•04. Balas Dendam•

569 76 12
                                    

Hama sedikit menekan kapas yang sudah ternodai obat merah ketika mendarat di wajah Gio. Anggap saja ia tidak berlapang dada mengobati cowok itu, karena kenyataannya memang begitu, terbukti dari mulutnya yang masih menggerutu.

Gio memejamkan matanya, sesekali meringis pelan, lalu tak lama dia membuka matanya. "Pelan-pelan dong!" katanya.

"Emang gue babu lo!" balas Hama tak mau kalah.

"Yaudah jadi babu gue yah mulai sekarang. Ntar gue bayar deh, tugasnya cuman beliin gue jajan, obatin gue kalau gue abis berantem, atau tawuran. Terakhir, antarin gue pulang," ledek Gio dengan tengil.

Hama berdecih. Sempat-sempatnya Gio mempromosikan hal yang jelas-jelas akan ia tolak dengan sepenuh hati. Ia melempar kapas tersebut tepat ke depan wajahnya. "Kurang ajar!" Dengan kesal ia berlenggang pergi, tanpa melanjutkan tugasnya.

Diluar UKS ia sudah disambut oleh beberapa siswi yang ia tebak menguping semua pembicaraannya dengan Gio.

"Hama! Si Gio ngomong yang aneh-aneh gak?" tanya Lela, temannya yang berbeda kubu, namun saat awal masuk sekolah ia memang cukup dekat dengannya, selain Hana. Tapi entahlah, kali ini batang hidung cewek itu tak nampak.

Hama menyipitkan matanya. "Gue yakin tanpa bertanya lo pasti tau jawabannya," balasnya.

Lela hanya menyengir. "Iya deh. Tadi kan gue nguping," ungkapnya.

Hama melihat Lela yang sudah mengenakan tas berwarna abu-abu, itu berarti MOS hari ini telah berakhir, dan murid-murid diperbolehkan untuk pulang.

"Yah, tas gue masih di dalam kelas lagi, anterin gue yuuuks," mohonnya, sembari memasang mata berbinar-binar.

"Ayo deh gue temenin, mama gue juga belum jemput. Tapi nanti lo anterin gue ke toilet, ye," sahut Reva. Reva juga termasuk teman akrabnya, karena Hama dan Reva sudah berteman sejak Sekolah Dasar, dan kedua orangtua mereka juga sangat dekat, membuat mereka berdua selalu bersekolah di sekolah yang sama.

"Yaudah kuy. Bye para ubab!" Hama menarik lengan Reva, sesekali mengayunkan telapak tangannya ke kanan dan ke kiri.

"IDIIH, BIG NO!" seru Lela.

Hama terkekeh, sedangkan Reva menyikut pinggang cewek itu. "Elo berani banget dah. Baru pertama MOS udah kelewat usil sama temen lo. Awas jangan sampai kejadian SD terulang!" peringatnya.

Hama mengangguk santai. "Lagi pula gak papa lah, Rev. Hidup tuh harus di bawa santaii.."

"Santai bapakmu kawin!" Reva berdecih. "Eh iya, kok temen lo, si Hana-Hana itu gak keliatan? Tumben, biasanya dia kan nempel banget sama lo."

Mendengar kata 'Hana' disana membuat Hama terdiam. Ia merasa Hana tersinggung dengan perkataannya, padahal ia tidak bermaksud.

"Woi Ma, denger gak sih?" Reva menyikut pinggangnya. Membuat ia tersadar, lalu menghendikkan kedua pundaknya acuh tak acuh.

Reva membuka bibirnya, berniat membalas, namun sedetik kemudian dia tutup rapat-rapat, memilih mengurungkan niatnya saat seseorang yang baru saja mereka bicarakan melintas di depan mata, tanpa melontarkan sapaan balik, padahal Hama sudah menyapanya dengan senyuman hangat.

"Lah.. Kok?-Lo sama dia kenapa sih? Gue peka ya! Tadi itu dia keliatan gak mau ngomong sama lo, bahkan dia gak mau natap lo. Aduh, Ma! Lo lebih hati-hati deh di SMA, ini bukan SD, yang kalau lagi musuhan paling banter main ejek-ejekan!" Reva terlihat gelisah. Dibalik itu temannya yang dia khawatirkan justru terlihat santai.

"Tau deh. Gue mau gampangnya aja sekarang. Kalau dia mau temenan sama gue, ya ayo. Kalau enggak-yaudah, bye."

Reva mencibikkan bibirnya. "Yaiya sih.. Pendirian gue juga sama kayak lo. Tapikan, ya begitu-bodo deh ah! Gak ngurus!"

3G SignalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang