Ruri menatap horor pada Hiroaki. Kelopak matanya melebar protes. "Aku tidak mau," desisnya. Mereka sedang duduk di jok belakang taksi yang melaju ketika Hiroaki berkata bahwa Ruri lebih baik menginap di rumahnya. Alasannya? Ini sudah larut malam. Tidak masuk akal!
"Bisakah kita berdebat nanti saja?" tanya Hiroaki sambil merebahkan tengkuk ke sandaran jok.
"Ini bukan sesuatu yang bisa kauputuskan secara sepihak. Aku juga punya hak yang sama untuk menolak."
"Semua demi keamanannmu. Aku tidak mau kau sendirian sehabis menghadapi bahaya."
"Ya, ampun. Itu, kan, sudah berlalu. Tidak bisa dijadikan alasan."
Hiroaki mendebas. "Besok, kan, Minggu. Memang apa yang mau kaukerjakan?"
"Ya. Banyak," jawab Ruri asal. Ia memikirkan dengan cepat kegiatan yang mungkin ia lakukan. "Mungkin saja ada order untuk pengantaran barang."
"Tidak akan ada yang menghubungimu."
Benar juga. Ponsel satu-satunya rusak. "Aku mau mencuci baju."
"Besok kirim saja ke penatu. Pasti ada yang buka."
"Hem ... aku tidak membawa pakaian ganti."
"Kau bisa pakai punyaku. Tenang saja, mereka tidak pernah menjadi keset."
Ruri melirik tajam pada sindirian Hiroaki. "Ini kita akan pulang ke rumah utamamu?" tanyanya dijawab anggukan Hiroaki yang sedang memejam. "Kucing. Benar. Kau, kan, punya kucing di rumahmu. Aku alergi kucing."
"Jam segini mereka semua sudah tidur di kamar masing-masing," jawab Hiroaki tanpa membuka mata. "Tadi aku juga sudah meminta pramuwisma untuk membersihkan kamar kita."
"He?" Mendadak, pipi Ruri berubah sewarna tomat matang. "K-kamar kita?"
Masih dengan mata terpejam, Hiroaki mengangguk. "Kamarku dan kamar tamu untukmu."
***Setelan piama yang dipinjamkan Hiroaki sangat kebesaran bagi Ruri. Ia sampai harus menggulung ujung lengan dan celana berkali-kali. Walaupun merasa sangat lelah, Ruri memilih untuk tidak langsung berbaring. Ada perasaan yang lebih penting dari pegal di sekujur tubuhnya.
Ruri merindukan Hiroaki.
Aneh. Ruri merasa ingin bertemu dengan lelaki itu. Padahal mereka berada di bawah atap yang sama.
Dengan handuk menutupi rambut yang basah, Ruri keluar kamar. Ia mengikuti Hiroaki yang baru saja memasuki dapur. Lelaki itu mengenakan setelan piama yang pas di tubuhnya. Rambutnya berantakan, tetapi sudah hampir kering.
"Apakah kau punya pengering rambut?"
Hiroaki menutup kembali kabinet, lalu menurunkan tangan dan berbalik pada Ruri. "Sini, biar kubantu," ucapnya sambil mendekat pada Ruri.
"Eh, tidak usah," tolak Ruri sambil memundurkan tubuh dan menggosok-gosokkan handuk ke kepala. "Aku bisa melakukan ini sendiri."
"Meski mampu mengerjakan semuanya sendiri, kau tidak akan berdosa jika menerima bantuan seperti ini," ucap Hiroaki sambil mengulurkan kedua tangan. Ia mengusap-usapkan handuk dengan lembut ke rambut Ruri. "Dengan tenagaku yang kuat, rambutmu akan cepat kering."
Ruri melirik naik pada Hiroaki. "Jangan mentang-mentang kau laki-laki, jadi merasa tenagamu lebih kuat."
"Memang aku kuat."
"Mau adu panco denganku?"
Hiroaki mendengkuskan tawa. "Pertandingan yang sudah pasti siapa pemenangnya begitu; tidak seru dan cuma membuang-buang waktu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Touch Your Heart ✔
RomanceSelama bekerja sebagai kurir, Ruri Keyara selalu melakukan tugasnya dengan sempurna. Namun, pagi itu kiriman yang ia antar ditolak dan dibuang di depan matanya. Tidak ada yang pernah melakukan itu. Kecuali si lelaki berhati batu! Bagi Hiroaki Tóru...