"Maaf, tadi saya tersasar," ucap Ruri penuh sesal sambil turun dari vespa.
Hiroaki yang bersandar pada sedan putihnya menegakkan tubuh. "Kau tersasar ke rumahmu sendiri?"
"Bukan. Ke alamat pengantaran," ucap Ruri lantas mengambil kunci dari tas. "Sebentar, ya, Pak. Saya siap-siap dulu. Cepat, kok."
"Tidak usah," cegah Hiroaki. Ia mengangkat lengannya yang mengenakan arloji. "Kita sudah rugi sepuluh menit. Berangkat sekarang saja."
"Eh? Memang kita mau ke mana, sih, Pak?"
"Karena kau tidak tepat waktu, aku tidak jadi memberitahumu," ucap Hiroaki berlagak ketus. "Simpan vespamu dan cepat masuk."
"T-tapi---"
Hiroaki membuka pintu mobil. "Ayo. Waktu terus bergerak," ucapnya lantas masuk ke balik kemudi.
"B-baik, Pak," jawab Ruri dan langsung melaksanakan perintah Hiroaki.
Sebenarnya, saat ini Ruri bukan penasaran pada destinasi mereka. Ada yang lebih penting dari itu. Pakaiannya. Ia masih mengenakan kaus, jaket dan celana lusuh berbahan jeans; sementara Hiroaki rapi dan bergaya dengan kemeja yang seperti baru diseterika.
Ke mana pun mereka pergi, perpaduan itu sama sekali tidak pantas untuk bersanding. Bagaikan langit dan parit.
***"Apa semua ini tidak terlalu mahal, Pak?" bisik Ruri ketika mereka berada di dalam lift menuju restoran di puncak Hotel Empire Castle.
"Yang mana?"
"Itu." Ruri menunjuk pantulan dirinya pada cermin yang terpasang pada dinding lift. "Anting, jepit, gaun, dan sepatu."
"Tidak ada waktu untuk berganti pakaian."
Ruri masih tidak mampu mengalihkan pandangan dari dirinya sendiri. Rambut pendeknya ditata ke belakang telinga; dihiasi jepit rambut bertatahkan kristal yang senada dengan anting panjangnya. Longdres dadu bermotif floral; senada dengan sepatu berhak datar di kedua kakinya.
Tidak hanya Ruri. Hiroaki juga mengganti pakaiannya dengan setelan jas cokelat kopi. Padahal kemeja marun yang tadi ia kenakan sudah membuat ia tampak keren. Ternyata pesona seseorang bisa tidak terbatas begini.
"Seharusnya, tadi saya memilih yang lebih murah supaya tidak terbebani."
"Memangnya pakaian ini beratnya satu ton?"
"Bukan begitu, Pak. Tapi sepertinya ini sangat mahal. Sampai-sampai saya tidak boleh tahu harganya."
"Itu murah, kok. Aku menyewanya."
"Oh, itu berarti saya harus berhati-hati. Jangan sampai kotor atau sobek."
"Santai saja, gaun ini tidak terbuat dari tisu."
"Lalu kapan saya harus mengembalikan ini?"
"Tidak usah. Aku menyewakan itu padamu sepanjang masa."
"Eh, jangan, Pak---"
"Berhenti protes dan coba untuk bicara dengan santai," sela Hiroaki disusul denting lift yang tiba di tujuan.
***"Aku tidak menyangka bisa lebih bahagia lagi."
Hiroaki menyesap anggurnya. "Seharusnya, memang tidak ada garis batas untuk kebahagiaan."
Ruri mengangguk. Ia mengalihkan tatapan dari Hiroaki pada kaca yang menampilkan pemandangan malam. "Terima kasih, Hiro-san. Sudah meminjamkan pakaian bagus dan membawaku ke tempat yang sangat indah. Aku sangat bersyukur tidak benar-benar melompat malam itu."
Hiroaki meletakkan gelas bertangkai dan menyimak penuh pada ucapan Ruri.
"Aku pernah berencana melakukan hal yang pasti akan kusesali kalau sampai terjadi." Ruri menjatuhkan pandangan ke pangkuan. "Aku hampir mengakhiri hidupku sendiri."
Hiroaki menyesap minumannya demi menutupi kegetiran di bibirnya. "Aku bersyukur rencanamu itu tidak tercapai."
Ruri tersenyum setuju. "Waktu itu ... rasanya hidup terlalu berat untuk dijalani sendirian. Ibuku pergi ketika aku masih kecil. Ayahku meninggal setelah mengantarku ke lokasi ujian. Serangan jantung dalam perjalanan pulang. Aku juga tidak lolos masuk ke universitas impianku."
"Itu yang menginspirasi rancanganmu?"
"Iya. Aku tidak ingin ada orang lain yang mengalami seperti Ayahku."
"Memangnya ... Ibumu pergi ke mana?" tanya Hiroaki dengan hati-hati.
"Aku juga tidak tahu," geleng Ruri. "Sampai sekarang aku belum pernah bertemu lagi dengannya."
"Apa kau berharap bisa bertemu dengan Ibumu?"
Ruri menggeleng. "Kalau Ibuku datang untuk bertemu denganku, aku mau saja. Yang jelas, aku tidak akan mencari atau menemuinya lebih dulu."
"Kenapa?"
"Karena ... aku tidak tahu apa alasan Ibuku pergi. Bagaimana kalau aku yang menjadi penyebabnya? Jangan sampai, kehadiranku yang tiba-tiba malah merusak kebahagiaannya yang sekarang," tutur Ruri. "Malah, aku lebih ingin bertemu dengan orang yang menyelamatkanku waktu hendak melompat."
"Siapa dia? Apa kau tahu ciri-cirinya?"
Ruri menggeleng. "Aku cuma tahu dia itu perempuan, dari suaranya. Itu juga tidak terlalu jelas karena seperti menahan tangis."
"Kau tidak menanyakan namanya?"
"Melihatnya saja, aku tidak berani," ucap Ruri sambil tertawa kecil. "Aku sangat malu, jadi cuma bisa menunduk. Bahkan ketika kami berjalan ke apotek 24 jam."
"Kau cedera?" tanya Hiroaki khawatir. Padahal kejadian itu terjadi di masa lalu.
"Lebih tepatnya, kami berdua," angguk Ruri. "Aku sempat melihat punggung tangannya yang luka."
Ekspresi Hiroaki menegang. Ia tidak bisa membayangkan Ruri yang kesakitan. "Kau sendiri bagaimana?"
"Yang paling parah, cuma lecet di sikuku," kenang Ruri. "Kalau bisa bertemu lagi, aku ingin berterima kasih. Karena itu, aku jadi punya kesempatan untuk kuliah di tempat yang sekarang. Dan dari setiap keputusanku, menuntunku pada hari ini. Di mana aku berada sekarang."
Hiroaki mengulum senyum. "Andai bisa, aku juga ingin berterima kasih. Berkat dia, kau sekarang ada di restoran ini. Bersamaku."
Salah tingkah, Ruri menunduk sambil menyentuh sekilas jepit di atas telinganya. "Omong-omong, makan malam ini dalam rangka apa?"
"Merayakan kemenanganmu."
"Ah, seharusnya aku mengajak anggota timku."
"Ruri." Hiroaki tersenyum dan menggenggam tangan Ruri di atas meja. "Bukankah, seharusnya tujuanku ini sangat mudah dipahami?"
***Dengan ponsel di tangan, Hiroaki berjalan menuju ruangan kerjanya. Sejak turun dari mobil, ia sibuk bertukar pesan singkat dengan Ruri. Senyum terus menari-nari di bibirnya.
"Saya kira, Jasper langsung mengantar Anda pulang."
Suara itu membuat Hiroaki mendongak dan menyimpan gawainya. Tidak ada karyawan yang betah di kantor hingga pukul sebelas malam, kecuali Jasmyn.
"Aku tidak bersama Jasper."
Glabela Jasmyn berkerut bingung. Ia berpindah keluar dari balik mejanya. "Kukira, kalian pergi bersama."
"Tadi dia membawa sedan yang hitam. Katanya, ada urusan."
"Astaga." Jasmyn memejam kesal. "Kenapa kau biarkan?"
"Biar saja, Jasmyn. Aku tidak keberatan Jasper meminjam kendaraanku."
"Ini bukan tentang mobilnya---sudahlah. Tidak ada gunanya kita berdebat tentang dia," ujar Jasmyn. "Kau mau makan malam apa? Biar kupesankan."
"Tidak usah. Aku sudah makan malam tadi."
"Oh. Baiklah."
Begitu Hiroaki menghilang ke balik pintu, Jasmyn menyentuh perutnya yang bergemuruh. Sejak tadi ia menahan lapar karena menunggu Hiroaki dan Jasper kembali. Agar bisa makan malam bersama. Namun, tidak seorang pun yang peduli padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Touch Your Heart ✔
RomanceSelama bekerja sebagai kurir, Ruri Keyara selalu melakukan tugasnya dengan sempurna. Namun, pagi itu kiriman yang ia antar ditolak dan dibuang di depan matanya. Tidak ada yang pernah melakukan itu. Kecuali si lelaki berhati batu! Bagi Hiroaki Tóru...