XVI. Fabulous (2/2)

1.1K 161 3
                                    

"Apa kau yakin tidak menginap di tempatku saja?"

"Yakin," angguk Ruri singkat sambil menunduk pada ponsel di pangkuan.

"Memangnya kau tidak takut tidur sendirian? Kemarin, kan, ada kejadian mengerikan."

"Tidak."

Hiroaki mendebas. Sejak tadi Ruri selalu menghindari bertatapan dengannya. Satu tangan di kemudi, lelaki itu menghadap ke samping. Terang dari luar membantu mereka saling memandang. Lampu jalan di dekat rumah gadis itu sudah diganti. "Ruri, tatap aku."

"Tidak mau, ah." Ruri menggeleng. Tetap memandangi lutut alih-alih menghadap kekasihnya. "Jangan-jangan kau mau menghipnosisku."

"Apa kau tidak suka?"

"A-apanya?" balas Ruri sambil memandangi mobil SUV biru dongker di seberang jalan.

Hiroaki meraih pipi Ruri; memaksa dengan lembut agar wajah gadis itu menghadap padanya. "Kau tidak suka aku menciummu?"

Dalam sekejap, jantung Ruri memompa banyak darah ke wajah. Hanya karena satu kata itu. Cium.

Cepat-cepat, Ruri menarik diri dan kembali menunduk. Ia tidak sanggup menatap Hiroaki karena fokusnya akan langsung tertuju ke bibir lelaki itu. Momen ketika bibir mereka bersentuhan terulang di benaknya.

"Kumohon, jawab aku. Apa kau tidak suka?"

Ruri menelan ludah. Pertanyaan yang sulit. Kalau menjawab 'tidak', berarti ia berbohong. Kalau menjawab 'iya', apakah Hiroaki akan menganggapnya sebagai perempuan mesum?

"Jika memang tidak suka, aku tidak akan menciu---"

"S-suka," sambar Ruri cepat. "Aku suka, kok."

Hiroaki tersenyum senang. Ia menekan tombol sehingga terbebas dari sabuk pengaman, lalu memajukan tubuh ke arah Ruri.

Panik, Ruri mengangkat ponsel ke depan wajah. Sehingga bibir Hiroaki menempel pada punggung gawai berwarna dadu itu. "Omong-omong, aku belum bilang, terima kasih untuk ponselnya."

Canggung, Hiroaki memundurkan tubuh kembali. "Ya, sama-sama."

"Tapi ... kenapa, ya, b-barang couple selalu diberi warna pink untuk perempuan dan biru untuk laki-laki begini?" tanya Ruri berbasa-basi untuk mencegah dirinya langsung berlari turun dan bersembunyi di rumah. "Padahal aku lebih suka biru."

"Bukannya kau suka pink?"

"Kata siapa?"

"Vespamu."

Ruri memanyunkan bibir. "Itu, kan, french rose bukan pink."

"Sama saja, kan."

"Beda," protes Ruri. "Pink lebih lembut. French rose lebih kuat."

"Kenapa, sih, perempuan merumitkan sesuatu yang sederhana?"

Ruri menoleh dengan kelopak mata melebar. "Silakan menilai aku sebagai orang yang rumit, tapi jangan menggeneralisasi semua perempuan seperti itu. Walau kau laki-laki, kalau pekerjaanmu di bidang desain, kau pasti setuju kalau setiap corak warna punya nuansa yang berbeda-beda."

Alih-alih mendebat, Hiroaki malah tersenyum lebar. Ia mengulurkan tangan demi mengacak-acak rambut Ruri. "Nah, ini baru Ruriku."

Defensif, Ruri menaikkan tangan ke depan wajah. Ia memasang ekspresi jutek untuk menutupi rasa malu. "Apanya yang 'Ruriku'?"

"Untuk yang berikutnya, aku akan meminta izin," ucap Hiroaki sambil menarik kembali tangannya.

"Izin apa?"

Touch Your Heart ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang