XV. Jealous (2/2)

1.2K 164 2
                                    

"Ini hari Minggu, Jasmyn," kata Hiroaki ketika mendapati asistennya berdiri di depan pintu garasi.

"Ada yang perlu kubicarakan," ucap Jasmyn sambil memegangi tali tas selempang yang ia sampirkan di bahu. Penampilannya lebih santai dengan kaus, kardigan, dan skinny jeans.

Hiroaki menumpukan siku ke atas pintu sedan yang terbuka. "Ya, sudah. Cepat katakan."

"Jadi, benar kau berpacaran dengan gadis kurir itu?" tanya Jasmyn. Rambutnya yang diikat ekor kuda bergoyang-goyang seiring langkahnya mendekati Hiroaki.

"Namanya Ruri."

"Apa kau tahu dia siapa?"

"Aku tahu dia anak dari wanita itu."

Jasmyn merasakan pedih di hatinya. Hiroaki sudah tahu. Namun, lelaki itu memilih untuk tetap maju. Apakah benar tidak ada ruang bagi Jasmyn di hati Hiroaki?

"Kau pernah bilang, tidak ingin menjalin hubungan percintaan dengan siapa pun. Karena kau tahu waktumu di sini tidak akan lama."

"Kau benar," angguk Hiroaki. "Aku sudah berusaha menjauhinya, tapi tidak bisa. Bersama Ruri, aku ingin menghabiskan waktu yang tersisa sebaik mungkin."

Jasmyn mendebas dan menatap ujung sepatu oxford-nya. Setelah perasaannya lebih ringan, ia mendongak kembali pada Hiroaki. "Ini," ucapnya sambil menyodorkan  sebuah map dari tasnya.

"Aku tidak mau membahas pekerjaan hari ini."

"Buka dulu."

Walaupun dengan glabela berkerut, Hiroaki menurut. Ia membaca isi setiap lembar kertas itu. Ini adalah berkas pelaporan tindak kriminal. Bahkan lengkap dengan bukti foto kejadian dan senjata yang digunakan pelaku. "Jadi, orang ini mencuri hanya demi miras?"

"Ya. Jasper juga sudah menyerahkan pisau yang digunakan untuk melukai dia sebagai barang bukti."

"Dari mana kau mendapatkan foto-foto ini?"

Risau, Jasmyn menjilat bibir. "Sebenarnya ... beberapa hari ini aku menyewa detektif swasta untuk mencari info tentang Ruri."

Sepasang netra cokelat milik Hiroaki melebar terkejut.

"Bukan untuk hal buruk," tambah Jasmyn cepat. "Kau berubah, Hiro-kun. Aku cuma takut kalau kau jatuh cinta pada perempuan yang keliru dan membawa dampak buruk."

Hiroaki mendengkus dan tersenyum hingga matanya menyipit. Ia meletakkan map ke atas atap mobil demi memeluk asistennya. "Terima ka-shi untuk semuanya, Jasmyn."

Terpejam, Jasmyn membalas pelukan Hiroaki. Bahkan, pelukannya lebih erat. Kalau bisa bersikap egois, ia ingin waktu terhenti seperti ini. Dengan dirinya berada dalam pelukan lelaki yang ia cintai. "Sudahlah," bisik Jasmyn sambil membebaskan diri. "Bukankah kau mau ke rumah Ruri?"

"Ya. Ada yang harus kami bicarakan," ucap Hiroaki sambil mengembalikan pada Jasmyn.

"Sampaikan salam maafku padanya." Jasmyn menyimpan map ke dalam tas. "Maaf. Aku juga tidak menduga Jasper akan berbuat sejauh ini. Dia ingin Ruri jatuh cinta padanya dan meninggalkanmu. Sangat kekanakan."

"Sikapku kemarin juga sepertinya sangat  keras terhadap Jasper. Seharusnya, aku berterima kasih dia sudah menjaga Ruri," tutur Hiroaki sambil duduk di balik kemudi. "Secepatnya, kita harus bertemu berempat, ya."

"Tentu," sahut Jasmyn sambil menyingkir karena Hiroaki menutup pintu mobil.

"Aku pergi, ya." Hiroaki mengangkat tangan dari jendela mobil yang terbuka. Sedan hitam itu melaju pergi dari garasi.

Jasmyn melambaikan tangan seiring pintu garasi yang menutup turun secara otomatis. Ia baru tahu. Ternyata, merelakan sesuatu yang memang bukan miliknya mampu mengurangi beban di hati.
***

Tidak biasanya ekspresi Neo tampak muram. Selama mengenal pemuda itu, ia lebih banyak menangkap semangat dan keceriaan. Namun, Ruri menahan diri untuk bertanya. Mungkin ada masalah yang ingin diceritakan sahabatnya itu. Sampai-sampai mengunjungi rumahnya.

"Ayo, masuk dulu," ucap Ruri setelah membuka pagar. Setelah Neo melewatinya, ia menutup kembali pagar.

"Semudah ini kau mengundangku masuk?" tanya Neo ketika mereka baru saja memasuki ruang tamu.

"Kau, kan, temanku." Glabela Ruri berkerut. "Memang kenapa?"

"Apa karena ada lelaki yang tinggal bersamamu sekarang?"

"Aku tinggal sendiri. Kau, kan, tahu---"

"Sepatu yang di depan itu punya siapa?"

Ruri mengalihkan pandangan sambil menggaruk pelipis. Setengah malu, setengah bingung. "Hem, itu---"

"Berarti benar kau punya pacar?"

"Sebelum kita bicarakan ini, kau mau minum apa?"

"Siapa?" Neo meraih kedua bahu Ruri dan mengguncangnya. "Katakan padaku!"

Sekarang ekspresi sahabatnya itu lebih dari muram; melainkan menyeramkan. Sepasang netra hitamnya yang biasa berbinar semangat, kini dikuasai kabut gusar. Ruri menepis dan mendorong tangan Neo. Namun, lelaki itu tidak melepaskannya. "Sebenarnya, ada apa denganmu, Neo?"

"Ternyata aku salah." Tangan Neo terkulai di kedua sisi tubuhnya. "Kau sama saja seperti perempuan lainnya, Ruri. Tidak ada bedanya."

"Ha?"

"Kau menyukai lelaki seperti Hiroaki Tóru---tampan dan tentu saja kaya," simpul Neo sesuka hati. "Pantas saja kau menolak untuk kuantar-jemput. Ternyata kau menyukai lelaki bermobil."

Kemarahan yang melingkupi Neo, kini menular pada Ruri. "Apa-apaan, sih, Neo?"

Alih-alih memberikan penjelasan pada gadis di hadapannya, Neo malah menggeleng-geleng. Tatapannya menghunjam sepasang netra Ruri yang bergetar. "Jadi, ini penyebab kau tidak membalas perasanku selama ini."

"Sebentar." Ruri menunjukkan telapak tangannya pada Neo. "Kau menyukaiku?"

Neo mendengkus. "Jangan berpura-pura bodoh. Mana mungkin kau tidak tahu."

"Aku memang tidak tahu. Kau tidak pernah bilang."

"Semua perhatian selama beberapa tahun ini kau anggap apa? Seharusnya, sebagai perempuan kau lebih peka terhadap kode-kode itu." Neo meremas rambut ikalnya dengan gestur frustrasi. "Sekarang aku baru tahu kalau kau lebih suka menggoda lelaki kaya."

Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Neo.

Dengan telapak tangan di pipi kirinya yang panas, Neo memelotot pada Ruri. Gadis itu pun tampak sama terkejut seperti dirinya.

"J-jangan menilaiku sesuka hatimu," geram Ruri seraya menarik turun telapak tangannya yang terasa perih dan panas. Rupanya benar. Ketika kita menyakiti orang lain, sama saja kita menyakiti diri sendiri.

"Kemarin malam, aku pergi menjemput kerabatku di hotel dan aku melihat kau dan pacarmu itu masuk ke lift," tutur Neo seperti baru saja membongkar trik di depan pesulap. "Aku bertanya-tanya, apa yang kalian lakukan berdua di sana. Sama sekali aku tidak mengira kau perempuan gampangan seperti itu, Ruri."

Kedua tangan Ruri mengepal kuat. Seakan ia sedang menggenggam tali kekang untuk segala emosinya. Tidak pernah ia mengira bahwa Neo bisa berpikiran seburuk itu tentangnya. "Apa pun yang k-kulakukan di hotel itu, tidak ada urusannya denganmu."

"Dengan isi pikiran jahanam seperti itu, apa kau masih bisa hidup sebagai manusia?"

Perseteruan di antara kedua orang itu terjeda. Hiroaki muncul dan berjalan ke sisi Ruri. Dengan sikap protektif, ia merangkul tubuh kekasihnya yang gemetar.

Ekspresi Neo berubah kaku ketika Hiroaki melewatinya. Seolah-olah ada sebongkah es batu tajam yang dilemparkan padanya.

"Bukan aku yang mengucapkan kata-kata itu, tapi entah kenapa aku yang merasa jengah." Hiroaki tetap memandang lurus pada Neo. Walaupun pemuda berjaket abu-abu itu sepertinya lebih tertarik memandangi lantai mengilap yang ia pijak. "Cepat pergi dan jangan pernah datang ke sini hanya untuk mengganggu pacarku."

Dengan ego berserakan di dekat kaki, Neo berbalik dan meninggalkan kediaman Ruri.
***

Touch Your Heart ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang