•12. Berkaitan•

295 47 3
                                    

Untuk yang kedua kalinya Hama tak sengaja memergoki Hana yang tengah mengorek-ngorek isi tas salah satu teman sekelasnya, walaupun tatapannya lurus kedepan, terkadang ia menyempatkan matanya untuk melirik kearah Hana. Andai saja ia menegur Hana dan bertanya apa yang sedang dilakukan cewek itu, Hana tak mungkin berkata bahwa itu adalah tasnya, atau beralasan dia tengah mencari pensilnya seperti kemarin-jelas itu tidak mungkin, pasalnya ia tahu betul, tas yang kini menjadi pelarian Hana adalah tas milik Gama.

Dirinya dibuat gundah. Ingin sekali ia menegur Hana, menanyakan apa yang tengah dilakukan oleh cewek itu, tapi di satu sisi ia takut Hana akan tersinggung, namun bila di fikir-fikir Gama tidak mungkin menyuruh Hana untuk mengambilkan barangnya yang tertinggal di dalam tas. Gama adalah es berjalan. Dan semua teman-teman sekelasnya mengetahui fakta itu. Fikirannya mulai melenceng jauh mengarah hal buruk. Tapi dengan cepat ia menyadarkan dirinya agar terus fokus. Hanya satu jawaban yang dapat mengusir rasa penasarannya, ia tinggal memperhatikan gerak-gerik Hana dari kejauhan, bila cewek itu mengambil barang-barang yang semula berada di tas Gama, maka itu berarti prasangka buruknya benar, dan bila sebaliknya, ia akan mengusir seluruh prasangka buruknya terhadap Hana.

Hening, Hama tak lagi mendengar suara bising yang dihasilkan oleh Hana. Penasaran, ia memutuskan untuk menolehkan kepalanya mengarah posisi Hana, namun cewek itu tak lagi berada disana. Masih heran dengan Hana yang tiba-tiba menghilang, ia kembali mengarahkan kepalanya kearah semula, dan dihadapan matanya terpampang jelas wajah Hana dengan senyuman yang terukir. "Hai Hama! Nyariin gue ya??" tanyanya.

Sontak saja Hama terkesiap. Ia mengelus dadanya beberapa kali. "Hana, astaga! Lo bikin gue kaget tau gak??"

Hana terkekeh, kemudian dia memperlihatkan handuk kecil berwarna biru laut yang Hama duga milik Gama. Dari situ ia dengan cepat membuat kesimpulan bahwa prasangka buruknya, benar.

"Hana! Lo-"

"Gue disuruh ngambilin handuk Gama sama Kak Zico nih. Ngeselin banget, asli! Buat apa coba dia nyuruh gue? Emang gue babunya apa?" Hana bersedekap.

Mendengar itu Hama menjadi ragu dengan kesimpulannya. "Hah? Gimana, gimana?" tanya Hama. Raut wajahnya mendadak antusias, padahal ia hanya sedang memerankan ekting belaka.

"Iya, jadi tuh dia abis tanding basket sama Kak Zico. Kak Zico ngajakin dia by one, terus Gama ternyata menang, dan Gama minta ke Kak Zico buat ambilin handuk dia yang ada di dalem tas. Tapi Kak Zico jelas gak mau, dia malah asal nunjuk gue, dan berujung gue yang ngambilin handuk Gama, karena gue takut sama Kak Zico dan Gama," jawab Hana, menjelaskan insiden yang memang benar terjadi beberapa menit yang lalu.

Hama mengangguk mengerti, jika dilihat dari ekspresi Hana, agaknya cewek berambut panjang sepinggang itu tidak berbohong. Entah kenapa ia merasa bersalah dengannya. Untung saja ia tak langsung menuduh Hana.

"Oh iya! Gue ke lapangan dulu, ya! Takut Gama marah, bye!"

Hama mengangguk mantap. Arah matanya terus berkutat kepada Hana yang kini sudah berada diambang pintu, lalu selepas cewek itu pergi ia kembali meluruskan pandangannya mengarah papan tulis. Prasangka buruknya terhadap Hana mungkin salah, namun saat cewek itu hendak keluar kelas, tak sengaja ia melihat pulpen yang kepalanya sedikit menonjol dari dalam kantung rok Hana. Entah kenapa ia kembali dibuat gundah.

⚡3G Signal⚡


Pandangan Hama terfokus oleh papan tulis, meski begitu sejujurnya ia masih mempertanyakan pulpen yang tak sengaja menonjol dari dalam kantung rok Hana. Mungkin saja itu pulpen milik Hana, tapi ia meragukan fakta itu. Bukannya menuduh, tapi siapa yang tidak akan curiga bila jelas-jelas sebelumnya ia melihat Hana yang sedang mengorek-ngorek isi tas Gama?

3G SignalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang