Hiroaki tidak tahu untuk apa datang ke sini. Tadi ia hanya bertindak secara impulsif. Pipi merah Ruri; yang terbentur ponselnya terus terbayang-bayang di benaknya. Ia melirik jok samping. Ada kantong plastik berisi obat dan salep dari apotek.
Salah sendiri Ruri berada di sana ketika Hiroaki sedang marah. Lagi pula, ia tidak tahu kalau gadis itu berdiri di dekat tikungan ketika ia melempar ponsel.
Hiroaki menempelkan kening ke roda kemudi sambil mengumpati diri sendiri. Sugesti yang sejak tadi berusaha ia tanamkan, selalu layu sebelum berkembang. Jauh di dasar hati, Hiroaki mengakui itu sebagai kesalahannya. Ia terlalu dikuasai perasaan hingga bertindak tanpa berpikir panjang.
Dering ponsel menyentak pikiran Hiroaki. Ia meraih gawai yang layarnya retak itu untuk menjawab panggilan dari Jasmine.
"Aku pergi sebentar. Bagaimana acaranya?"
[Sepuluh menit lagi selesai. Di mana kau?]
"Nikmati acaranya, ya, Jasmyn. Sampai ketemu besok pagi," ucap Hiroaki dan langsung memutus sambungan tanpa menjawab pertanyaan Jasmyn.
Hiroaki memandangi rumah satu lantai itu. Dengan bantuan lampu jalan, ia bisa melihat pagarnya berwarna putih. Sementara bangunan huni di seberang jalan itu hampir tidak terlihat karena gelap.
Itu membuat Hiroaki ragu. Ia kembali memastikan alamat yang ia foto dari lampiran magang Ruri. Dari nama jalan sampai nomor rumah; semuanya sesuai. Kecil kemungkinan ia tersesat. Kecuali kalau itu adalah alamat palsu.
Apa Ruri lupa menyalakan lampu? Bagaimana bisa gadis itu membahayakan dirinya begini?
Tidak mungkin juga Ruri belum pulang. Tadi Hiroaki melihat Neo mengantarnya naik kendaraan milik gadis itu. Dan pemuda itu juga sudah kembali ke kantin Tórus.
Masih sibuk dengan spekulasinya, tiba-tiba sekelebat bayangan mengusik perhatian Hiroaki. Sosok itu celingak-celinguk sambil berusaha membuka pagar rumah Ruri. Sekitarnya yang gelap membuat orang itu semakin tampak mencurigakan.
Tanpa berpikir dua kali, Hiroaki turun dari mobil dan bergegas menghampiri penjahat itu. Dalam hati, Hiroaki berharap masih mengingat gerakan yang ratusan kali ia latih di dojo.
Dalam hitungan detik, Hiroaki berhasil mencekal tangan orang itu. Tepat sebelum pagar rumah Ruri terbuka.
"Sedang apa kau di rumah pacarku?"
***Ruri selalu benci melihat darah. Apalagi darah yang menyatakan dengan tegas bahwa ia adalah perempuan.
Hanya. Seorang. Perempuan.
Ketika orang-orang tahu Ruri tidak mahir mengolah makanan seenak restoran, mereka bilang; seharusnya ia malu, karena ia perempuan. Ketika orang-orang tahu Ruri bisa membetulkan mesin jahit milik Pamannya, mereka bilang; seharusnya ia tidak melakukan itu, karena ia perempuan.
Begitu juga dengan pelanggan yang melecehkannya tempo hari, kakak tingkat yang menuduhnya menggoda juri lomba agar bisa menang, dan bos yang menganggapnya tidak mampu bekerja.
Itu semua terjadi; karena ia perempuan. Tidak bisakah mereka memandangnya sebagai manusia seutuhnya?
Dongkol dengan kenangan yang ditampilkan benaknya, Ruri setengah membanting gunting ke atas meja wastafel. Dengan kasar, ia mengumpulkan rambutnya yang berserakan di lantai. Sekarang rambutnya sudah pendek---layaknya streotip mengenai penampilan laki-laki. Semoga dengan ini, cibiran yang terarah padanya bisa berkurang.
Ruri masuk ke kamar hanya untuk mendapati rak kecil itu dalam keadaan kosong. Bencana besar! Ia kehabisan pembalut. Bagaimana bisa ia pergi keluar dengan keadaan seperti ini? Tidak mungkin juga ia menelepon Neo untuk urusan sepele begini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Touch Your Heart ✔
RomanceSelama bekerja sebagai kurir, Ruri Keyara selalu melakukan tugasnya dengan sempurna. Namun, pagi itu kiriman yang ia antar ditolak dan dibuang di depan matanya. Tidak ada yang pernah melakukan itu. Kecuali si lelaki berhati batu! Bagi Hiroaki Tóru...