45. Bertambah Elusif

67 23 1
                                    

"Kenapa mau disiarin ke berita? Sedangkan situ gak ngasih tau keluarganya dulu," ucap Gama di tengah keheningan, ketika tak lama tubuhnya bersender di jok mobil yang tak sengaja dia temui. Sesudah dia berlari, mencoba memberhentikan paksa mobil yang sudah tidak asing lagi baginya.

Saga yang duduk di sebelah sang supir masih terdiam, terlihat enggan mengangkat bicara sedikit pun, meskipun itu anak kandungnya.

"Oh iya, lupa! 'Kan gak punya mulut, gak punya keluarga juga," lanjut Gama, tetap berusaha santai, karena yang dia hadapi adalah Saga, sifat Papanya jelas tidak berbeda jauh dengan Gama. Jika dia bertanya dengan emosi, Saga akan semakin malas menjawab.

Terlihat Saga melirik Gama dari kaca depan mobil. Entah bagaimana Gama bisa berada disitu dan mencekatnya. Dia tentu tidak tahu pasti apakah sekolah Gama hari ini mengadakan libur dadakan, atau memang dia yang tidak memperhatikan anaknya. Tetapi, dengan seragam putih abu-abu, bukankah berarti seharusnya kini Gama berada di sekolah?

"Keluar dari mobil saya!" ketusnya sembari membenarkan dasi yang mulai longgar di lehernya. "Saya sudah turuti permintaanmu untuk bersekolah disana. Gunakan sebaik mungkin."

Terdengar omong kosong di benak Gama, tentu pemuda itu hanya tertawa remeh. Rasanya baru kemarin Mamanya nyaris mendapat pukulan, berakhir pingsan ketika Saga justru memukulinya hingga dia tak memikirkan lagi bagaimana nasib mukanya, tapi hari ini Saga seolah kembali menjadi seorang Jenderal inspiratif bagi banyak rakyat.

"Kenapa mau datengin acara itu saya tanya? Acara itu bukan sekedar acara gosip aktris atau pencitraan, bukan main-main. Anda juga gak pernah jelasin ke Mama alasan anda mabuk-mabukan di club, apa anda gak pernah mikirin perasaan Mama?" terang Gama. Untuk menutupi emosinya yang semakin tersulut mengingat Mamanya yang diperlakukan buruk oleh Saga, dia memilih untuk mengepalkan kedua telapak tangannya erat. Tidak peduli hari mulai menjelang sore, bahkan dia melupakan nasib ketiga temannya yang dia tinggalkan.

"Nyesel gue simpati sama lo."

"Gama..Gama, banyak bicara kamu! Saya memang ada di dunia politik, hal kayak gini kamu pikir saya takut? Bukan apa-apa bagi saya—"

"Saya gak ada khawatir sama anda. Saya gak peduli. Saya cuma tanya, kenapa gak cerita ke Mama! Kalau kayak gini, pisah aja sama Mama. Tentram hidup gua."

Supir beserta kedua pengawal Saga yang berada di bagian paling belakang mobil tertegun mendengar perdebatan dingin antara anak dan ayah yang jarang berinteraksi tersebut. Diantara mereka tidak ada yang berani menyela, bahkan supir pribadi Saga tidak berani menjalankan mobil tanpa perintah Saga lebih dulu.

Supir mobil melihat Saga mengepalkan sebelah telapak tangannya, ternyata dua orang yang memiliki ikatan darah itu memang benar-benar serupa, dari gerak-gerik marah sekalipun.

"Saya gak mau denger kamu bilang begitu lagi, Gama," balas pria berjas hitam dengan rambut yang ditata rapih tersebut.

"Pisah! Saya bilang pisah sama Mama!" Gama justru mengulangi perkataannya, merasa belum puas dengan tanggapan Saga.

Brak!

Tas kulit berukuran kecil, berwarna coklat, yang sering Saga tenteng dengan sebelah tangan, terlempar hingga mengenai kaca mobil. Untung saja kaca yang tebal, tidak membuatnya pecah hanya karena lemparan tas.

"Itu gak ada urusannya sama kamu!! Saya gak pernah buang-buang uang saya untuk ke tempat menjijikan seperti itu! Saya difitnah dan saya gak terima! Cepat keluar dari mobil saya sekarang, Gama!!!" ekspresi murka Saga tertangkap jelas oleh Gama dari kaca depan mobil. Begitupun Saga yang dapat melihat muka datar anak laki-lakinya.

3G SignalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang