Ruri sudah mandi dan berganti pakaian. Tidak mau menyamai penampilan Hiroaki yang mengenakan kaus bergaris horizontal dan jogger pants, ia memilih sweter dan skinny jeans. Padahal siang ini cukup terik.
Saat ini mereka berdua sedang duduk di dalam sebuah warung tenda di tepi sungai. Tempat ini menyajikan berbagai menu panggang. Dari iga sapi panggang, ikan panggang, sampai sate ayam. Tadi Ruri asal saja menunjuk tempat ini ketika Hiroaki bertanya makanan yang lezat untuk makan siang. Ia kira, lelaki itu akan menolak dan menyarankan tempat lain.
Sebelumnya, Ruri beberapa kali ke warung ini untuk mengambil pesanan. Rasa masakannya memang terkenal nikmat. Tidak heran, sudah banyak pelanggan mengantre padahal baru tiga puluh menit berlalu sejak kedai itu buka. Perhatian orang-orang yang kelaparan dengan mudah tertarik ke arah Hiroaki.
Sial bagi Ruri, baru duduk sepuluh menit di sini, sweternya sudah mengumpulkan aroma asap dari luar dan keringat dari dalam. Benar-benar menyebalkan.
Tidak seperti yang Ruri duga, Hiroaki ternyata luwes berada di tempat seperti ini. Tanpa canggung, lelaki itu menyantap nasi dan ikan panggangnya menggunakan sepasang sendok dan garpu. Sama sekali tidak rikuh atau jijik.
Di seberang lelaki itu, Ruri menikmati sate ayamnya sambil menelan ludah. Entah bagaimana, pemandangan Hiroaki yang sedang makan tampak cocok menjadi adegan di iklan restoran. Sangat menggugah selera.
"Kau sering makan di tempat seperti ini?" tanya Ruri saat mereka sudah naik kembali ke mobil.
"Sepanjang aku hidup di sini, ini yang pertama."
Mobil melaju. Hiroaki menyalakan radio dalam volume rendah. Samar-samar, suara penyiar mengisi jeda keheningan di antara mereka. Tidak bisa dipungkiri, keduanya masih merasa canggung.
"Memang kenapa?" tanya Hiroaki karena Ruri tidak juga menyambung obrolan.
"Eh, tidak apa-apa," geleng Ruri segan. "Hanya saja ... hem, kau seperti sudah terbiasa."
"Yang penting makanannya enak dan kebersihannya terjaga, aku tidak keberatan makan di mana saja." Hiroaki tersenyum memahami maksud ucapan Ruri. "Hanya saja tempatnya sempit; tidak cocok untuk membicarakan sesuatu yang penting."
Kedua tangan Ruri saling mengepal di pangkuannya. "Memangnya apa yang ingin kaubicarakan? Kau ... mau kita putus?"
"Kenapa berpikir seperti itu?"
"Aku, kan, anak dari ... wanita yang kaubenci. Bukankah itu alasan yang kuat untuk meninggalkanku?"
Sekilas, Hiroaki mengerling pada Ruri. "Benar, tapi aku mengabaikan itu."
"K-kenapa?"
"Karena aku mencintaimu. Seutuhnya." Hiroaki meraih salah satu tangan Ruri dan menggenggamnya. "Termasuk dengan adanya hubunganmu dengan orang itu."
Ruri memandangi jemarinya yang bertaut dengan jemari Hiroaki. "Jadi ... kau tidak marah padaku?"
"Untuk apa?" tanya Hiroaki dengan senyum getir. "Bukan kau yang menyebabkan Ibuku mengakhiri hidupnya."
Tersentak, Ruri menoleh demi menatap langsung wajah Hiroaki. "M-maksudnya? Ibumu---"
"Ya," sahut Hiroaki membenarkan isi pikiran Ruri. "Gantung diri karena mengetahui hubungan rahasia antara Ayahku dan Ibumu."
Seketika itu juga, Ruri merasakan sesuatu yang hancur di dalam dadanya. Pantas saja Hiroaki begitu membenci Hannah. Ternyata lelaki itu mengalami kehilangan yang sangat besar.
"Kau sendiri bagaimana?" tanya Hiroaki sambil menginjak rem karena lampu lalu lintas berubah merah.
"Entahlah." Ruri mengigit bibir. "Selama ini, kukira kalau bertemu lagi dengan Ibuku, aku akan marah dan memakinya; tapi ternyata yang muncul lebih dulu malah perasaan lega."
KAMU SEDANG MEMBACA
Touch Your Heart ✔
Любовные романыSelama bekerja sebagai kurir, Ruri Keyara selalu melakukan tugasnya dengan sempurna. Namun, pagi itu kiriman yang ia antar ditolak dan dibuang di depan matanya. Tidak ada yang pernah melakukan itu. Kecuali si lelaki berhati batu! Bagi Hiroaki Tóru...