Ada yang lebih mengerikan dari gelap gulita.
Yaitu ruang hampa warna putih. Sampai Gavin tidak bisa menafsirkannya lagi dengan sekumpulan kata. Dia coba bicara, tidak bisa. Dalam hati juga tidak bisa. Berkedip adalah satu-satunya cara untuknya bertahan.
Atau lebih baik dia menyerah saja?
Gavin berkedip lagi. Menyerah bukan keputusan yang baik. Menyerah hanya untuk orang-orang tidak bertanggung jawab atas perbuatannya.
Andai waktu bisa diulang, Gavin juga ingin bertanggung jawab. Gavin ingin menangis paling kencang di hadapan orangtuanya, bahwa ternyata dia tidak bisa menanggung semua belenggu kehidupan, tapi dia juga tidak bisa mengikuti cara yang salah untuk memecahkan belenggu tersebut. Selain itu, dia ingin satu-satunya orang yang berteriak maaf di depan pria tak bersalah, yang sekali dia tatap wajah nanarnya.
Gavin berkedip lagi. Dan,
"Eh culun! Lu bisa ke rumah gua dulu, kok. Kacamata lu rusak 'kan? Yakin bisa liat?"
Gavin menatap lamat wajah seorang anak perempuan yang persis dihadapannya. Rambut pendek, celana sedengkul gambar tengkorak, tapi mengenakan kaos merah muda gambar boneka. Logat bicaranya juga lucu. Dia seperti tidak asing.
Tunggu sebentar,
"Hama?"
Reflek Gavin membungkam mulutnya dengan kedua tangan, begitu menyadari dia mengeluarkan suara anak kecil yang memang suara dirinya sendiri.
Anak perempuan itu mendekati Gavin perlahan, ekspresinya datar. Gavin sampai ragu, anak itu bukan anak biasa— atau, dia sampai ragu, itu bukan Hama saat masih kecil.
"Lu."
Gavin menahan napas. Dengan posisi hanya sejengkal, dia baru yakin bahwa anak perempuan itu benar Hama. Bedanya hanya tidak memakai kacamata.
"Tau dari mana nama gua?"
Gavin terbangun dengan napas tak beraturan. Dia nyaris terkejut lagi mendapati wajah Hama dari dekat. Tapi Hama versi dewasa, Hama temannya di SMA.
"Jawab gua, LO SIAPA?" tanya Gavin lantang. Kini dia menarik satu kesimpulan. Dari banyaknya pikiran yang ada di alam bawah sadarnya, kenapa semua seakan di dasari oleh Hama?
Hama tertawa sumringah. Ia tidak menyangka balasan Gavin akan sebegitu marahnya, disaat ia menunggu Gavin sadar seharian.
Perlahan tapi pasti, Hama melangkah mendekat ke ranjang rumah sakit. Ia mencondongkan tubuhnya ketika posisinya dekat dengan Gavin. "Lo yang siapa?"
Melihat raut wajah bingung Gavin, Hama mundur beberapa langkah sambil berdecak kesal. "Gue tuh udah curiga! Lo main sama Gio bukannya makin waras, justru makin gak bener candaan lo. Amnesia beneran, mampus?"
"Kalaupun gue amnesia, itu gegara lo 'kan!"
Mata Hama melebar, masih belum mengerti. Baru saja Gavin terlelap seperti orang tak berdaya, tapi sekarang sudah marah saja?
"Lo bilang hal yang paling fatal itu kebaikan yang merugikan orang lain.
Tapi kenapa harus gue yang jadi tikus lo?"
Hama melangkah lebih maju, berniat ingin mengecek suhu tubuh Gavin dari kening laki-laki itu. Tapi langsung di tepis sekuat tenaga. Ia melihat, mata Gavin bahkan memerah.
"Gavin, kalau ini tentang taruhan..kita batalin aja, ya? Lo gak usah pikirin itu. Sekarang kalau lo masih pusing, lo bisa tiduran lagi," balas Hama. Tutur katanya selembut sutra. Selama berteman, Gavin yakin tidak pernah mendengar suara yang berbeda itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
3G Signal
Ficção AdolescenteIni cerita Hama. Perempuan tangguh yang mendamba-dambakan sahabat setia sejak kecil. Tapi sialnya saat SMA ia justru berteman dengan Gavin, Gio, dan Gama. Memang mimpinya terkabul, namun dibalik itu Hama mendapat musibah besar. Menjadi teman peremp...