VIII. Miraculous (2/2)

1.2K 186 0
                                    

Hiroaki membenci pertanyaan yang tidak terjawab. Apalagi itu muncul dan bersarang dalam benaknya sendiri.

Mengapa ia pergi begitu saja setelah bertemu Ruri?

Hanya gara-gara memikirkan jawaban itu, Hiroaki tidak bisa terlelap hingga dini hari seperti ini. Ia terbiasa bergadang jika harus menyelesaikan beberapa pekerjaan. Namun, baru kali ini ia tidak bisa tidur padahal ia ingin.

Hiroaki menyadari. Ia sudah bertindak impulsif dengan pergi ke GOR. Begitu tiba di sana, ia hendak langsung kembali. Namun, seekor kucing menahan langkahnya. Yang ternyata menuntunnya untuk sekali lagi bertemu Ruri.

Di tengah kamarnya yang gelap, Hiroaki turun dari kasur dan menuju dapur. Ia menyeduh teh lalu membawa cangkir ke patio. Hujan sudah berhenti, menyisakan aroma khas dan dingin yang mengigit.

Hiroaki bersandar santai. Tiba-tiba terdengar bunyi pintu utama yang terbuka yang langsung membuat ia menegak waspada. Biasanya, petugas bersih-bersih dan koki datang pukul setengah lima. Ia yang membukakan pintu. Lalu Jasmyn dan Jasper yang memegang kunci cadangan datang pukul lima. Sementara sekarang masih pukul empat pagi.

Seseorang itu masuk dan menutup pintu. Dengan mudah ia berjalan menuju dapur dalam penerangan yang minim. Seolah-olah ia sangat hafal dengan isi rumah ini.

Dengan kewaspadaan di seluruh tubuhnya, Hiroaki melangkah tanpa suara. Ia melirik katana yang terpajang di dinding. Benda itu asli dan berfungsi dengan baik untuk berjaga-jaga kalau ia harus melawan.

Hiroaki menekan saklar dan terang membanjiri seisi dapur. Orang itu berteriak kaget. Tubuhnya terlonjak mundur hingga isi dari kantong plastik yang ia pegang berhamburan.

"Jasmyn?" heran Hiroaki. Gadis itu mengenakan setelan sportwear berwarna ungu. Rambut lurus---yang biasa digerai bebas ke samping wajah diikat ekor kuda.

"Astaga, jantungku," keluh Jasmyn sambil bersandar pada pintu kulkas. "Syukurlah kau sudah bangun."

"Sedang apa kau?"

"Mengajakmu hidup lebih baik," ucap Jasmyn lalu memasukkan beberapa buah ke dalam kulkas dan sebagian lain ke keranjang.

"Untuk apa buah sebanyak itu? Kau mau memberi makan gajah?"

"Semua ini untukmu," kekeh Jasmy . "Aku akan membuatkan jus setelah kita joging. Olahraga baik untuk mengelola stres."

Hiroaki melempar tatapan seolah Jasmyn baru saja apel bisa bertelur. "Aku rutin ke gym setiap senin, rabu, kamis, dan sabtu. Jasper juga bersamaku. Kau tahu itu."

"Ini bukan berolahraga dalam ruangan," tutur Jasmyn. "Selama setengah tahun di sini, kau belum pernah, kan, melihat keseluruhan tanaman yang ada di taman rumah? Ada jalan setapak yang cocok untuk trek joging."

"Ini masih pagi buta."

"Memangnya kau tidak tahu apa fungsi lampu taman?" tanya Jasmyn retorik. "Ayo, aku akan menyiapkan pakaianmu."
***

"Neo, kau masih marah?" tanya Ruri cepat-cepat mengejar Neo. Tadi lelaki itu sedang duduk di jok motornya. Begitu melihat Ruri datang memarkirkan vespa, Neo langsung pergi.

Tanpa menoleh pada Ruri yang berjalan di sampingnya, Neo melangkah memasuki gedung kampus. Mereka bertukar sapa dengan beberapa mahasiswa yang berpapasan jalan. Sesekali ada yang menggoda seolah mereka adalah sepasang kekasih.

Neo menanggapi itu semua dengan santai. Obrolan-obrolan ringan juga mengalir lancar. Seakan-akan tidak ada konflik di antara mereka.

Namun, ketika tersisa mereka berdua di selasar, Neo kembali mengabaikannya. Cepat-cepat, Ruri menghadang langkah sebelum Neo membuka pintu ruang dosen yang menjadi tujuan mereka.

"Aku, kan, sudah minta maaf."

Neo memberengut. "Kemarin kau juga sudah janji untuk menontonku."

"Iya. Maafkan aku karena ingkar janji. Aku cuma mau mengintip apakah sedang hujan," tutur Ruri. Sengaja, ia tidak menyebutkan pertemuannya dengan Hiroaki. Apalagi lelaki itu bersikap tanpa perasaan. Meminta Ruri menunggu, tetapi menghilang begitu saja ketika ia lengah.

"Hujan lebih penting dari pertandinganku? Kemarin itu kita cuma selisih dua poin dari tim biru yang jadi juara satu."

Kalau dalam suasana hatinya yang biasa, Ruri pasti tergelak melihat Neo merajuk. Namun, perasaannya sedang kelabu karena perilaku Hiroaki. Sejak kapan lelaki itu berpengaruh seeprti ini dalam hidupnya?

"Bukan begitu, Neo," rengut Ruri. "Jadi, aku harus bagaimana untuk memperbaiki kesalahanku?"

Neo tidak langsung menjawab. Ia mengamati raut wajah Ruri yang cemberut. Apa gadis itu sangat sedih karena Neo marah?

Pikiran itu mendatangkan angin musim semi ke hati Neo. Sejujurnya, ia kecewa karena Ruri tidak menonton pertandingannya. Konsentrasinya terpecah untuk mencari gadis itu di antara kerumunan. Sebenarnya, itulah yang membuat ia dongkol. Bukan karena tim mereka kalah.

Namun, saat ini bunga-bunga bermekaran di hati Neo. Perasaannya membumbung hingga tawanya meledak.

"Kau cuma pura-pura?" tanya Ruri dengan kerutan yang menajam.

"Tidak," ucap Neo sambil menggeleng-geleng di antara tawa. "Aku marah, sungguh. Tapi mana bisa aku marah lama-lama padamu."

"Tidak lucu," ketus Ruri lantas mengetuk pintu ruang dosen. "Kalau begitu, sekarang aku yang marah," desisnya lantas membuka pintu sekaligus mencegah Neo untuk bicara.

"Selamat pagi, Pak," sapa Neo mewakili mereka berdua.

Pria paruh baya itu berdiri di belakang mejanya. Ia menunjuk kursi dan mempersilakan kedua mahasiswa itu untuk duduk.

"Bagaimana kegiatan magang di Tórus?"

"Menyenangkan, Pak."

"Banyak ilmu yang didapat," sahut Neo membenarkan ucapan Ruri.

"Itu bagus." Henry menganggut-anggut. "Semoga bisa menjadi pengalaman berharga untuk kalian bekerja nanti."

Serempak, Ruri dan Neo mengangguk sambil berujar terima kasih.

"Jadi, alasan saya memanggil kalian kemari---" Henry menumpukan siku ke meja. "---untuk mengucapkan selamat karena rancangan Ruri lolos sepuluh besar. Selamat, ya."

Ruri mengerjap. Benaknya menampilkan kilas balik satu bulan lalu. Malam itu, sepulang dari pabrik, Pak Henry meneleponnya. Pria itu mengatakan bahwa rancangannya yang terpilih menjadi juara satu di kampus akan dikirimkan untuk seleksi nasional. Ruri diminta untuk merevisi proposalnya dan memilih satu sampai tiga orang untuk menjadi anggota kelompok.

Tentu saja, Ruri mengajak Neo.

"Terima kasih, Pak," ucap Ruri seraya menundukkan kepala dalam-dalam penuh syukur dan haru.

"Selanjutnya, kalian harus mempersiapkan untuk tahap presentasi," jelas Henry. "Untuk itu, apa boleh saya menambahkan satu orang lagi untuk tim kalian?"

"Boleh saja," jawab Ruri sambil melirik Neo yang juga mengangguk. "Siapa, Pak?"

Seolah sudah diatur dalam skenario, pintu ruang dosen diketuk. Pintu dibuka dari luar dan seorang lelaki masuk membuat Ruri membeliak.

"Maaf, Pak saya terlambat," ucap si mahasiswa walaupun ekspresi wajahnya tidak menunjukkan penyesalan.

"Ini Kakak tingkat kalian. Jinandru," tutur Henry. "Saya yakin kalian akan menjadi tim yang solid untuk kompetisi ini."

Touch Your Heart ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang