XI. Momentous (2/2)

1.2K 194 0
                                    

"Dingin," kikik Ruri ketika Hiroaki meletakkan sheet mask ke wajahnya.

"Diam sebentar," tegur Hiroaki karena konsentrasinya terganggu.

Ruri mengatupkan bibir rapat-rapat. Ia menikmati pemandangan yang terlihat. Sepasang netra cokelat terang berbulu mata panjang yang berpusat padanya. Alis yang bertaut dan bibir merah yang setengah terbuka. Jemari ramping yang membelai wajah Ruri dari balik lembar tipis dan lembap.

Bagaimanapun, rasanya mustahil lelaki sesempurna Hiroaki menjadi pacarnya.

"Sudah," ucap Hiroaki sambil menegakkan tubuh. "Jangan banyak bergerak."

"He-em," gumam Ruri sambil membetulkan posisi tengkuknya di sandaran sofa.

"Sini tanganmu."

Ruri melirik pada tangannya yang berada dalam genggaman Hiroaki. Perlahan, lelaki itu mengoleskan gel lidah buaya mengitari pergelangan Ruri. Sensasi dingin dan lembut di kulitnya membuat gadis itu tersenyum.

"Sampai kering begini," komentar Hiroaki. "Kau itu cuma satu-satunya di dunia ini. Jadi, rawat dirimu baik-baik."

Ruri menjawab dengan anggukan.

Setelah selesai, Hiroaki berpindah ke sisi satunya. Ia melakukan hal yang sama pada tangan kiri Ruri. Yang berbeda, Hiroaki mengakhiri perawatan itu dengan menautkan jemari mereka. Lelaki itu juga ikut mengistirahatkan tengkuknya ke sandaran sofa.

Ruri memiringkan sedikit kepalanya. Ia melirik hingga batas maksimal demi melihat Hiroaki. Lelaki itu sedang memejam dengan napas teratur; seperti sedang tidur.

Dalam keheningan, Ruri menikmati momen itu. Ia tidak berani bergerak, walaupun tangannya mulai kram. Hingga akhirnya timer yang tadi disetel Hiroaki berbunyi.

Otomatis, lelaki itu terbangun. Ruri mengesah kecewa karena genggaman mereka terlepas. Hiroaki membungkam ponselnya dan berbalik kembali. Seketika itu juga, detak jantung Ruri meningkat dua kali lebih cepat.

"Sudah waktunya," ucap Hiroaki sambil menjumput tepian kertas masker hingga terlepas.

Selama proses itu, Ruri menahan napas. Terutama ketika ia merasakan embusan hangat napas Hiroaki menerpa wajahnya. Sekarang, jarak di antara keduanya hanya tersisa lima sentimeter.

Tidakkah ini terlalu cepat? Ruri bahkan bisa mendengar gema debaran jantung di telinga. Ciuman pertamanya akan tiba dalam beberapa detik. Terlalu takut, Ruri memejam kuat-kuat.

Tiba-tiba benda basah dan dingin kembali menyentuh wajahnya yang terasa hangat. Seketika, Ruri membeliak. Ia melihat Hiroaki sedang tersenyum puas setelah memasang masker dengan sempurna.

"Sisi satunya dipakai juga," ucap Hiroaki lantas bangkit dari sofa. "Tunggu, ya. Aku mau membuat jus jeruk."

Hiroaki pergi begitu saja, meninggalkan Ruri yang merutuk malu pada dirinya sendiri.

Apa, sih, yang tadi ia pikirkan?
***

Tadi itu hampir saja.

Hiroaki menggeleng, berusaha mengenyahkan bibir Ruri dari benaknya. Bisa-bisanya ia berniat melakukan itu. Bukannya bimbang pada perasaan sendiri. Bukan juga ia meragukan Ruri. Hanya saja ia takut ciuman itu akan menciptakan jarak alih-alih mendekatkan mereka.

Dan Hiroaki tidak siap untuk risiko itu.

"Hiroaki-san."

Hiroaki tersentak dan menoleh pada Jasmyn yang menatapnya bingung. Sejak kapan asistennya itu masuk?

"Ya, Jasmyn?"

"Sudah waktunya rapat dengan Divisi Pemasaran."

"Oh, iya." Hiroaki berdiri. Itulah alasan ia kembali ke kantor. Kalau tidak ada rapat itu, ia pasti sudah menghabiskan waktu lebih lama bersama Ruri. "Ayo."

Touch Your Heart ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang