Ruri tidak terkejut. Sama sekali tidak.
Ia justru heran mengapa Shigeki Tóru memberi jeda waktu dua hari sebelum menghubunginya. Pria itu meminta untuk berbicara empat mata dengan Ruri. Tentu saja, tanpa sepengetahuan Hiroaki.
Ketika memilih pakaian pun, Ruri tersadar betapa dirinya dan Hiroaki sangat berbeda. Tanpa lelaki itu, ia tidak bisa mengenakan gaun mewah. Malam ini, di restoran mewah ini, ia hanya mengenakan blus yang dipadankan dengan blazer dan rok span selutut. Walaupun terkesan seperti sedang menghadapi interviu kerja, tetapi itu adalah pakaian formal terbaik yang ia miliki. Dan ia yakin, Shigeki Tóru memahami keterbatasannya.
"Baiklah," ucap Ruri sambil menunduk. "Saya mengerti maksud Bapak."
"Jangan kaku begitu, Ruri. Apa ada kata-kataku yang membuatmu tertekan?"
Seketika, Ruri menegakkan tubuh. Ia memaksakan senyum. "Sama sekali tidak. Saya hanya merasa berterima kasih sudah diajak makan ke tempat mewah seperti ini."
Shigeki terkekeh. "Ini bukan apa-apa. Justru aku yang berterima kasih karena kau tidak menentang dan mempersulit permintaanku."
Di dalam hati, Ruri juga bersyukur ayah Hiroaki tidak mencercanya dengan hinaan. Pria itu memperlakukannya dengan baik, seolah mereka adalah kolega yang saling bekerja sama. Padahal ia yang bukan siapa-siapa ini begitu berani berpacaran dengan putranya yang berharga.
Ruri sudah menjadi orang yang tidak tahu malu.
Selama ini, ia sudah terlalu naif. Ruri kira, cinta di antara ia dan Hiroaki sudah cukup untuk mengikat mereka bersama. Namun, setelah pertemuan Senin lalu---di mana Hiroaki secara mendadak berkata akan menikahinya---ia akhirnya menyadari bahwa ada banyak hal yang harus dipikirkan sebelum melanjutkan hubungan ini.
Hiroaki berhasil meyakinkan Ruri bahwa lelaki itu serius dengan ucapannya. Ia sendiri memang tidak meragukan Hiroaki. Namun, menikah bukanlah hal mudah yang bisa dilaksanakan tanpa pemikiran panjang dan berulang.
"Kau pasti bertanya-tanya kenapa aku baru mengajakmu bertemu setelah dua hari," tebak Shigeki membuat Ruri merasa kepalanya menjadi transparan. "Karena setahu Hiroaki, aku sudah pulang siang tadi. Dia juga ikut mengantarku sampai bandara."
Ruri menganggut-anggut mengerti. Dengan begitu, Hiroaki tidak akan mencurigai apa pun dari ayahnya.
"Kau sendiri, apa yang kau katakan sehingga bisa datang ke sini?"
"Saya berkerja sambilan sebagai kurir, jadi saya bilang kalau malam ini ada beberapa order pengantaran."
"Dan dia setuju begitu saja?"
"Selama ini, kami memang tidak pernah saling menyulitkan urusan pribadi masing-masing."
"Apa kau mencintai anakku?"
Tersenyum malu, Ruri menunduk sekilas karena pipinya terasa hangat. "Ya," jawabnya singkat. "Saking cintanya, saya tidak mau dia kesulitan gara-gara saya."
"Oh, aku bukan meminta kalian putus." Shigeki meneguk wine-nya. "Hanya saja ... coba kau pikirkan ulang. Apakah hubungan kalian hanya sesaat atau akan abadi sampai masa depan? Setelah dari sini, dia juga masih akan pindah untuk mengurus cabang di Berlin dan Bangkok. Apa kau sanggup menunggu selama itu?"
"Tentu akan saya pikirkan."
"Kudengar, kau mahasiswi yang berprestasi di kampusmu. Nilai-nilaimu bagus, kau juga beberapa kali menang lomba di bidang mesin."
Ruri mengangguk segan. Tentu saja Shigeki pasti sudah menyelidiki tentang latar belakangnya. "Ah, saya rasa itu pujian yang terlalu tinggi."
"Jangan terlalu merendah begitu. Semua itu berkah membanggakan yang harus kau syukuri," kata Shigeki lantas meletakkan gelasnya ke meja. "Apa kau punya rencana untuk pendidikan mau ke depannya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Touch Your Heart ✔
RomanceSelama bekerja sebagai kurir, Ruri Keyara selalu melakukan tugasnya dengan sempurna. Namun, pagi itu kiriman yang ia antar ditolak dan dibuang di depan matanya. Tidak ada yang pernah melakukan itu. Kecuali si lelaki berhati batu! Bagi Hiroaki Tóru...