah, Haila yakin Raja lama-lama bakalan ngerti. Papah hati-hati, jangan ngebut, ya!" Haila melambaikan tangannya pada Arman seraya berjalan mundur menjauhi mobil hitam itu.

Arman tersenyum getir menatap menantunya yang kian semakin menjauh dari tempatnya kini. Haila membalikan badannya, ia memang tidak turun di depan rumah. Perlu berjalan sekitar 50 meter hingga sampai di rumahnya.

Sesampainya Haila, ia terdiam di depan gerbang. Ragu untuk menekan bel. Sejujurnya kini Haila sedang menenangkan rasa takutnya, iya dia takut Raja malah mengusirnya.

Setelah mengumpulkan tekad, tidak peduli ia akan di usir atau tidak, itu urusan nanti. Bisa saja Raja menerimanya meskipun ia harus dimaki-maki terlebih dahulu, itu tidak masalah.

Tiga kali Haila menekan bel rumah, tidak lama pembantu di rumahnya yang bernama Ijah keluar dari pintu utama. Bi Ijah nampak terkejut ketika di depan rumahnya terlihat Haila tersenyum ke arahnya.

"Ya ampun, Bu..." Hanya itu yang Bi Ijah mampu ucapkan karena terlalu terkejut dengan kedatangan Haila yang tiba-tiba.

"Bibi sehat?"

"Sehat, Bu... Ayo Bu masuk-masuk!" Bi Ijah membuka kan gerbang, setelah Haila masuk dengan segera pembantu itu menutupnya kembali.

"Raja ada ngga, Bi?" tanya Haila berjalan mendahului Bi Ijah.

"Ada, Bu, lagi di kamarnya Adel." kata Bi Ijah yang berjalan di belakang Haila. Haila mengangguk.

Haila membuka pintu lalu masuk, diikuti Bi Ijah yang langsung menutup pintu.

"Ibu mau minum dulu?" tanya Bi Ijah.

"Ngga usah Bi, saya mau langsung ke kamar Adel aja."

Sesampainya di depan kamar Adel, Haila meremas jari-jarinya sendiri. Ia menelan salivanya. Cemas, itu yang Haila rasakan sekarang.

Perlahan tangannya menggapai gagang pintu, menekannya kebawah lalu mendorongnya hingga terdengar suara terbukanya pintu dan membuat seorang laki-laki di dalamnya terbangun dari posisi tidurnya.

Keduanya saling mengunci pandangan, hingga tidak lama Raja memutuskan kontak mata keduanya. Haila menutup pintu kamar Adel, melangkah perlahan lalu duduk di pinggir ranjang Adel--di samping Raja.

HAILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang