I. Furious (1/2)

4.1K 322 32
                                    

"Terima kasih sudah menggunakan layanan Ruri Kurir!" seru Ruri Keyara dengan nada ceria. Walau yang barusan itu bertentangan dengan peraturan yang ia buat.

Selama dua tahun menjalankan layanan kurir, Ruri memiliki tiga ketentuan. Pertama, ia tidak bersedia mengantarkan barang-barang berbahaya dan dilarang di negara ini, seperti narkoba dan miras. Kedua, ia menolak barang yang berukuran terlalu besar untuk diangkut vespanya seperti kulkas dan televisi. Ketiga, ia tidak mengantar makhluk hidup dan mantan makhluk hidup. Baik itu manusia, juga semua jenis hewan---sekalipun berada di dalam sangkar apa lagi keranda.

Namun, malam ini pengecualian. Selain karena gadis bernama Della itu tengah patah hati, Ruri juga merasa bersalah. Tempo hari, ia pernah tidak sengaja menyerempet gadis itu sampai terluka. Murni kekhilafannya karena kurang hati-hati dalam berkendara. Beruntung, ia tidak dilaporkan ke polisi.*

Ruri kembali mengendarai vespa french rose-nya. Ia melirik sekilas pada jam tangan. Sudah hampir pukul setengah sembilan malam. Ia harus bergegas. Tugas kuliah sudah menantinya di rumah.

Tiba-tiba ponsel di saku Ruri berdering nyaring. Ia menepikan kendaraan untuk menerima panggilan. Keselamatan selalu menjadi yang utama.

"Selamat malam. Ruri Kurir."

Sebuah order untuk mengantarkan makanan.

"Baik. Jadi, saya tinggal pick-up pesanan dari restoran. Dua nasi goreng rendang, satu jus mangga, satu jus semangka," ucap Ruri mengonfirmasi order dari kliennya. "Atas nama siapa dan dikirim ke mana alamatnya?"

Ruri mempertahankan senyumnya. Meski sekujur tubuhnya sudah terasa lelah, ia belum boleh menyerah. Order ini akan menjadi yang terakhir hari ini. Setelah itu, ia bisa pulang dan mengerjakan tugas kuliahnya. Sebelum kemudian tubuhnya bisa berbaring nyaman di tempat tidur.
***

Bunyi ketukan membuat Hiroaki Tóru mengangkat tatapan dari layar komputer. Seorang gadis berambut lurus sebahu melangkah masuk. Setumpuk map berada dalam dekapan gadis bernama Jasmyn Hart itu.

"Sudah kukatakan. Tidak usah mengetuk, Jasmyn."

Perempuan bersetelan warna persik itu tersenyum tipis. "Itu tidak sopan, Hiroaki-san."

"Cukup Hiro saja," ralat Hiroaki lagi. "Hanya membuang waktu jika kau mengetuk setiap akan masuk. Tanpa bunyi ketukan, aku jadi bisa tahu itu kau."

"Ini di kantor, Hiroaki-san. Saya tidak mau terdengar pegawai lain dan mereka menganggap ada sesuatu yang spesial."

"Kau memang sp---" Hiroaki menjilat bibir. Otaknya mencari kata lain bermakna serupa. Ia masih saja risih mendengar suaranya sendiri yang canggung ketika mengucap huruf L. "Kau memang istimewa, Jasmyn."

Jasmine mengangguk dengan pipi tersipu dadu. Ucapan singkat Hiroaki itu meningkatkan denyut jantungnya. Walau sudah berlangsung dalam dua minggu terakhir, ia tetap belum terbiasa. "Terima kasih, Hiroaki-san. Bahan untuk rapat besok sudah selesai. Mau memeriksanya?"

Hiroaki menggeleng. "Aku percaya padamu."

Rasa percaya Hiroaki itu bukan tanpa alasan. Sejak kali pertama ia menginjakkan kaki di kantor ini, Jasmyn yang banyak membantunya. Segala pertanyaan yang ia lontarkan, selalu bisa dijawab dengan baik oleh asistennya itu. Bahkan sebenarnya, Jasmyn mahir berbahasa Jepang. Namun, mereka selalu berkomunikasi dengan bahasa setempat karena Hiroaki ingin cepat terbiasa.

"Ini CV dari mahasiswa-mahasiswa yang akan magang di pabrik."

Hiroaki membuka map yang disodorkan Jasmyn. "Kapan mereka bekerja?"

"Mulai hari Senin."

Hiroaki mengangguk. "Terima ka-shi, Jasmyn. Maaf membuatmu remburu lagi."

Touch Your Heart ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang