IV. Ridiculous (2/2)

1.4K 214 3
                                    

Hiroaki memandang gambar-gambar rancangan mobil tanpa minat. Ia menyesap tehnya, berharap itu bisa menjernihkan pikiran. Namun, begitu isi  cangkirnya tersisa setengah, pikirannya tetap tidak terurai.

Tiba-tiba kenangan ketika usianya tiga belas tahun muncul di antara benang kusut itu. Waktu itu Hiroaki menerima penghargaan sebagai siswa terbaik di sekolahnya. Ia berpidato di hadapan semua siswa, mengajak mereka untuk lebih bersemangat menghadapi tahun ajaran baru.

Semua orang---para guru dan teman-teman Hiroaki mengucapkan selamat dan menatapnya dengan bangga. Namun,  ada sesuatu yang kosong di relung dadanya. Ia tidak memahami apa penyebabnya.

Sampai kemudian, ia melihat siswa yang berada di peringkat dua. Bocah lelaki yang dari kelas sebelah itu disambut kedua orang tuanya setelah menerima penghargaan. Usai acara, mereka sekeluarga berfoto di bawah pohon sakura besar di pekarangan sekolah.

Mata Hiroaki tidak bisa lepas dari keluarga itu. Mereka bagaikan lukisan sempurna dalam benaknya. Hiroaki jadi berandai-andai memiliki semua itu. Ia memang berbakat dan cerdas. Namun, andai saja ibunya belum meninggal dan ayahnya rela meluangkan waktu untuk datang, pasti hidupnya akan sempurna.

Bukan berarti tidak ada yang datang untuk Hiroaki. Sekretaris ayahnya hadir untuk mengisi kursi orang tuanya. Walaupun hanya sepuluh menit sebelum acara selesai. Pemuda itu memberi Hiroaki hadiah dan ucapan selamat lalu mengantarnya pulang.

Hiroaki tidak menemukan apa nama emosi itu. Yang jelas, perasaan yang sama tadi kembali muncul. Ketika ia melihat Ruri berusaha melindungi lelaki itu di anzen dojo.
***

"Untunglah kau berdandan hari ini," ucap Neo pada Ruri ketika mereka duduk di kursi kantin.

"Memang kenapa?"

"Ya, siapa sangka ternyata direktur tampan mengamati kegiatan kita."

Ruri menggaruk-garuk telinga. "Aneh mendengar kau mengucapkan itu."

"Memangnya menurutmu, Pak Tóru itu jelek?"

"Tidak begitu juga, sih. Biasa saja." Ruri mengedikkan bahu. "Memang kenapa? Bukankah kau pernah bilang, rasanya aneh kalau lelaki memuji lelaki lain?"

"Ya ampun, kau masih mengingat ucapanku? Itu, kan, waktu semester dua." Neo terkekeh. "Benar juga. Perempuan, kan, ahli sejarah."

Ruri mencebik lalu mengedarkan pandangan. Ia memperhatikan sekitar agar bisa segera memutuskan menu makan siangnya.

"Aku cuma menyuarakan ucapan anak-anak magang yang lain. Terutama perempuan. Kukira kau juga berpikir hal serupa."

"Mungkin aku berbeda selera dengan mereka." Ruri menggeleng. "Menurutku, yang penting dari seseorang itu adalah hatinya. Bukan sekadar keindahan fisik."

"Jadi, Pak Tóru hatinya tidak baik?"

"Entahlah." Ruri mengangkat pundak, enggan memunculkan ingatan tentang lelaki itu. "Tapi bisa saja kan dengan tampilan fisik seperti itu ternyata hatinya batu."

"Benar juga." Neo menganggut-anggut. "Lalu kenapa hari ini kau pakai make-up?"

Ruri menoleh dengan hidung mengernyit. "Kau masih ingin membahas ini, Neo? Serius?"

"Aku cuma ingin tahu. Kau tampil secantik itu untuk siapa," gumam Neo. "Apa kau berharap bisa bertemu jodohmu di sini. Atau memang khusus untuk seseorang---"

"Aku berdandan untuk diriku sendiri," tegas Ruri lalu berdiri. "Aku pesan mi ayam dulu, ya. Kau mau minum apa? Sesuai janji, aku traktir."

"Aku ikut saja sekalian." Neo ikut berdiri dan mengiringi Ruri menuju konter. Gadis itu tidak mengerti. Neo merasa gamang ketika mendapati lelaki lain menunjukkan ketertarikan pada Ruri.

Sekarang, Neo hanya berharap kejadian di anzen dojo tadi bisa membuat lelaki lain menjaga jarak. Semoga mereka memahami siapa yang benar-benar berhak mendapatkan atensi Ruri.
***

Tanpa mengganti pakaian magangnya, Ruri merebahkan kepala di atas meja makan. Ia memejam dan menajamkan indra pendengar. Bunyi mesin lemari pendingin dan putaran mesin cuci membuat ia merasa damai.

Ruri menyukai bunyi-bunyi itu. Seolah mesin-mesin itu menyapanya dan membisikkan semangat untuk tetap hidup. Membuat ia tidak merasa kesepian, walau sedang sendirian.

Padahal pada dasarnya, semua manusia itu sendirian. Ikatan sekuat apapun tidak akan menjamin hubungan akan berlangsung selamanya.

Pikiran seperti itu tidak tumbuh instan di benak Ruri. Ia masih ingat pipi dan bantal yang basah karena air mata. Rayuan yang sia-sia. Pada akhirnya, seorang manusia---yang ia kira memiliki cinta seluas semesta---itu tetap pergi meninggalkannya.

Suatu malam---ketika Ruri masih kanak-kanak, ia mendengar orang tuanya bertengkar. Bukan hal istimewa. Hampir setiap malam, ia terbangun karena ini. Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini.

Ruri urung kembali tidur dengan kepala di bawah bantal. Seperti malam-malam sebelumnya. Dari celah pintu yang terbuka, ia melihat ibunya menarik sebuah koper besar. Biasanya, koper itu sering mereka bawa untuk liburan.

Sudah lama mereka tidak pernah lagi naik pesawat. Ruri menghitung, sudah tiga belas bulan yang lalu. Kali ini, ibunya mau liburan ke mana? Kenapa tidak mengajak serta ia dan ayahnya?

'Ibu mau ke mana?' tanya Ruri ketika membuka pintu dan langsung menghambur pada wanita beraroma seperti toko kue itu.

Ibunya tersenyum walau dengan air mata mengalir. 'Ibu pergi dulu, ya, Ruri.'

'K-kapan pulang?' isak Ruri walau ia tidak tahu alasannya untuk ikut menangis.

'Ibu ... tidak tahu.'

'Ruri mau ikut.'

Ibunya melirik pada ayahnya yang hanya duduk tertunduk di sofa. 'Ruri akan lebih senang di sini.'

'Ruri mau ikut,' rengek Ruri sambil mencengkeram ujung pakaian Ibunya.

Perlahan, wanita itu mengurai genggaman Ruri. 'Maaf, ya. Suatu saat, ketika Ruri sudah dewasa, Ruri akan mengerti,' ucapnya lantas menghilang ke balik pintu yang berdebum.

Setelah itu, baru ayahnya menghampiri Ruri. Pria itu mendekapnya dan membiarkan Ruri kecil  menangis sepuasnya.

Ikatan suci pernikahan orang tuanya tidak bisa menyatukan keluarganya. Hubungan darah di antara mereka tidak mampu menahan kepergian ibunya. Tali pusat yang dahulu menghubungkan mereka seakan tidak pernah ada.

Itu adalah kali terakhir Ruri menangis di depan orang lain. Setelah itu, ia selalu tersenyum bahagia seakan semuanya baik-baik saja. Tangisnya hanya akan tumpah di bantal ketika malam larut dan ia yakin ayahnya sudah terlelap.

Sekarang Ruri sudah dewasa. Bukan lagi gadis berusia empat tahun yang bisa dicampakkan tanpa perlawanan. Namun, ia tetap tidak mengerti alasan ibunya pergi---seperti yang dijanjikan wanita itu.

Touch Your Heart ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang