V. Dangerous (2/2)

1.3K 204 2
                                    

Piring-piring kosong sudah disingkirkan. Namun, rupanya acara makan malam bersama itu belum usai. Wadah-wadah berisi kue dan makanan ringan terhidang di atas meja. Seperangkat pengeras suara lengkap dengan pemutar musik didatangkan sebagai media penghibur.

Ruri ingin pulang tetapi merasa segan untuk berpamitan. Para karyawan dan mahasiswa magang lain---termasuk Neo tampak menikmati acara. Ia tidak ingin merusak suasana.

Detik berikutnya, Ruri pergi ke toilet setelah berpamitan pada orang-orang yang duduk di dekatnya. Beruntung, tidak ada yang menawarkan diri untuk menemaninya. Karena saat ini, Ruri hanya ingin menyendiri.

Agar dustanya tidak menjadi dosa besar, Ruri memasuki toilet. Ia membasuh tangan di wastafel lantas mengusap wajah. Lalu ia bersitatap dengan bayangannya sendiri.

"Hai." Ruri melambaikan tangan pada mata bulatnya yang tidak lagi merah karena alergi. Kemudian ia belanjut menyapa satu persatu bagian dari wajahnya. Hidungnya yang mungil, gigi kirinya yang gingsul, sampai jerawat di dekat kantung mata.

Ruri terbiasa menyediakan waktu untuk berdua saja dengan dirinya seperti sekarang.  Terutama ketika ia sedang merasa sangat kelelahan secara mental. Biasanya, ia melakukan ritual ini di cermin wastafel rumahnya.  Namun, ia tidak tahu bisa pulang jam berapa malam ini. Sementara ia harus menyemangati diri sendiri.

"Hai, Ruri. Terima kasih sudah bertahan hari ini." Ruri menunduk lama pada wastafel. Sebelum kemudian ia kembali menatap cermin. "Apa pun yang terjadi besok, kita hadapi bersama, ya. Semangat, Ruri."

Setelah mengeringkan tangan, Ruri meninggalkan toilet. Alih-alih kembali ke kantin pabrik, ia justru berjalan-jalan di selasar. Pohon-pohon ditanam di area hijau. Tempat para serangga saling unjuk suara paling merdu.

Seperti terhipnotis, Ruri berjalan sambil memejam. Ia tidak menyadari ketika seseorang di balik tikungan baru saja melempar ponsel. Perangkat elektronik itu menyerempet dinding dan terpantul ke wajah Ruri.

"Aduh," seru Ruri keras dengan kedua mata terbeliak. Sebagian karena kaget, sebagian lagi karena tulang pipinya nyeri.

"Sedang apa kau di situ?"

Ruri tertegun dengan tangan di pipi. Ia ingin mundur ke balik dinding untuk sembunyi. Namun, itu pasti sia-sia. Tiga meter dari tempatnya berdiri, Hiroaki menatapnya kalut. Lelaki itu sudah mendapati keberadaannya.

Tatapan sedih bercampur marah itu tidak ditujukan padanya. Ruri tahu itu. Namun, tetap saja ia merinding.

"Pergi!"

Alih-alih mendengar permintaan maaf, Ruri malah mendapat usiran keras. Namun, ia terlalu kaget untuk bisa langsung memahami perintah singkat itu.

"Kenapa kau masih di sini?" tanya Hiroaki seraya menyugar rambut.

Gerakan itu membuat Ruri mengerjap. Ia menurunkan kedua tangan ke sisi tubuh, lalu membungkuk singkat. "Maaf, Pak. Saya pergi dulu," ucapnya lantas berderap menjauh.
***

"Kenapa pipimu?"

Neo yang pertama kali menyadari itu ketika Ruri kembali ke tempat duduknya. Lelaki itu menyentuh lembut pipi Ruri yang merah.

"Terantuk dinding," jawab Ruri asal.

"Ha?" Neo merasa sangsi. "Kok bisa?"

"Mungkin karena aku sudah mengantuk."

Neo memandang Ruri dengan raut khawatir. "Aku antar pulang, ya."

"Tidak usah," geleng Ruri. "Acaranya, kan, belum selesai. Aku tidak mau meninggalkan kesan buruk. Ini hari terakhirku di sini."

"Tenang saja, aku akan bicara pada mentor kita nanti. Akan kupastikan besok kau tetap magang di sini."

"Itu ... mustahil," gumam Ruri ketika raut muram Hiroaki terbayang di benaknya.

"Sekarang biar aku berpamitan untuk mengantarmu pulang."

Ruri menggeleng.

"Kita pulang naik vespamu, nanti aku kembali ke sini naik taksi atau ojek," tutur Neo menjelaskan rencananya. "Yang penting, aku bisa memastikan kau selamat sampai rumah."

Ruri tidak lagi memiliki keinginan berdebat. Tanpa halangan, Neo bangkit dan melakukan rencananya. Pria yang menjadi mentor mereka selama dua hari ini menoleh pada Ruri. Ia meminjam satu mikrofon dari dua orang yang sedang menyanyi.

"Ruri, maju ke sini."

Ruri menurut. Ia meninggalkan kursi dan berdiri sedikit merunduk di samping pria itu duduk.

"Nyanyi dulu. Baru kuizinkan pulang."

Ruri menatap mikrofon yang disodorkan padanya. Lalu ia menerima benda itu. "Maaf, saya tidak pandai menyanyi. Tapi ada beberapa hal yang ingin saya ungkapkan."

Keramaian di sekitarnya mendadak hening. Semua mata tertuju pada Ruri, menunggu.

"Terima kasih atas dua hari yang indah ini. Saya tidak akan pernah melupakan pengalaman berharga ini. Semoga kita bisa kembali bertemu di kesempatan lain," ucap Ruri tulus lantas membungkuk sembilan puluh derajat.

Mentor itu bertepuk tangan, diikuti seisi ruangan. Ruri bangkit dan memandang sekitarnya.

"Sepertinya, itu lebih cocok diucapkan untuk acara perpisahan, Ruri," ucap mentornya sambil tersenyum heran. "Ini, kan, acara penyambutan untuk mahasiswa magang. Mulai besok, kalian akan bekerja di divisi masing-masing."

"Maaf, Pak," ujar Ruri kembali merunduk singkat.

"Ya sudah, cepat pulang dan istirahat. Wajahmu sampai merah begitu. Jangan sampai sakitmu lebih parah."

Ruri mengangguk dan berterimakasih. Begitu juga Neo. Mereka berpamitan sekilas sambil menerima ucapan "cepat sembuh" dan "hati-hati di jalan".

Dalam hati, Ruri bersyukur Neo berada di sisinya.
***

Ruri menggosok matanya yang mulai lelah. Sejak tiba di rumah pukul setengah sembilan tadi, ia menulis kartu nama. Ditemani ponselnya yang sesekali berdenting karena pesan dari Neo.

Tidak ada anggaran khusus untuk itu. Ruri lebih suka memanfaatkan apa yang ia punya. Biasanya, ia menggunakan kertas-kertas bekas pengerjaan tugas. Ia membagi kertas A4 itu menjadi delapan potongan. Lalu menempelkan kertas pada karton dupleks kemasan makanan ringan. Di atas kertas, ia menulis; Ruri Kurir, nomor ponsel, dan ketentuan pengantaran.

Ruri mengira, ia tidak akan melakukan ini lagi sampai tiga bulan ke depan. Ia belum tahu akan pindah magang ke mana. Namun, hidup harus tetap berlanjut. Walaupun, ia hanya seorang perempuan.

Ponselnya berdenting, membuat Ruri tersadar dari pikiran buruk.

💌 Neo
Pipimu sudah diolesi salep?

Ruri melirik kantong plastik berlogo apotek yang tadi disinggahi Neo. Bergegas, ia mengambil salep itu dan membawanya ke depan cermin.

Usai mengoleskan salep di pipinya yang mulai menimbulkan pertanda memar, Ruri berniat membalas pesan Neo. Namun, gunting di atas meja menarik perhatiannya lebih dahulu.

Berbagai ucapan dan tindakan yang Ruri terima berkelebat dalam benaknya. Kebanyakan masih meninggalkan luka tidak kasatmata. Nadanya serupa; semua yang dilakukan Ruri selalu dikaitkan dengan statusnya sebagai perempuan.

Ruri menggenggam erat gunting di tangannya sambil memantapkan hati. Semoga dengan ini, ia bisa mengakhiri segalanya.

Touch Your Heart ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang