Gio menahan tawanya dengan cara membekap mulutnya sendiri menggunakan sebelah telapak tangannya. Dia rela membolos beberapa jam pelajaran hanya agar dapat melihat kartun kesukaannya, Spongebob Squarepants. Jujur saja, kartun itu memang selalu dia prioritaskan, tak peduli orang lain menganggapnya kekanak-kanakan, kurang dewasa, atau semacamnya. Toh, mereka tidak tahu, banyak kenangan yang terkandung dalam kartun tersebut, membuat dirinya seakan menjadi seseorang paling bahagia sejagat raya.
Belum lama dari itu, dia dengan cepat memasukkan handphone-nya ke dalam kantung celana, karena mendengar suara derap kaki dari balik dinding. Tentu dia sedikit dibuat panik, berkali-kali kepalanya celingukan ke kanan dan ke kiri, mencari-cari benda yang setidaknya dapat berfungsi. Hingga akhirnya dia mendapati bekas bakaran kertas yang sudah berubah menjadi abu. Lantas dia bergidik geli, namun karena suara derap kaki semakin mendekat kearahnya, dengan separuh niat usil—mau tak mau, rela tak rela, dia menaruh kedua telapak tangannya diatas abu, lalu menyapu wajahnya dengan telapak tangan yang sudah berwarna hitam pekat.
Baru saja dia hendak bangkit, seorang siswi mencondongkan tubuhnya ke balik dinding, membuat dia menyengir lebar.
"AAAAA..!" Alih-alih menyerbunya dengan sederet tuduhan, siswi itu justru berteriak kencang, dan berlari tepontang-panting menjauhinya.
"Pft! Payah!" gumamnya sembari menggeleng gusar, kemudian buru-buru dia menyelempangkan tasnya ke pundak, dan segera pergi dari tempat itu sebelum siswi yang sempat menciduknya mengadu ke salah satu guru.
Dia melihat-lihat sekelilingnya. Merasa kondisi masih aman, dia memanjat dinding sekolahnya yang menjulang tinggi dengan mudah, dan berakhir kakinya kembali berpijak di lingkungan sekolahnya, atau lebih tepatnya bagian belakang sekolahnya, alias pekarangan yang paling jarang dikunjungi oleh para murid. Terbukti selama dia membolos, tak ada satupun murid, bahkan guru yang menciduknya—atau mungkin ada, hanya siswi tadi.
Sebelah tangannya mengeratkan selempangan tasnya, langkahnya semakin dia percepat menuju toilet khusus siswa yang tak jauh dari sana. Sesampainya berada dihadapan pintu bercat putih, dia lantas membuka pintu tersebut. Langkahnya sempat ragu saat kedua matanya menangkap wujud seorang cowok yang tengah berkaca sesekali menyiram rambutnya dengan air. Tapi 3 detik berikutnya sembari mengeratkan tasnya, dengan yakin dia melangkah maju menghampiri wastafel yang berada tepat di sampingnya.
Dia mencuci tangannya dengan alir yang mengucur, lalu membasuh wajahnya yang nampak gosong hingga setidaknya abu tersebut tak lagi menutupi wajah rupawannya. Merasa telah hilang sedikit demi sedikit, disela-sela aktivitasnya dia melirik cermin, lebih tepatnya melirik seorang cowok berpenampilan urak-urakan yang berada di sampingnya. Rupanya cowok itu belum mengetahui keberadaannya. Cowok itu justru menundukkan kepalanya, terlihat seperti banyak masalah.
Cowok itu Gavin. Gavin mengusap wajahnya gusar, untuk yang terakhir kalinya dia membasuh wajahnya dengan air, lalu mematikan kran tersebut. Fikirannya tetap sama, masih berkelana mengarah Gio dan Gama. Agaknya dia sudah membuat kedua temannya itu kecewa. Baru saja merasakan hangatnya pertemanan, langsung mendapat hantaman dari sebuah kesalahpahaman.
Tanpa sadar seulur tangan menepuk punggungnya. Lantas Gavin menoleh ke samping, mendapati Gio yang tengah menyengir. "Jangan ambil pusing yang kemaren. Anggep aja cuman marah-marahan sesama teman. Gak usah baper lah! Cowok bukan?!" ledeknya membuat Gavin memincing kesal, kemudian mengambil ancang-ancang untuk memukulnya.
"Canda." Gio terkekeh, sembari menjauhkan tubuh Gavin dengan cara mendorong kedua bahu cowok itu. "Kita itu temen, Pin. Tapi gue mau lo tutupin pertemanan kita." Dia menepuk bahu Gavin dengan gaya bersahabat.
Berbeda lagi dengan Gavin yang mengernyit heran. Berasumsi yang tidak-tidak perihal Gio, lalu tak lama dia berdecak. "Lo itu gak ada bedanya sama yang lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
3G Signal
Ficção AdolescenteIni cerita Hama. Perempuan tangguh yang mendamba-dambakan sahabat setia sejak kecil. Tapi sialnya saat SMA ia justru berteman dengan Gavin, Gio, dan Gama. Memang mimpinya terkabul, namun dibalik itu Hama mendapat musibah besar. Menjadi teman peremp...