III. Curious (2/2)

1.6K 213 9
                                    

"Apa benar aku boleh memilih yang mana saja?"

Hiroaki tersenyum seraya mengangguk.

"Sungguh?" tanya Jasper lagi dengan wajah berseri-seri. Begitu Hiroaki kembali mengangguk, kedua matanya yang berbinar langsung menjelajahi isi buku menu. Berbagai jenis susyi dan sashimi tampak menggugah selera.

Hiroaki ikut membuka buku menu di depannya. "Anggap saja sebagai permintaan maaf. Karena tadi pagi aku memberikan makananmu pada kucing."

"Itu bukan masalah besar, Kakak ipar," sahut Jasper sambil mengintip segan dari balik buku menu. "Aku tidak keberatan, kok."

Pramusaji mendatangi meja mereka dan mencatat pesanan yang disebutkan Hiroaki.

"Omong-omong, cara bicara Kakak ipar sepertinya makin lancar," ucap Jasper begitu pramusaji menjauh dari meja mereka. "Sudah hampir terdengar seperti penutur asli."

"Semuanya berkat kau dan Jasmyn."

"Aku sangat bersyukur Kakak ipar datang menggantikan bos yang kejam," ujar Jasper dengan nada dramatis.

"Memang seperti apa bosnya?"

"Entahlah." Jasper mengedikkan bahu. Tatapannya menerawang jauh pada masa lampau. "Kami tidak saling mengenal. Bahkan aku tidak tahu siapa namanya."

"Memangnya kau tahu siapa namaku?"

"Tentu tahu," sahut Jasper bangga. "Hiroaki Tóru. Anak sulung dari pemilik Tórus Motors---Shigeki Tóru."

Batin Hiroaki tersenyum miris. Entah sampai kapan orang-orang akan selalu mengenalnya sebagai anak Shigeki Tóru semata. "Kenapa kau menyebut dia kejam?"

"Karena dia memberi banyak pekerjaan pada Jasmyn. Aku sering melihat Jasmyn bergadang atau tertidur di meja kerjanya."

"Apa kau pernah bertanya kenapa Jasmyn sampai seperti itu?"

"Pernah. Katanya, ini tugas dari bosnya. Dan dia ingin membuktikan bahwa dia bisa berguna sebagai seorang asisten."

"Memang tugas seperti apa?" tanya Hiroaki. Ia memang ingin tahu. Karena selama bekerja bersama Jasmyn, justru gadis itu yang lebih banyak membimbingnya.

"Seperti mempelajari beberapa bahasa asing, juga meningkatkan kemampuan bicara di depan umum. Setiap malam, aku bisa mendengar Jasmyn berbicara di depan cermin. Sampai-sampai aku takut dia gila."

Menyimak, Hiroaki menopang dagu dengan buku-buku tangan kirinya. Ia memperhatikan raut Jasper yang biasa penuh humor, kini mengeras. Pemuda itu tampak sangat mengkhawatirkan kakaknya.

"Pada dasarnya, Jasmyn itu memang pekerja keras. Jadi, begitu bertemu orang yang memberinya tekanan, ia justru merasa sedang disemangati agar berjuang sampai batas."

Hiroaki menganggut-anggut setuju. Jasmyn memang orang yang dedikatif terhadap pekerjaannya. "Aku beruntung bisa bekerja bersama Jasmyn."

Jasper menggeleng. Senyum kembali ke wajahnya. "Kakakku yang beruntung bisa memiliki bos seperti Kakak ipar."

"Jangan membesar-besarkan begitu."

"Aku tidak melebih-lebihkan. Sungguh. Pekerjaannya menjadi lebih manusiawi dan aku bahagia melihat dia tidur nyenyak setiap malam."

"Kau adik yang baik, Jasper."

"Oh, itu sudah pasti," cengir Jasper. "Tapi jangan bilang pada Jasmyn, nanti dia besar kepala."
***

"Terima kasih sudah menemaniku, Neo," ucap Ruri tulus. Ia memandang tas kertas di genggamannya berisi kemeja dan celana kain yang baru dibeli. Pakaian untuk ia kenakan pada hari Senin.

"Terima kasih juga untuk sarapan yang tadi kau bagi-bagi di kelas. Masakanmu enak."

"Bukan aku yang masak. Itu dari salah seorang pelanggan Ruri Kurir," tutur Ruri. "Seharusnya, kau tidak perlu repot-repot menemaniku begini."

"Kata siapa repot? Aku ikut ke sini untuk membeli keperluanku juga."

Ruri mengerjap. "Benar juga. Mulai Senin, kita akan bekerja bersama."

"Mohon bantuannya, ya, Ruri."

"Aku juga meminta hal yang sama," balas Ruri. "Oh, berarti aku harus mengirim banyak pesan setelah ini."

"Untuk apa?"

"Pemberitahuan kalau aku cuti sementara dari Ruri Kurir."

Neo tergelak singkat. "Mau mengirim pesan sambil makan siang? Ada restoran sashimi yang enak di dekat sini."

Ruri menggeleng. "Aku tidak suka ikan mentah."

"Ada menu lain seperti susyi dan ramen."

"Aku bosan makan mi," ucap Ruri lantas meringis lebar. "Bagaimana kalau ayam goreng dan soda?"

"Ide bagus," sahut Neo langsung setuju. "Aku senang kau tidak mengatakan 'terserah'."

Mereka berjalan menuju restoran ayam goreng terkenal yang berada di sisi timur mal.

"Memang kenapa?"

"Biasanya, perempuan sering menjawab 'terserah' kalau ditanya 'mau makan apa?'."

"Oh, ya?"

"Biasanya, mahasiswi lain memuja Kak Jinandru sepenuh hati. Tapi kau malah dengan lantang mengatai dia 'bodoh' di depan umum." Neo menoleh demi menatap Ruri lekat-lekat. "Kau ... berbeda dari perempuan lainnya, Ruri."

"Aku tidak 'berbeda'," ucap Ruri sambil membuat tanda kutip di udara. "Aku cuma menjadi diriku sendiri. Dan mungkin tidak mengikuti stereotip yang dibentuk masyarakat tentang perempuan."

"Apa itu berarti kau tahu misteri di balik kata 'terserah'?"

Ruri memiringkan kepala sedikit ketika berpikir. "Mungkin itu cuma ucapan spontan karena sedang bosan."

"Bosan pada apa?"

"Mungkin pada suasananya." Ruri mengedikkan bahu. "Atau tidak tertarik melanjutkan obrolan dengan lawan bicara."

"Bisa disimpulkan, kata 'terserah' itu lampu merah untuk lelaki agar segera berhenti dan menyerah. Benar begitu?"

Cepat, Ruri menggeleng. "Tidak juga. Bisa saja, karena memang sudah terlalu nyaman. Terserah  mau makan apa dan di mana, asal bisa makan bersama."

Neo menggangguk sambil tersenyum. Berbincang dengan Ruri tidak pernah menjemukan. Sampai-sampai, ia bisa membayangkan masa tua bersama gadis itu. Obrolan di beranda dengan dua cangkir teh hangat. Detik selanjutnya, Neo mendengkuskan tawa singkat untuk diri sendiri. Pikiran itu terlalu jauh dan dangkal.

"Itu berarti, kau tidak bosan, kan, jalan bersamaku?"

Touch Your Heart ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang