Hiroaki mengerjap. Benar juga. Ia juga baru menyadari bahwa Ruri sama sekali tidak bersin. Kemudian, ia teringat bahwa beberapa jenis kucing memang tidak menimbulkan alergi. Mungkin Miura salah satunya. "Mau mencoba untuk memangkunya?"
"Dia ... tidak akan mencakarku, kan?" bisik Ruri ketika Hiroaki merunduk untuk mengangkat kucingnya.
"Tenang saja," ucap Hiroaki sambil meletakkan Miura ke pangkuan Ruri. "Miura tidak memandangmu sebagai ancaman."
Perlahan dan hati-hati, Ruri mendekatkan telapak tangannya ke punggung Miura. Beberapa kali, gerakannya terhenti karena ragu. Namun, Hiroaki memberinya semangat. Ketika akhirnya telapak tangan Ruri terbenam dalam bulu lebat kucing itu, ia tersenyum. "Lembut," gumamnya.
Senyum Ruri menular pada Hiroaki. Lelaki itu bangkit berdiri ke sisi tempat tidur. "Aku mau mandi. Miura, aku titip dia, ya."
"Apa itu tidak terbalik?" protes Ruri disambut kekehan Hiroaki yang meninggalkan kamar.
Ruri mengusap-usap punggung kucing yang sepertinya senang dengan sentuhan itu. Tiba-tiba bunyi bel menggema sampai kamar. Seketika itu juga Miura kaget dan melompat turun dari pangkuan Ruri.
"Maaf, Miura," ucap Ruri lantas mengejar Miura yang melewati celah pintu yang terbuka dengan lincah. "Kau kaget, ya?"
Ke mana kucing itu pergi? Dalam sekejap, Ruri sudah kehilangan sosok berbulu abu-abu itu. Ia menatap pintu kamar Hiroaki yang masih tertutup. Benar juga. Lelaki itu sedang mandi. Pramuwisma libur hari ini. Mana mungkin ia meminta Miura yang membukakan pintu.
Gugup, Ruri menggigit-gigit bibir bawahnya. Bel pintu kembali berbunyi. Kalau tamu itu bisa masuk sampai depan pintu utama, berarti petugas keamanan di pagar sudah memberikan izin. Berarti, mungkin yang datang adalah orang yang dekat dengan Hiroaki.
Ruri mendugas maju. Semoga saja yang datang Jasmyn atau Jasper.
Begitu pintu geser itu terbuka, rahang Ruri hampir jatuh ke lantai. Tamu yang berdiri di hadapannya juga sangat terkejut. Keduanya, sama-sama tidak menyangka akan bertemu di rumah ini.
***"Ruri ... kenapa kau ada di sini?"
"Bukankah pertanyaan itu pantasnya ditujukan padamu?" ketus Hiroaki yang tiba-tiba muncul dan langsung merangkul leher Ruri dari belakang. "Tidak usah dijawab dan pergi saja. Kau mengganggu."
"Hiro," protes Ruri sambil berusaha melepaskan diri. Selain canggung, cengkeraman Hiroaki di bahunya terlalu erat. "Bicaralah lebih lembut."
"Kau bisa menipu petugas keamananku untuk masuk, tapi mereka pasti akan senang membukakan pagar supaya kau cepat pergi."
"Aku masuk atas izin Ayahmu," ucap Hannah dengan tenang. Sekuat tenaga, ia berusaha tidak terpengaruh hinaan Hiroaki.
"Dan kau bisa pergi atas izinku---orang yang menempati rumah ini."
"Kalau memang aku bersalah di matamu, tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan, Hiro," tutur Hannah dengan tangan saling meremas kuat. "Hubungan kami---aku dan Ayahmu hanya masa lalu. Waktu itu, aku sama sekali tidak bermaksud menyakiti Ibumu. Aku tidak tahu---"
"Diam," geram Hiroaki dengan wajah merah padam terbakar marah. Untung saja ada Ruri di dekatnya. Kalau tidak, ia pasti sudah meledak dan hancur. "Kau tidak mengerti penderitaanku. Kau tidak bisa menghidupkan Ibuku. Jadi, hentikan omong kosongmu."
"Hiro!" Kasar, Ruri menyentak keluar dari dekapan Hiroaki. Sekarang mereka saling berhadapan. "Bu Hannah datang menemuimu. Tidak ada salahnya kau mendengarkan dulu. Setelah itu, baru kau bisa memutuskan bagaimana sikapmu selanjutnya."
Hiroaki mendengkus miris. "Kau tidak tahu siapa dia sebenarnya, Ruri."
"Aku juga tidak tahu siapa kau sebenarnya," sahut Ruri sambil mengangkat dagu. "Tapi setelah mendengarkan dan lebih mengenalmu, aku bisa menghapus anggapan kalau kau berhati batu. Tidak bisakah kau---"
"Dia Ibumu, Ruri," ucap Hiroaki lirih, tetapi langsung membungkam Ruri. Terpaksa, ia mengatakan fakta---yang berbulan-bulan ia pendam---dalam situasi buruk seperti ini.
Ternganga, Ruri menggerakkan kepala ke arah wanita berambut ikal yang berdiri di ambang pintu. Pandangan mereka bertemu. Namun, Hannah langsung menghindari tatapan Ruri.
"Dia Sasha Nahwa," tegas Hiroaki meruntuhkan dunia Ruri dalam hitungan detik. "Ibu kandungmu."
***Entah berapa abad sudah berlalu.
Yang sejak tadi dilakukan Ruri hanyalah berbaring sambil mendekap Migi. Terkadang, ia berguling ke samping. Detik berikutnya, ia telentang menghadap langit-langit kamarnya yang kusam.
Mata Ruri tidak bisa berhenti memperhatikan sarang laba-laba yang menggantung di plafon. Bagai terhipnosis, pandangannya mengikuti ke mana sawang itu melambai. Derit kipas angin di meja seperti musik pengiring kegalauan Ruri.
Semestinya, ia membersihkan rumah, mencuci baju, atau membetulkan vespanya. Namun, Ruri seakan kehilangan energi untuk melakukan itu semua. Isi pikirannya membuat ia kelelahan.
Setelah fakta yang dijatuhkan Hiroaki tadi, sama sekali tidak terdengar bantahan dari Hannah. Maka, Ruri berbalik dan mengambil barang-barangnya. Ia mengenakan kembali pakaiannya kemarin, juga membawa serta piama Hiroaki untuk dicuci di rumah.
Lelaki itu tidak menahannya. 'Gunakan waktu untuk berpikir. Nanti siang aku akan menemuimu. Kita harus bicara,' ucap Hiroaki ketika melepas Ruri ke dalam taksi tadi.
Hannah sempat menghadang langkahnya; berusaha menjelaskan. Ruri hanya menulikan diri dan tetap pergi. Bahkan, ia sempat menepis sentuhan wanita itu. Ia sedang tidak ingin mendengarkan siapa pun sekarang.
Memalukan. Ruri membenamkan wajahnya pada tubuh lembut Migi. Ia menendang-nendang udara. Apanya yang 'tidak ada salahnya kau mendengarkan dulu. Setelah itu, baru kau memutuskan bagaimana sikapmu selanjutnya'?
Omong kosong. Jelas-jelas ia sama sekali tidak memahami perasaan Hiroaki.
"Migi, aku harus bagaimana?" bisik Ruri dengan perasaan tidak menentu; seperti sawang di langit-langit kamar.
***Permukaan kaca itu sudah sebening Danau Labuan Cermin, tetapi Ruri belum berhenti menyeka. Mungkin sudah ratusan kali ia mengusapkan kain lap. Seakan-akan, ia ingin pantulan sosoknya itu menguraikan isi pikiran.
Ruri sudah selesai mencuci dan menjemur pakaian. Rumahnya juga sudah bersih. Tidak ada lagi sawang di langit-langit. Seharusnya sekarang ia memperbaiki vespa. Namun, ia masih saja betah berdiri di depan cermin wastafel.
"Ruri, Bu Hannah adalah ibu kandungmu," ucap Ruri sambil menatap cermin. Rupa Hiroaki ketika mengatakan itu muncul di benaknya. "Lantas kenapa?"
Benar. Bukankah seharusnya ia bersyukur karena wanita itu hidup dengan baik? Kalau saja sikapnya tadi lebih tenang, mungkin Ruri bisa mendapat jawaban dari semua pertanyaannya selama ini.
Mengapa ibunya meninggalkan Ruri dan ayahnya? Apa yang dipikirkan Hannah selama mereka berpisah? Mungkinkah wanita itu sengaja mencarinya lalu menggunakan jasanya sebagai kurir; karena mengetahui bahwa Ruri adalah anak yang ia tinggalkan? Sekarang, kebaikan dan perhatian Hannah terasa seperti bentuk penebusan dosa.
Setelah menelaah perasaannya, Ruri memahami sesuatu. Marahnya tadi bukan muncul karena mendapati Hannah adalah Sasha Nahwa---ibu kandungnya. Melainkan, karena Hiroaki yang menyimpan kenyataan itu darinya.
Lelaki itu benar. Mereka harus bicara.
Denting repetitif gembok pada pagar menginterupsi lamunan Ruri. Ia meletakkan lap ke tepian wastafel, lalu mencuci tangan cepat-cepat. Tidak ada waktu untuk mandi.
"Kenapa datang sekarang, sih," gerutu Ruri sambil menuju kamar. Ia menyemprotkan banyak parfum pada jaket; sebelum mengenakannya di atas kaus yang menyerap keringat dan terciprat air pel.
Ruri berjalan cepat melewati pintu yang terbuka lebar. Demi menjaga sirkulasi udara di dalam rumah. Punggungnya menegak tergemap.
Bukan Hiroaki yang menunggunya di luar pagar, melainkan Neo.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Touch Your Heart ✔
RomanceSelama bekerja sebagai kurir, Ruri Keyara selalu melakukan tugasnya dengan sempurna. Namun, pagi itu kiriman yang ia antar ditolak dan dibuang di depan matanya. Tidak ada yang pernah melakukan itu. Kecuali si lelaki berhati batu! Bagi Hiroaki Tóru...