Embun pagi menghiasi rumput dan pohon pekarangan ketika Ruri mengunci pintu. Ia duduk di teras tiga puluh menit sebelum waktu yang disebutkan Hiroaki. Sesekali, ia memeriksa penampilannya di kaca jendela yang gelap.
Waktu seolah berlangsung selamanya, ketika Ruri mendengar deru mobil mendekat. Sedan hitam yang menjadi kebanggaan Tórus itu berhenti di depan rumahnya. Tidak di seberang seperti kemarin malam. Ruri melirik jam tangan. Untung saja ia sudah siap. Ternyata Hiroaki datang sepuluh menit sebelum jam enam.
Ruri bangkit dan membuka pagar. Hiroaki turun dari mobil sambil membawa sebuah tas kertas. Aroma kopi bercampur vanili langsung menerjang penciuman Ruri ketika lelaki itu menggangguk permisi sambil melewatinya. Ternyata wangi itu bukan berasal dari pengharum ruangan.
Setelah nadinya berdenyut lima kali, Ruri baru bergerak mengikuti Hiroaki. Lelaki itu sedang memindahkan dua pasang sepatu dari tas ke rak di teras.
"Untuk apa itu, Pak?" tanya Ruri dengan alis bertaut. Sepatu-sepatu itu tampak mengilap. Kontras dengan sepatu lusuh milih Ruri. Tidak mungkin juga Hiroaki menghadiahinya sepatu pria.
"Jangan memberitahu orang asing tentang kau hidup sendirian di rumah ini."
"Ha?"
Belum sempat Ruri bertanya ulang, Hiroaki sudah bergerak menarik kursi. Dengan mudah, ia meraih lampu dan menggantinya dengan yang baru.
"Pak, itu baru saya ganti seminggu lalu."
"Yang ini ada sensornya," jelas Hiroaki sambil bergerak dari kursi plastik itu. "Begitu matahari terbenam, sinarnya akan otomatis menya---"
Ucapan Hiroaki terputus. Ia terkejut karena pijakan tumitnya meluncur di udara. Dengan sigap, Ruri maju dan menangkap tubuh jangkung itu.
Selama beberapa detik, waktu seakan berhenti berputar. Pandangan mereka bertemu. Tidak terdengar suara selain detak jantung masing-masing.
"Pak," lirih Ruri.
"Ya?"
"Berat."
Mendengar itu, Hiroaki langsung bangkit dengan canggung. Ia menarik rapi setelannya dan berdeham. "Ayo, berangkat."
***"Sebenarnya, untuk apa, Pak yang itu tadi?" tanya Ruri ketika mobil Hiroaki sudah melaju di jalan. Ia tidak tahu apakah ini benar; membiarkan bosnya menyetir untuknya.
"Yang mana?" Pikiran Hiroaki belum bisa pergi dari momen Ruri memeluk---menangkapnya.
"Sepatu dan lampu itu."
"Itu untuk mencegah perbuatan jahat," jelas Hiroaki. "Kurasa rumahmu juga perlu dipasang kunci dengan sandi dan kamera pengawas."
"Eh, tidak usah, Pak," tolak Ruri cepat. "Itu berlebihan."
"Kau, kan, perempuan. Apa tidak berbahaya hidup seperti itu?"
Ruri mengerling sinis. "Memangnya kalau kita ketemu penjahat bersenjata, sudah ada jaminan Bapak akan kebal?"
"Apa itu 'kebaru'?"
"Eh? Hem, itu tidak bisa dilukai."
Hiroaki membulatkan bibir seraya menganggut-anggut. "Tidak juga, sih. Aku bukan manusia abadi."
"Ya sudah, berarti kedudukan kita setara. Sama-sama manusia. Sama-sama bisa terluka saat menghadapi bahaya," tegas Ruri. "Tidak ada bedanya antara perempuan dan laki-laki."
"Untuk itu, kau perlu mendapat proteksi tambahan." Hiroaki cepat-cepat menyambung ucapan ketika menangkap kerutan di glabela Ruri. "Karena kau manusia."
"Termasuk mengaku-ngaku sebagai pacar saya, Pak?"
Hiroaki menoleh sekilas. Kemudian ia baru memahami maksud Ruri. "Yang itu sembarang sebut saja. Mungkin dengan mengaku sebagai pacar penghuni rumah, bisa membuat penjahat kabur."
"Ini kita mau ke mana, Pak?" tanya Ruri mengalihkan topik.
Alih-alih menjawab, Hiroaki justru memelankan laju kendaraan. Ia memarkirkan mobil di depan sebuah bangunan berdinding kaca.
"Ayo, turun," ucap Hiroaki mengabaikan pertanyaan di kepala Ruri.
***Ruri tersenyum takjub pada pantulan bayangannya di cermin compact powder. Sekarang penampilannya sudah rapi. Tidak seperti siswa sekolah yang dihukum karena memanjangkan rambut lebih dari batas.
"Terima kasih banyak, Pak," ucap Ruri penuh syukur. "Anda tidak seharusnya melakukan ini."
"Lalu seharusnya aku melakukan apa?" tanya Hiroaki retorik seraya kembali menjalankan mobil. Mereka pergi dari pelataran parkir salon kecantikan milik dua orang penata rambut ternama itu. "Membiarkanmu menghantam wajahku?"
Ruri mencebik. "Tidak begitu juga, sih."
"Sepertinya, salep itu manjur. Dalam semalam, pipimu sudah sembuh."
"Oh, ini tadi pagi sudah berubah biru, Pak." Ruri menyentuh ringan pipinya. "Tapi saya menutupinya dengan make-up."
"Kau bisa menggunakan make-up?" seru Hiroaki dengan heboh.
"Tentu bisa. Memang kenapa?"
"Kukira kau tipe perempuan yang hanya mengerti tentang mesin."
"Memangnya kalau saya mengerti tentang mesin, itu berarti haram untuk mahir berdandan?"
"Ya. Tidak seperti itu juga." Hiroaki menggaruk kepalanya dengan canggung. "Tadi malam ... kenapa kau protes begini? Padahal kau punya kesempatan memakiku karena menyakitimu."
"Memang seharusnya begitu." Ruri mengedikkan bahu lalu melempar tatapan pada pepohonan yang bergerak mundur. "Tapi kemarin itu ... saya yakin Bapak tidak sengaja. Lagi pula, kelihatannya suasana hati Bapak sedang buruk. Saya tidak mau memperkeruh situasi."
"Sangat buruk," ralat Hiroaki membuat Ruri menoleh padanya. "Waktu itu, aku baru berbicara dengan seseorang yang menghubungiku."
Ruri terdiam.
"Kau tidak bertanya; dari siapa itu?"
Ruri menggeleng. "Saya akan tahu kalau Bapak memutuskan untuk memberitahu."
"Kau tidak ada bakat menjadi detektif," kekeh Hiroaki. "Dia ... wanita itu."
"Siapa?"
"Wanita yang mengirim makanan dengan jasa kurirmu."
"Bu Hannah?"
Hiroaki mengangguk muram. "Dia ... wanita yang sudah membunuh Ibuku."
***Kaki Ruri memasuki lobi bersamaan dengan Neo yang mengangkat wajah dari koran di tangannya. Lelaki itu menghampiri Ruri dengan wajah heran.
"Apa yang terjadi?"
"Penampilan baru untuk hari baru," ucap Ruri sambil mengangkat dagu.
"Sayang sekali, padahal aku suka rambutmu."
"Aku juga suka rambutku," sahut Ruri. "Sepertinya cocok dijadikan sapu ijuk."
Neo terkekeh. "Jangan memandang rendah diri sendiri."
"Aku cuma bicara kenyataan."
"Omong-omong, kemarin aku bicara dengan HRD. Syukurlah, tidak ada perintah untuk mengakhiri masa magangmu lebih awal."
Ruri mengangguk. "Memang salahku yang keliru dengan kesimpulan asal. Terima kasih, ya, Neo."
Neo tersenyum simpul. "Senang masih bisa melihatmu di sini, Ruri."
"Aku senang bisa tetap menjadi bagian dari Tórus."
"Lebam di pipimu sudah sembuh," ucap Neo seraya menyentuh lembut bagian yang ia maksud.
"Sebenarnya, belum. Aku cuma menyamarkan dengan make-up. Jangan sampai menjadi bahan gunjingan orang lain."
"Peralatan ajaib itu, ya." Neo merangkul ringan bahu Ruri. "Ayo masuk. Sebentar lagi senam pagi dimulai. Hari ini, mungkin kita akan mulai ditempatkan ke divisi masing-masing."
"Kuharap, kita bisa berada di divisi yang sama, Neo."
![](https://img.wattpad.com/cover/251929551-288-k217487.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Touch Your Heart ✔
RomanceSelama bekerja sebagai kurir, Ruri Keyara selalu melakukan tugasnya dengan sempurna. Namun, pagi itu kiriman yang ia antar ditolak dan dibuang di depan matanya. Tidak ada yang pernah melakukan itu. Kecuali si lelaki berhati batu! Bagi Hiroaki Tóru...