Ruri beruntung karena Hiroaki sangat populer di antara mahasiswi magang. Dengan mudah, ia mendapat beberapa informasi. Salah satunya menyebutkan bahwa Hiroaki akan meninggalkan pabrik pukul sepuluh.
Sementara rekan-rekannya menikmati kudapan, Ruri bergegas pergi ke pintu samping bangunan. Ia menunggu di selasar menuju tempat parkir mobil Hiroaki. Tempat yang sama ketika pipi Ruri terlempar ponsel.
Lelaki itu muncul tidak sampai satu menit kemudian. Ruri menarik napas dan berusaha menenangkan debar jantungnya yang menggila. Memang tadi ia setengah berlari agar tiba lebih cepat ke sini.
"Pak," panggil Ruri sambil menyodorkan teh dingin dalam kemasan botol yang tadi ia beli di kantin.
Hiroaki mengangkat alis. "Apa ini?"
"Ini ... teh permintaan maaf." Ruri menggigit bibir bawah karena gugup. "Maaf, Pak. Teh yang saya suguhkan tadi malam ternyata sudah kadaluarsa."
Untuk sedetik, mata Hiroaki melebar. "Oh, pantas saja rasanya aneh."
"Setelah Bapak pulang, saya meminum teh saya dan rasanya memang mengerikan. Waktu saya lihat bungkusnya di dapur, ternyata tanggal kadaluarsanya sudah lewat tiga bulan."
"Astaga," kesah Hiroaki sambil menggeleng. "Untung kita tidak keracunan."
"Maaf, ya, Pak. Saya tidak pernah kedatangan tamu. Jadi, saya---" Ruri memutus ucapannya sendiri karena merasa terlalu panjang dan berbelit-belit. "Tolong terima ini sebagai gantinya. Segelnya masih utuh dan tanggal kadaluarsanya masih sembilan bulan lagi."
Hiroaki tidak tahu apa yang lucu atau membuatnya senang. Itu cuma sebotol minuman yang bisa dibeli di mana saja. Namun, berhasil membuat bibirnya berkedut karena menahan senyum.
"Bapak juga sudah berbaik hati mengganti lampu dan meletakkan sepatu. Saya rasa, kurang sopan kalau---"
"Oke." Hiroaki menerima pemberian sekaligus mengakhiri kegalauan Ruri. "Aku terima ini."
Senyum lebar hampir mencapai telinga menarik bibir Ruri. Gadis itu membungkuk hormat sambil berujar terima kasih.
"Semoga hari Anda menyenangkan, Pak," ucapnya lantas melewati Hiroaki untuk kembali masuk. Ia bahkan tidak memerhatikan ketika bersisian jalan dengan seorang lelaki yang menatapnya penuh selidik.
"Siapa itu, Bos?"
Salah satu peraturan dari Jasmyn. Jasper dilarang memanggil Hiroaki dengan sebutan 'kakak ipar' selama bertugas sebagai sopir.
"Oh. Itu anak magang." Senyum masih menari-nari di bibir Hiroaki. "Mana Jasmyn? Ayo, berangkat."
"Masih di toilet," jawab Jasper. Glabelanya berkerut karena pemandangan janggal itu. Mustahil rasanya melihat Hiroaki memeluk minuman botol seakan itu adalah piala.
***"Hei, kau."
Suara yang menggema di seluruh pelataran parkir sore itu membuat Ruri dan Neo menoleh serempak. Seorang lelaki berkemeja biru dongker dengan logo Tórus di sakunya berjalan ke arah mereka. Atau lebih tepatnya menghampiri Ruri.
"Akhirnya, aku menemukanmu, Ruri."
"Maaf?" sahut Ruri walau dengan glabela mengernyit. "Anda mencari saya?"
Lelaki itu tersenyum miring. "Kau sampai mengubah penampilan begini untuk lari dari tanggung jawab. Totalitas sekali."
Ruri meletakkan kembali helmnya ke atas jok motor. Ia menatap tajam sikap mencemooh dari lelaki di hadapannya. "Tanggung jawab apa?"
"Tanggung jawab atas apa yang kaulakukan padaku."
"Memang siapa Anda?"
"Kau lupa siapa aku?" dugas lelaki itu seolah hendak menerkam Ruri.
Sigap, Neo bergerak maju. Ia menahan dada lelaki itu dengan satu tangan. "Jelaskan tujuanmu."
"Aku tidak ada urusan denganmu," desis lelaki itu.
"Apa pun urusan dengan pacarku menjadi urusanku."
"Neo," protes Ruri sambil menyentuh bahu lelaki itu. Jangan sampai Neo terlibat dalam masalah apa pun yang akan ia hadapi. Ruri beralih pada lelaki asing itu. "Setidaknya, sebutkan namamu dulu."
"Aku Jasper."
"Belum pernah dengar nama itu," sahut Ruri.
Jasper melirik sekilas pada Neo, lalu ia mengedikkan dagu pada Ruri. "Ikut aku."
"Ruri." Neo langsung menahan tangan Ruri ketika gadis itu hendak melangkah. Ia menggeleng sebagai tanda tidak setuju.
"Tidak apa-apa," ucap Ruri tenang. Ia menarik lembut tangannya dari genggaman Neo. "Aku bisa mengatasi ini."
Jasper berhenti di dekat pepohonan yang tumbuh dekat pagar pembatas. Ia berputar menghadap Ruri. Kedua tangannya terlipat di depan dada. "Mudah sekali bagimu melupakan tanggung jawab."
"Kau terus-terusan mengatakan tentang tanggung jawab, tapi aku sama sekali tidak mengerti."
"Kau masih tidak ingat siapa aku?" tanya Jasper disambut gelengan Ruri. "Wah, aku jadi meragukan kapabilitasmu untuk magang di sini."
"Apa hubungannya?"
"Jumat pagi. Di depan minimarket," jawab Jasper dan Ruri mengernyit. "Masih tidak ingat juga?"
Jasper merunduk sambil menatap Ruri. "Kau. Dan. Vespa. Pink-mu. Itu. Menabrak. Mobil. Mewahku."
"Eh, yang benar itu french rose bukan pink," protes Rurai. Otaknya baru memadankan sosok di hadapannya dengan lelaki necis yang turun dari sedan putih itu. "Lagi pula untuk urusan itu, aku sudah minta maaf, kan?"
"Kau kira beret di mobilku bakal hilang dengan maafmu?"
Pasrah, Ruri mendebas. "Jadi, apa maumu?"
"Ganti rugi dengan uang."
Ruri menelan ludah. "Berapa?"
"Dua puluh juta."
"Ha? Kau berniat menipuku, ya?"
Jasper berdeham kikuk. "Baiklah, lima belas juta."
"Aku tidak punya uang sebanyak itu."
"Itu urusanmu."
Glabela Ruri mengernyit curiga. "Bukankah waktu itu kau mengaku sebagai pemilik Tórus? Kenapa sekarang mempermasalahkan uang receh seperti ini?"
"Ini bukan tentang uang. Ini tentang tanggung jawab." Jasper meniru ucapan kakaknya.
"Kalau begitu, aku akan mencoba berdiskusi dulu dengan Pak Tóru."
Kelopak mata Jasper melebar. Irisnya yang berwarna cokelat terang itu menyiratkan panik. "Jangan berani-beraninya melibatkan orang lain."
"Memang kenapa? Kalau kau pemilik, bukankah Pak Tóru itu cuma bawahanmu?"
Jasper mengerjap. Tidak menyangka keadaan berbalik. Gadis yang semula ia kira akan menjadi anak kucing di hadapannya, kini menjelma singa yang siap menerjang mangsa.
"Atau ada rahasia yang tidak boleh kukatakan pada Pak Tóru?" tanya Ruri dengan berbisik saat mengucapkan kata "rahasia".
Kasar, Jasper menggaruk belakang kepalanya. "Oke, oke. Aku berbohong. Puas?"
Ruri menyipit dan membeliak sambil menepuk dada, seolah-olah itu sangat menyakiti hatinya.
"Aku bukan pemilik Tórus. Mobil itu kupinjam dari pemilik sebenarnya. Dan karena kau menabrak mobil itu, sekarang aku dituntut untuk ganti rugi." Jasper mempertemukan telapak tangannya di depan dada. "Jadi, aku mohon bantuanmu."
Ruri mempertimbangkan itu dengan serius. Bagaimanapun, ia juga bersalah di sini. Namun, tidak banyak yang bisa ia berikan.
"Baiklah. Aku akan ikut mengganti rugi. Tapi---" Ucapan Ruri yang terjeda meredupkan kembali binar di mata Jasper. "Aku ingin melihat dulu kerusakannya."
"Tentu. Akan aku perlihatkan."
Ruri mengangguk setuju. "Aku cuma punya lima juta. Terima atau lupakan."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Touch Your Heart ✔
RomantizmSelama bekerja sebagai kurir, Ruri Keyara selalu melakukan tugasnya dengan sempurna. Namun, pagi itu kiriman yang ia antar ditolak dan dibuang di depan matanya. Tidak ada yang pernah melakukan itu. Kecuali si lelaki berhati batu! Bagi Hiroaki Tóru...