47. Dia Cerdik

67 18 1
                                    

Siswi yang mengenakan seragam olahraga berwarna hijau army dengan tulisan SMA Pitalaya di bagian belakang itu terlihat kalang kabut, karena diantara murid lainnya yang memakai setelan bebas, hanya dia seorang yang terlihat mencolok dengan setelannya yang berbeda sendiri. Padahal teman sekelasnya bilang hari Senin memakai seragam olahraga dikarenakan ada pementasan drama, tapi terbukti temannya salah. Dan sekarang dimana teman sekelasnya yang satu itu?

Reva menggerutu ketika pintu gerbang perlahan-lahan ingin ditutup. Tetapi alih-alih mencegah Pak Satpam agar membukanya lebih lama, dia justru membiarkannya dengan alasan malu. Disaat-saat genting tersebut biasanya dia akan menelepon Hama sebagai pemecah masalah, sebab temannya itu sangat pemberani dan nekat mengambil risiko. Dengan kata lain hanya Hama yang menemaninya disaat susah maupun senang.

Permasalahannya, kali ini hubungannya dengan Hama sedang renggang semenjak dia memilih berada di zona aman saat Hama disudutkan oleh guru BK mereka. Itulah kekurangannya, jujur saja masa remajanya tidak ingin terseret kedalam masalah yang bahkan bukan dia perbuat. Dia hanya ingin mempunyai masa remaja yang dapat dikenang indah suatu saat nanti.

Selain itu, dia bukanlah hakim dari suatu permasalahan. Bagaimanapun juga Reva tidak tahu siapa yang benar antara Hama dan Hana.

Reva menguncir kuda rambutnya dengan cepat, setelah itu dia mengutak-utik handphone-nya, sebelum memilih menelepon kontak Maminya disana.

"Iya?? Hallo, honey, kenapa??"

"MAMII! Aku salah seragam Mii!! Harusnya aku pakai baju bebas!" ujar Reva, lalu mempoutkan bibirnya kesal.

"Loh, gimana sih, honey? Emang kamu tau dari siapa pakai baju bebas?"

Reva menghentakkan kedua kakinya, kesal dengan dirinya sendiri. "Temen sekelas aku, Mi! Terus gimana dong?? Aku mau cabut aja, ah..!"

"Honey! Kamu jangan main cabat-cabut, cabat-cabut, aja! Udah SMA loh ini!"

"Ya, terus gimana, MAMII. Aku bingung ini..!"

"Kamu tuh, ah! Jangan panik! Telepon Hama sekarang! Minta temenin dia masuk."

"Hah?? Gak mau!!"

"Udah cepet! Mami gak mungkin 'kan kesana cuman nganterin baju bebas? Emang dikira kamu masih bocah!"

Reva menjauhkan ponsel-nya dari telinga begitu Mami memutuskan sambungan secara sepihak. Dia merenggut kesal sembari mencari kontak Hama sesuai perintah Mami, dan meneleponnya.

Masih berdering. Reva ingin membatalkan niatnya untuk menelepon sebelum Hama mengangkatnya, namun tak di duga tiba-tiba Hama justru mengangkat panggilannya. Dengan muka tebal, dia mengambil alih lebih dulu untuk memulai perbincangan.

"Eeeumm...Hama. Lo..lagi dimana?"

"Oh....gue lagi ada problem nih, kecil sih, tapi ya..lo you know lah bagi gue ini besar."

"Nanti lo liat sendiri, kok. Gue malu banget ceritanya. Sekarang boleh minta tolong lo ke depan gerbang sekolah dulu? Gue ada disini soalnya."

"Gue malu, Ham, masuknya..!"

"Tapi gak pa-pa nih, serius? Acara beneran belum mulai 'kan?"

"Yaudah deh. Tolong, ya, Ham. Thanks." Siswi itu diam sejenak, melainkan tidak mematikan sambungan telepon, hingga Hama tak lama mematikannya.

Reva mempoutkan bibirnya, dia benar-benar merasa bersalah. Bahkan hanya karena masalah yang tidak semestinya dilebih-lebihkan— dikala umurnya yang sudah menginjak jenjang SMA, dia tak pernah absen mengandalkan Hama.

3G SignalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang