30. Petang Larut

115 29 4
                                    

"Menurut lo, gue salah gak?"

Gavin mengernyit. Ekspresi sinisnya mendadak berubah menjadi bingung, terlebih melihat raut wajah siswa itu yang nampak serius. Bukan menjadi rahasia umum lagi Gio tipikal manusia jenaka dengan tingkah ekspresifnya yang terkadang membuat orang lain ikut menggeleng tak percaya, namun sungguh, demi hidup Gama yang membosankan dia berani bersumpah saat ini kali pertama Gio menunjukkan sisi berbeda.

"Ya, lo banyak salah. Cepet, gak usah bertele-tele," balasnya datar, mencoba bersikap acuh. Sebenarnya dia harus cepat-cepat sampai di minimarket dalam lingkup Perumahan Villa Dago, karena setelah azdan maghrib berdengung sesi sibuknya harus dimulai, dan jika terlambat sedikit saja pasti rekan kerjanya dengan ringan memberitahu atasan mereka. Sudah biasa, lantaran mereka memiliki rasa iri atau motif tertentu, kini tidak lagi dia pusingkan. Namun entah kenapa kakinya tidak melangkah pergi dari halte yang menjadi saksi bisu pertemanan sekolahnya, kini dia justru meluangkan waktu dengan siswa seangkatan dengan urat malu yang terkadang nyaris putus.

Gio menyender pada tiang halte. Seperti anak kecil, dia memainkan sedotan plastik yang terjatuh dari tong sampah dengan pandangan tak tentu arah. "Lu emang belum denger gosipnya?"

Gavin memilih bangkit, menepuk-nepuk seragam bagian belakangnya yang sedikit kotor. "Gak. Gue benci berurusan sama orang-orang khianat," jawabnya jujur, sembari bersedekap dada.

Gio mendengus, sudah dia duga. "Gue cuman kasihan sama Gama, Pin, apa gua salah??"

"Gak jelas lu! Niat ngomong gak? Kalau gak, gua mending pulang." Gavin hendak melangkah, namun tercekat dua detik kemudian.

"Gue sengaja masuk ke dalam lingkup keluarga Gama, Pin." Gio terdiam sejenak, tepatnya menimbang-nimbang apakah dia harus bercerita atau tidak. Perkataan Gavin yang anti dengan pengkhianat tadi juga membuatnya labil, dia takut Gavin akan membencinya— dia takut Gavin, atau bahkan Gama dan Hama menghindar darinya.

"Terus?"

Mendengar Gavin membalas ucapannya, lantas Gio mendongak tidak menyangka, dia kira Gavin sudah berlalu pergi tanpa berniat mendengar ungkapannya.

Tidak ingin menyia-nyiakan keadaan, Gio segera bangkit. Sama seperti Gavin, dia menepuk beberapa kali seragam sekolahnya yang dikeluarkan, lalu memilih duduk di salah satu kursi halte tak jauh dari posisi Gavin. "Lo tau Ayahnya? Ayahnya adalah orang yang paling kejam disana," tambahnya.

Gavin mengangkat sebelah alisnya. "Jangan ajak gue gosip jelek-jelekin orang, karena gua bakal bikin lo berlutut di depan orang itu."

Gio berdecak. Gavin entah terlalu naif, pencitraan, atau memang tipikal orang seperti itu— tak dapat dipungkiri terkadang membuatnya jengkel juga. "Wih, merinding! Ih, serem..!" ledeknya sembari meragakan salah satu adegan sinetron di televisi yang baru-baru ini rutin dia tonton setiap hari Sabtu dan Minggu.

"Lama banget lu, kayak cewek— cepetan!"

Gio mencibik kesal, kemudian menyenderkan bahunya pada kaca pembatas halte tepat dibelakangnya yang berfungsi agar tidak tampias ketika hujan menyambut. "Lo tau, Pin? Gua juga benci gosip, tapi kenyataannya emang gitu! Pokoknya— gitu dah, gua tau, tapi gua gak mau sebar aib seperti apa yang lo bilang. Intinya—"

Dahi Gavin semakin mengernyit dibuat penasaran. "Lu ngomong apa sih? Tudep kalau sama gue!" potongnya tidak paham.

Gio mendengus pelan, masih sangat sabar dia menghadapi sikap Gavin yang tidak berbeda jauh dengan Gama. "Intinya gue merasa gak ada gunanya jadi teman. Gama susah karena gue, gue yang sebar berita tentang Ayahnya— gue.."

3G SignalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang