[Hiro ... ini Ibu. Tadi Ibu menelepon ke kantor, mengundangmu makan malam. Tapi sepertinya kau terlalu sibuk. Jadi, lebih baik batal saja. Tolong datanglah kalau ada waktu. Alamat Ibu di ... eh, jangan repot-repot. Lebih baik Ibu yang mengunjungimu. Sudah hampir tiga bulan kau di sini, tapi kita belum sempat bertemu. Kau tinggal di rumah yang dulu ditempati Ayahmu, kan?]
Hiroaki langsung menutup pesan suara itu ketika pintu kantornya mendadak terbuka. Seorang pemuda jangkung bersetelan rapi masuk dengan tiga kotak piza dan kantong plastik berisi botol soda satu setengah liter di tangannya.
"Aku datang membawa makan malam," ucap pemuda itu riang seraya meletakkan bawaannya ke atas meja.
Sambil menyunggingkan senyum, Hiroaki ikut duduk di sofa yang biasa menjadi tempat ia menerima tamu. "Apa kabar, Jasper?"
"Baik, Kakak ipar," jawab Jasper Hart berbuah gulungan kertas mendarat di puncak kepalanya. "Aduh!"
"Jangan sembarangan memanggil orang," tegur Jasmyn sambil mengatupkan gigi atas dan gigi bawahnya. Lalu ia mengangguk segan pada bosnya. "Maaf, ya, Hiroaki-san."
"Memang apa salahnya?" protes Jasper. "Kau, kan, yang sering memanggil dengan sebutan 'Hiroaki-Sayang' begitu."
Sepasang netra Jasmyn melebar. Setengah marah, setengah malu. Kalau bosnya bukan Hiroaki, ia pasti sudah dipecat karena memiliki adik kurang ajar. "Kalau tidak tahu apa-apa, lebih baik kau diam. Dan bagaimana caranya kau bisa masuk ke sini?"
"Semua orang, kan, tahu aku ini adikmu, jadi satpam membiarkanku naik," sahut Jasper sambil melepas kancing manset dan menggulungnya sampai siku. "Ayo, makan!"
"Bawa pergi ini semua." Jasmyn menarik lengan baju adiknya. "Kami sudah memesan makanan."
"Jangan percaya selera Kakakku. Otaknya memang cerdas tapi kalau untuk urusan makanan---" Jasper menyelesaikan kalimat dengan gestur mengarahkan ibu jarinya ke bawah. Ia menempelkan tangan sedekat mungkin dengan dada, berharap Jasmyn yang berdiri di belakangnya tidak bisa melihat itu.
"Jangan mengolokku, Jasper." Jasmyn kembali memukulkan gulungan kertas yang ia pegang ke kepala adiknya. "Untuk apa kau mengenakan setelan seperti itu?"
"Untuk memberi impresi yang baik terhadap Kakak ipar." Jasper mengangkat dagu dengan bangga. "Penampilan itu nomor satu. Sebaik apa pun sikap kita dan setebal apa pun dompet kita, orang lain akan menilai penampilan kita lebih dulu."
"Hentikan omong kosongmu."
Hiroaki tergelak singkat. Interaksi kakak-beradik inilah yang mewarnai hari-harinya di sini. Kepedulian Jasmyn yang selalu ditutupi dengan sikap galak. Sementara Jasper selalu impulsif dan riang sejak kali pertama melihat Hiroaki.
Waktu itu adalah pekan kedua Hiroaki berada di negara ini. Jasmyn terpeleset di tangga kantor hingga kakinya terkilir. Hiroaki mengantar gadis itu pulang. Jasper yang membukakan pintu rumah. Raut cemas pemuda itu langsung berubah lega ketika melihat Hiroaki.
'Selama ini aku selalu mengkhawatirkan nasib percintaan Kakakku. Syukurlah, hari ini aku bertemu jawaban atas doa-doaku,' ucap Jasper sambil menjabat tangan Hiroaki di teras rumah.
Entah bagaimana, kehadiran Jasmyn dan Jasper selalu membawa serta suasana khas keluarga.
"Bagaimana tugas akhirmu?" tanya Hiroaki sambil mengambil sepotong piza dari kotak yang baru saja dibuka Jasper.
Jasper mencebik. "Jangan membicarakan hal menyebalkan begitu, Kakak ipar. Aku datang ke sini untuk menghibur diri karena kesal dengan dosen pembimbing."
"Jaga bicaramu, Jasper," desis Jasmine lantas duduk di samping adiknya.
"Ah, aku juga membawa beberapa minuman." Jasper mengeluarkan isi kantong plastik dari minimarket itu. "Ada soda untukku. Kopi untuk Jasmyn. Daaan ... teh hijau untuk kakak ipar."
Hiroaki memandang botol di hadapannya lalu tersenyum. "Terima ka-shi, Jasper."
"Hiroaki-san tidak suka minum itu."
Glabela Jasper berkerut pada kakaknya. "Kenapa tidak? Bukankah kau selalu menghidangkan teh sepanjang waktu? Oh---" tatapannya berpindah pada Hiroaki. "Kakak ipar cuma mau minum teh yang dibawakan Jasmyn, ya?"
"Teh di kemasan seperti ini ... sangat manis untukku."
"Terlalu manis," tambah Jasmine menegaskan maksud Hiroaki.
"Memang manis. Coba saja dulu, Kakak ipar. Ini lebih enak dari buatan Jasmyn."
"Setiap orang punya selera masing-masing. Jangan memaksa," tegur Jasmyn yang untung saja dituruti adiknya.
Jasper mengambil botol dari meja. "Maaf, Kakak ipar."
"Santai saja, Jasper."
"Maaf, Hiroaki-san. Bagaimana dengan makanan yang tadi saya pesan?"
"Bawa saja ke sini. Kita makan bersama."
"Benar. Kalian sudah bekerja keras, jadi harus makan yang banyak," timpal Jasper lantas menggigit piza dari baguan samping.
Jasmyn menyikut lengan adiknya. "Gigit dari ujung yang sudutnya paling kecil."
"Astaga." Jasper memelototi Jasmine. "Ini cuma piza, Kak. Kenapa kau membuat hidup rumit begini?"
***Ketika jarum jam menyentuh angka dua, Ruri mengembuskan napas lega. Akhirnya, setumpuk tugas kuliah sudah selesai ia kerjakan.
Kedua kelopak matanya semakin terasa berat. Namun, Ruri tidak bisa tidur nyenyak sebelum menyiapkan keperluan untuk mempermudah rutinitasnya nanti pagi. Ia menggantung pakaian ke samping cermin, memindahkan sepasang sepatu ke rak paling atas, dan menyimpan tugasnya ke dalam tas.
Lima belas kemudian, Ruri mengempaskan tubuh ke kasur. Ada waktu lima jam yang bisa ia manfaatkan untuk tidur sebelum kuliah jam delapan pagi. Tubuhnya terasa kebas akibat terlalu lelah. Namun, perlakuan menjijikan yang tadi ia dapatkan masih membekas di seluruh tubuh.
Perlahan, gadis berambut hitam itu meringkuk seperti bayi dalam kandungan. Ruri berusaha memeluk dirinya sendiri. Dan membisikkan harapan bahwa semua akan berlalu. Bahwa semua akan baik-baik saja.
Sebelum memejam, ia memeriksa ponselnya dan mendapati notifikasi yang ramai. Sengaja, ia menyetel gawainya dalam mode hening. Ia tidak mau konsentrasinya teralihkan karena dering ponsel.
Beberapa pesan masuk meminta Ruri mengantarkan barang nanti pagi. Ia bersyukur, bajingan tadi tidak menghubungi dengan nomor lain setelah Ruri memblokirnya.
Menggeleng kuat, Ruri langsung mengenyahkan pikiran buruk. Ia mengetik balasan pesan kepada beberapa pelanggan yang berisi permintaan maaf untuk menolak dengan alasan ada kuliah. Kecuali untuk satu pesan dari seseorang yang juga meninggalkan jejak panggilan tidak terjawab.
Ruri selesai mengirim pesan konfirmasi untuk orang itu, kemudian terlelap sambil memeluk jam beker.
KAMU SEDANG MEMBACA
Touch Your Heart ✔
RomanceSelama bekerja sebagai kurir, Ruri Keyara selalu melakukan tugasnya dengan sempurna. Namun, pagi itu kiriman yang ia antar ditolak dan dibuang di depan matanya. Tidak ada yang pernah melakukan itu. Kecuali si lelaki berhati batu! Bagi Hiroaki Tóru...