52. Semakin Aneh

46 11 0
                                    

Gavin terbangun dalam kondisi lampu kamar menyala. Mengecek jam di handphone dan mengucak mata sudah bagian dari rutinitasnya setiap pagi. Tidak seperti orang lain yang membangun nyawa dengan duduk dipinggiran kasur, lelaki yang ekspresinya tak karuan itu langsung bangkit, dan tidak ingin berlama-lama di kasur. Bagaimanapun caranya dia ingin melepas semua pikirannya pagi itu juga.

Rokok yang semula tersimpan banyak di kotak pensil sampai bersusun ternyata habis, padahal dia baru membelinya beberapa hari yang lalu. Bukan hal yang aneh lagi bagi Gavin jika semua tempat yang dapat diisi ia taruh batang rokok di dalamnya. Dia lakukan semata-mata untuk menyembunyikan rasa candu yang sampai kapanpun akan melekat. Jika kedua adiknya melihat hal tersebut- terutama Jovan, mereka pasti semakin menuduhnya dengan kejadian yang tidak-tidak, walaupun dia yakin beberapa diantaranya pasti termasuk. Tetapi kembali lagi, kini rumahnya hanya diisi perabotan yang tak mungkin untuk diajak bicara atau dalam artian lain, dia memang sangat kesepian.

Gavin jalan terhuyung-huyung menuju toilet, segera dia ambil air dengan menggunakan kedua telapak tangannya, lalu dia sambar ke wajahnya. Hari ini dia mengurungkan niatnya untuk menyesap rokok, karena memang tidak ada yang tersisa. Membeli rokok dalam kondisi krisis uang rasanya juga tidak mungkin. Vape nyatanya memang lebih irit, namun mengeluarkan uang untuk membeli barang itulah bagian yang paling dia tidak suka.

Hari ini Gavin juga memutuskan untuk tidak menyiram tubuhnya dengan air, dia langsung mengenakan seragam sekolah setelah melangkah ke almari yang berada di pojok kamar. Jadi teringat, sepertinya baru kemarin dia melempar rokok elektronik Gama hingga hancur berkeping-keping— andai temannya tahu, dia juga sehancur itu hingga menelan ucapannya sendiri.

Dirasa sudah, Gavin menyambar tas berwarna hitam yang terletak di sebelah kasur. Melewatkan sarapan sebab irit untuk makan sore.

Pukul 6 tepat, setelah meneguk air mineral, dia memutuskan untuk pergi. Meski selalu bertindak nakal dari masa Sekolah Dasar, berangkat sekolah paling utama sudah termasuk prinsip hidup. Penyebabnya bukan dia terlalu rajin, dia hanya mencegah agar tidak bertemu dengan orangtuanya yang tak pernah lelah menghasut dirinya. Kemarin Papinya pasti bersandiwara seolah memiliki sayap yang tak terlihat, karena dia tahu beliau adalah orang yang berpengalaman dalam bidang tersebut.

Tangannya bergerak untuk menarik gagang pintu ke dalam dengan perlahan. Gavin yang sudah berada di ambang pintu sebenarnya melihat batang hidung manusia yang tepat berada di depannya, namun karena Gavin memiliki banyak pikiran yang saling bergelut di dalam otak, setelah mengunci pintu rumah, dia menaiki vespa matic yang sebenarnya hanya motor bekas— satu-satunya kendaraan yang dia punya di rumah.

"Gue semut apa, ya, disini?"

Sembari melajukan sedikit motornya tanpa menyalakan mesin, sebenarnya Gavin tidak asing lagi dengan suara tersebut. "Jangan berisik, Gi, lo mending pergi dari rumah gue." Gavin menyalakan motornya, saat itu juga dia baru sadar dengan ucapannya, lantas kepalanya menengok ke belakang, mencari wujud orang tersebut.

"Woi! Gue ada di depan lo!"

Reflek Gavin menghadap kearah sebaliknya. "Gio anjing! Lo ngapain di rumah gue?" tanyanya dengan penuh sarkastik.

Gio tertawa terbahak-bahak melihatnya, ternyata Gavin mempunyai reflek yang kurang, juga ceroboh. Tak lama dari itu dia meredakan tawanya secepat kilat serta merubah ekspresinya menjadi datar. "Gak tau."

"Sebentar—" Terpaksa Gavin berhenti menyalakan mesin motornya. "lo tau dari mana rumah gue, monyet?"

"Sesuatu yang mudah. Lo temen macam apa, lupa kalo gue satu-satunya orang yang bisa ungkap rahasia Gama, sabotase ruang speaker sekolah, tiba-tiba nyamar jadi PLN, jadi DJ dadakan— gue udah punya banyak pekerjaan paruh waktu usia dini, Pin."

3G SignalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang