II. Rendezvous (2/2)

1.8K 243 18
                                    

"Oh, ohayou gozaimasu, Hiroaki-san," ucap Ruri impulsif begitu mengenali bahasa yang digunakan kedua orang di hadapannya.

Mereka saling melempar tatapan bingung mendengar ucapan kikuk yang seolah muncul dari anime yang videonya rusak. Ruri memang pernah  mempelajari bahasa Jepang sebagai mata kuliah tambahan.  Namun, ia tidak pernah menggunakan kemampuan bicaranya secara aktif. Dengan terbata, ia memperkenalkan diri dan mengucapkan maksud kedatangannya.

"Bawa kembari saja," ucap Hiroaki sambil mengedikkan dagu.

Kali ini, Ruri yang bingung mendengar lelaki itu berbicara dengan bahasa yang sangat ia kuasai. Meskipun logatnya terdengar aneh, tetapi tetap bisa dimengerti.

"Tapi ... Bu Hannah meminta saya untuk memastikan bahwa Kak Hiroaki yang menerima ini. Apa benar Anda yang bernama Hiroaki?"

"Benar. Tapi aku tidak mau menerima apa pun dari wanita itu." Hiro mengucapkan itu dengan suara yang bercampur angin dari kutub utara. "Terutama makanan."

"Tapi---"

"Berapa banyak dia membayarmu?" sela Hiroaki seraya menyimpan tangan ke dalam saku celana. "Akan kuganti ongkosnya. Sebutkan saja berapa."

"Ini bukan tentang uang, tapi amanah. Bu Hannah sudah memercayakan makanan ini untuk saya antar."

"Itu bukan urusanku. Bawa pergi makanan dari wanita jahanam itu."

Senyum dan sikap lembut Hannah terbayang di benak Ruri. Entah bagaimana, ia merasa sakit hati. Padahal bukan dirinya yang disebut 'jahanam'.

"Tolong jaga bicara Anda," ucap Ruri dengan gigi terkatup. "Itu sangat tidak sopan untuk diucapkan kepada orang lain. Terutama orang yang lebih tua."

"Jangan sok mengguruiku. Memangnya siapa kau?"

"Saya seorang kurir!"

"Dan apa yang bisa disombongkan dari itu?"

"Saya bertugas menyampaikan barang dari pengirim kepada penerima. Kalau Anda tidak mau menerima ini sama saja sudah mencoreng profesi saya."

Hiroaki mengangkat satu alis seraya melangkah maju. "Jadi?"

"Saya akan menunggu di sini sampai Anda menerima  kiriman ini," ucap Ruri sambil menatap sungguh-sungguh kedua mata lelaki di hadapannya. Niat awalnya, ia hanya ingin menggertak. Namun, sekarang ia mendadak khawatir kalau Hiroaki akan membiarkan ia mewujudkan ucapannya. Ini benar-benar gawat. Padahal Ruri ada jadwal kuliah pagi ini.

Tanpa dinyana, Hiroaki justru terkekeh. Entah apa yang lucu. "Oke. Aku terima ini," ucapnya lantas mengangkat kotak yang dibawa Ruri.

Untuk beberapa saat, Ruri takjub. Padahal lengan di balik kemeja putih itu tampak ramping dan tidak berotot. Seharusnya, tidak mungkin bisa dengan mudah mengangkat barang yang sejak tadi harus didekap Ruri dengan kedua tangannya.

Lelaki itu berbalik dan kembali menuju pintu, diikuti gadis yang entah mengapa sekarang terasa familier. Ruri seperti pernah melihat wajah itu sebelumnya. Belum sempat ia menggali ingatan, orang itu sudah berbalik mengikuti Hiroaki.

Senyum lega terbit di bibir Ruri. "Arigatou gozaimasu, Hiroaki-san," ucapnya seraya membungkuk sembilan puluh derajat.

Detik berikutnya, kotak makanan itu mendarat ke dekat kaki Ruri disertai bunyi pecah. Ia menegakkan punggung dan matanya langsung berserobok dengan sepasang netra hitam milik Hiroaki.

"Apa-apaan ini?" dugas Ruri ke arah Hiroaki yang menatapnya dengan malas. "Kenapa Anda membuang itu?"

"Karena sampah memang harus dibuang. Kucing-kucingku saja pasti tidak akan ada yang sudi mengendusnya."

Geram, Ruri menarik kerah kemeja putih yang dikenakan Hiroaki. "Kau berkata kasar pada orang lain dan juga memperlakukan makanan dengan sangat buruk. Apa hatimu terbuat dari batu, ha?"

Hiroaki mencekal kedua pergelangan tangan Ruri. "Hatiku memang terbuat dari batu permata. Yang tidak boleh disentuh sembarang orang," ucapnya seraya melepaskan cengkeraman si gadis kurir.

Ruri menarik napas berat dan mengembuskannya dengan gusar. "Baiklah. Terima kasih sudah menggunakan jasa Ruri Kurir," ucapnya datar lantas berbalik. Ia mengangkat kotak dan menuju gerbang. Tanpa peduli sedikit pun pada sedan putih yang bersisian jalan dengannya.
***

"Gadis yang gigih," komentar Jasmyn sambil menatap arah kepergian gadis bernama Ruri itu.

Hiroaki mengangguk setuju. "Di kondisi tertentu, itu merupakan sifat yang bagus."

"Kenapa kau melarangku untuk bicara?"

"Karena yang diinginkan gadis itu adalah aku," ucap Hiroaki. "Kalau kau ikut bicara, dia akan mengabaikanmu."

Sedan putih yang biasa menemani keseharian Hiroaki melintas dan berhenti tepat di depan mereka. Jasper turun tanpa memadamkan mesin. Yang tentu saja berbuah omelan dari kakaknya.

"Berapa kali kubilang, parkir yang benar!"

Dengan satu tangan, Jasper menangkap pergelangan tangan Jasmyn yang hendak mendarat di bahunya. Tatapannya tertuju pada Hiroaki. "Kakak ipar, siapa gadis yang tadi?"

"Yang mana?"

"Yang membawa kotak di pelukannya."

"Oh, cuma kurir."

"Ck. Seharusnya tahan dia sedikit lebih lama," keluh Jasper sambil melonggarkan cengkeraman di tangan Jasmyn.

"Jangan berdecak seperti itu, Jasper," tegur Jasmyn dengan glabela berlipat. "Tidak sopan."

"Memang kenapa?" tanya Hiroaki.

"Tadi dia menabrak bumper mobilmu, Kakak ipar," adu Jasper sambil menunjukkan goresan yang ia maksud.

Hiroaki hanya menatap datar sementara Jasmyn sudah serupa gunung api yang siap meledak.

"Kenapa kau terus membuat masalah, Jasper?" tanya Jasmyn penuh amarah.

"Aku tidak melakukan apa-apa." Jasper membela diri. "Kurir itu yang menabrak mobil. Ketika aku menagih ganti-rugi, dia kabur. Siapa sangka aku akan melihat vespa merah jambu itu di depan pagar."

"Sudah, tidak apa-apa," ucap Hiroaki santai. "Sebaiknya, jangan berurusan dengan gadis itu."
***

Setelah menggantung helm di spion vespa, Ruri tidak langsung turun. Ia mengeluarkan ponsel untuk menelepon Hannah. Pelanggan nomor satunya itu harus segera menerima kabar bahwa misi gagal.

"Bu Hannah, saya minta maaf," ucap Ruri begitu panggilan tersambung di dering ketiga.

[Ditolak, ya?]

"Iya. Maaf, ya, Bu," sesal Ruri. "Akan saya kembalikan makanannya setelah kuliah."

[Eh, tidak apa-apa. Tidak perlu Ruri dikembalikan, makan saja bersama teman-teman.]

Hati Ruri menghangat karena kalimat singkat itu. Bagaimana bisa wanita sebaik ini disebut 'jahanam'? "Sekali lagi, maaf, ya, Bu. Saya kembalikan ongkos kirimnya juga."

[Tidak apa-apa, Ruri.] Senyum lembut terbayang di antara suara Bu Hannah. [Tidak perlu dikembalikan. Ruri saja yang menyimpan uangnya.]

"Jangan, Bu. Saya, kan, gagal mengantar kiriman Ibu."

[Dari awal, aku sudah tahu kalau akan ditolak. Tapi ... tidak ada salahnya mencoba, kan?]

Ruri terdiam. Muncul beberapa pertanyaan di benaknya. Seperti, apa hubungan antara Hannah dan Hiroaki? Namun, ia menahan diri.

[Jangan dipikirkan, ya, Ruri. Lebih baik perhatikan kuliahmu.]

Ruri mengagguk mantap. "Baik. Terima kasih, Bu Hannah."

Setelah menyimpan ponselnya ke saku, Ruri membuka ritsleting insulated thermal bag. Ia hendak mengeluarkan kotak makan dari Hannah ketika seseorang meneriakkan namanya.

Seorang lelaki seusia Ruri berlari ke arahnya. Rautnya merupakan paduan antara ngeri dan kaget. "Ruri, gawat! Namamu ada di papan pengumuman."

Touch Your Heart ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang