Papalepapale, gue disini lagii. Kisah Hama sama 3G boy emang gak ada abisnya, tapi luv sih buat kalian yang segini setianya <3
Jarang up, karena sibuk mikirin rencana apa lagi yang bakal gue toreh di cerita ini. Sempet buntu, tapi alhamdulillah sekarang lancar lagi.
HAPPY READING!
Hari Jum'at berjalan seperti biasanya. Tidak mulus dan tidak begitu lancar juga, karena terkadang Hama masih memikirkan cara agar ia dapat melunasi hutangnya dengan Paula sebesar RP. 200.000.00 rupiah. Uang tabungannya sudah menipis, ia habiskan untuk membeli kuota internet handphone, sabun wajah, dan jaket crop sebelum masa SMA dimulai— ia belum sempat menabung lagi. Memberitahu Keena perihal masalah itu? Bukan ide bagus. Orangtuanya? Itupun juga.
Rasanya Hama ingin menangis untuk yang kesekian kalinya, tapi membuang tenaga. Sudah berapa banyak air mata yang ia hamburkan? Sebenarnya bisa saja ia meminjam uang pada Reva— tapi Reva temannya, bukan seseorang yang harus ia singgahi kala ia terpuruk saja. Gavin? Sejujurnya terdapat sedikit rasa takut dalam benaknya ketika berhadapan dengan cowok itu, mungkin karena cara berbicara Gavin yang lebih frontal membuatnya sedikit enggan. Gama? Tidak mungkin, ia tak ingin membuat fikiran siswa pasif tersebut makin berlipat. Gio? Untuk yang satu itu mungkin lebih sedikit masuk akal, karena hanya Gio yang dapat ia ajak berbicara tanpa harus merasa kelu, namun menjadi orang yang serba merasa tidak enak— bukan hal sepele. Sisi lain ia takut membuat Gio terbebani atau berfikir selama ini mereka berteman hanya berdasarkan asas 'uang' saja.
Batin Hama masih mengumpati Hana, Paula, beserta kawanan mereka yang sudah berani-beraninya menjerumuskan dirinya ke dalam jebakan. Tentu sebagian besar keinginannya, ia ingin membalas perbuatan mereka.
"Kalau di CCTV keliatan jelas itu rambut gue..jadi itu siapa?" monolognya seorang diri, masih tak habis fikir dengan rencana mereka. Harus ia akui, Hana tidak sembarang menyusun rencana untuk menjatuhkannya, ternyata cewek berambut lurus sepinggang itu menaruh dendam yang begitu besar karena ia yang membela Gama kali pertama mereka berseteru. Bila diputar ulang kembali, pertengkaran mereka disebabkan oleh sosok Gama, namun kini ia justru menganggap Gama seorang teman. Jalan hidup memang aneh.
Tiba-tiba fikirannya beralih pada masalah Gama dan Gio. Benar, meskipun ia sangat yakin Gama tahu berita di sosial media perihal Papanya, kenapa cowok itu tidak menggubris Gio sebagai sumber masalahnya? Menerka tindakan Gama sama dengan menerka takdir— dimana tidak ada satu orangpun yang tahu.
Bisa-bisanya lo mikirin dia disaat lo juga punya masalah! Hama mendengus lelah. Sebelum keluar kamar, ia berkaca sebentar. Untuk hari Jum'at, para siswi yang beragama islam diwajibkan memakai jilbab berwarna temu kuning, maka dari itu ia harus lebih intens memperhatikan lekukan jilbab agar tidak berantakan. Setelah menyemburkan parfum ke seragam muslim miliknya, ia berjalan keluar kamar. Di depan pintu kamar, ia terdiam sejenak, menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari wujud Mamanya— tumben sekali pagi itu ia tidak melihat wujud Vena di depan Televisi. Dan yang lebih penting, siapa yang mengantarnya ke sekolah?
"Ma? Mama dimana??" Hama mendekati area dapur, bermaksud menangkap sosok Vena. Tapi nihil, tidak ada tanda-tanda kedatangan Mamanya disana.
Tiba-tiba Papanya keluar dari toilet. Rambut hitamnya sedikit basah, dengan setelan kaos hitam polos beserta celana joger sedengkul, diam-diam Hama mengakui, meski Zai sudah berkepala 4, tak dipungkiri gayanya selalu tidak ketinggalan zaman.
"Gimana? Papa udah mirip Taeyong belum?"
Percayalah, kalimat itu sampai bosan Hama dengar. Papanya itu memang berbeda dan sedikit usil.
KAMU SEDANG MEMBACA
3G Signal
Teen FictionIni cerita Hama. Perempuan tangguh yang mendamba-dambakan sahabat setia sejak kecil. Tapi sialnya saat SMA ia justru berteman dengan Gavin, Gio, dan Gama. Memang mimpinya terkabul, namun dibalik itu Hama mendapat musibah besar. Menjadi teman peremp...