XVII. Torturous (1/2)

1.2K 171 2
                                    

"Kenapa Anda ikut naik ke mobil?" gerutu Hiroaki ketika mendapati ayahnya duduk di jok belakang mobil.

"Memangnya aku tidak boleh mengunjungi perusahaanku sendiri?"

Jasper melirik bingung pada Jasmyn di sampingnya. Ia tidak memahami pembicaraan ayah dan anak itu. Namun, alih-alih mendapat terjemahan, ia malah mendapat pelototan dari kakaknya.

Tanpa menjawab, Hiroaki duduk dan menutup pintu. "Berangkat, Jasmyn," ucapnya sambil memijat pelipis.

"Omong-omong, kenapa Jasmyn yang menyetir?" tanya Shigeki pada Hiroaki. "Padahal ada tiga laki-laki di sini. Kau membuat kaum kita jadi seperti tidak berguna."

"Maaf, Shigeki-shachou," ucap Jasmyn melirik dari spion tengah. "Biasanya, Jasper yang menyopir, tapi hari ini tangannya sedang terluka. Jadi, saya yang menggantikan."

"Oh, kenapa tidak istirahat saja di rumah?"

"Memang kenapa kalau yang menyetir perempuan?" sahut Hiroaki. "Cara menyetir Jasmyn sangat baik. Dia juga selalu patuh pada aturan lalu lintas. Jasper ikut karena dia mau ke rumah sakit. Dan tolong jangan mengobrol dengan Jasmyn karena dia harus menyetir."

"Apa setiap hari di uring-uringan begini, Jasper?"

"Eh, iya---tidak, P-pak Shigeki," jawab Jasper gelapan karena pria itu tiba-tiba berbicara dengan bahasa yang ia mengerti. Bahkan lebih fasih dari Hiroaki. Padahal ia sudah merasa menjadi alien karena tidak memahami pembicaraan tiga orang lainnya.

"Berarti dia begini karena ada aku, ya?"

"Hem, baru sadar?" gumam Hiroaki sambil memandangi gedung dan pepohonan yang seolah bergerak mundur.

"Astaga, Hiro. Kau ini kejam pada Ayahmu, ya," ucap Shigeki sambil menepuk dadanya sambil berekspresi kesakitan.

"Siapa juga yang datang tiba-tiba dan meminta saya pulang untuk perjodohan? Yang benar saja."

"Itu, kan, demi kebaikanmu. Memangnya kau tidak mau memberiku cucu penerus perusahaan kita?"

Hiroaki terdiam dengan wajah terbenam di telapak tangan. Sementara tangan satunya menyentuh ponsel dari luar saku. Ia sangat ingin menelepon Ruri saat ini.
***

"Ruri."

"Ya?" sahut Ruri tanpa repot-repot berhenti berjalan. Ia baru saja keluar dari kelas dan Neo langsung berusaha menyejajari langkahnya.

"Aku mau minta maaf."

"Sudah kumaafkan."

"Ruri," panggil Neo sambil mencekal pergelangan tangan gadis itu. "Kumohon, jangan seperti ini. Aku benar-benar menyesal."

Kasar, Ruri menyentak tangannya dari genggaman Neo. "Aku juga menyesal karena terlambat mengetahui bahwa aku ini cuma perempuan gampangan yang suka menggoda lelaki kaya."

"Jangan bicara begitu, Ruri. Bukan itu maksudku," ucap Neo sambil menunduk. Kedua alisnya bertaut dan melengkung ke bawah penuh penyesalan. "Aku cuma cemburu dan marah karena kau berpacaran dengan orang lain."

"Apa kau pernah mendengar bahwa 'kalimatmu ketika sedang marah adalah pandangan aslimu terhadap orang lain'?"

Neo melirik sekitarnya dengan tidak nyaman. Seharusnya tidak begini. Tadi ia berencana mengajak Ruri bicara di taman kampus atau makan berdua di luar. Bukannya menjadi tontonan di koridor seperti sekarang.

"Kudengar, vespamu mogok. Mau kutemani ke bengkel? Sambil menunggu vespamu diperbaiki, kita makan berdua untuk membicarakan ini. Setelah itu, kuantar pulang. Mau, ya, Ruri?"

Touch Your Heart ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang