•08. Headseat yang Hilang•

389 51 1
                                    

Gama sontak bangkit, matanya terbelalak sempurna melihat kehadiran Gio yang menarik kerah seragam Gavin, namun tidak seperti biasanya, kali ini Gavin terlihat penurut, alias tidak memberontak sama sekali.

"Woi, Gam? Katanya mau bersihin ruang OSIS. Urusan Gapin gampang, udah gue seret nih anaknya!" ucap Gio bangga. Yang lantas mendapat pukulan di bagian kepalanya dari Gavin.

"Gak usah sok mantep lo!" celetuk Gavin tak terima.

"Iri?! Bilang boss!" Gio mengacungkan tanda metal dengan sebelah jari-jemarinya yang menganggur.

Gavin berdecih seraya mengacungkan jari tengahnya tanpa banyak berkata.

Gama menyopot headseat-nya, menaruhnya di dalam saku seragam, kemudian berjalan pergi tanpa pamit. Merasa telinganya belum juga menangkap bunyi derap kaki kedua temannya, tubuhnya mau tak mau berbalik, menatap Gio dan Gavin sinis, ternyata kedua temannya masih berada jauh di belakangnya.

"Jadi gak?" tanyanya. Beberapa detik dia menunggu jawaban mereka, namun Gio dan Gavin justru menatapnya tanpa ekspresi. Malas, dia kembali melanjutkan langkahnya.

"Oh, bilang dong makanya! Mana gue tau lo ngajak kita ngikutin lo!" celetuk Gio setelah sekian lama otaknya sibuk mencerna ucapan Gama.

"Tau! Sok-sokan jadi dingin! Biar apa sih kayak gitu?" tambah Gavin, kemudian berdecih.

Melihat Gama yang semakin menjauh membuat Gio melepaskan tangannya dari kerah seragam Gavin, selepas itu dia menepuk-nepuk tangannya seolah seragam Gavin adalah benda tak suci, kemudian tanpa banyak berkata dia melenggang pergi, meninggalkan Gavin dengan wajah memerah kesal.

"Bangsat! Gue gibeng lo abis ini!"

⚡3G Signal⚡

Aldrich berdehem, kedua tangannya merapihkan kerah jaznya yang sedikit berantakan, selepas itu  membuka pintu berwarna hitam, alias pintu ruangan OSIS. Matanya berkelana kedalam penjuru ruangan tersebut, banyak bangkai kecoa yang masih tertinggal di ruangan itu berkat Amira yang kemarin menyemprotkan Baigon, namun tidak mempunyai cukup keberanian untuk menyapu kecoa bernasib malang itu, karena katanya dia tak ingin melihat cacing yang keluar dari dalam tubuh bangkai kecoa tersebut. Sedangkan Aldrich, mendengar perkataan Amira lantas dibuat menciut, dan memilih menunda-nunda waktu untuk membersihkannya.

Gavin berdecih seraya menggeleng gusar melihat ruangan yang semula rapih itu menjadi kacau balau. "Setakut itu sama kecoa? Gue ragu lo beneran cowok jadi-jadian."

"Yaudah, kalau lo merasa berani, merasa cowok, cepet beresin. Gak usah banyak omong. Belajar tanggung jawab," balas Aldrich tak mau kalah.

Gavin mencibikkan bibirnya, menatap Aldrich dengan nyalang. "Berani juga lo sama gue? Kalau gue berani lo mau bayar gue berapa, hah?" Dia ingin melaju selangkah kearah Aldrich, namun Gio dengan dramastis menahan tubuhnya. "Sabar Pin, sabar..!" monolognya.

Mendengar itu Gavin seakan memberontak, dan Gio tetap berupaya menahannya. "Ehh sabar Pin, sabar! Orang sabar pantatnya emas!"

Gama yang sedari tadi hanya melihat drama mereka memutar pupil matanya malas. Sama sekali tak terbesit di fikirannya untuk mengikut sertakan dirinya ke dalam drama kecil yang dibuat Gio dan Gavin.

Gama menegapkan tubuhnya, dia berdehem singkat, namun cukup untuk menghentikan ulah Gio dan Gavin.

"Ngapa lo? Mau cegah gue juga?! Lo pada gak bakal bisa cegah gue!" seru Gavin dengan sangat percaya diri.

Gama mengerutkan dahinya. "Gak. Lo bonyok, gue seneng," balasnya acuh.

Aldrich terkekeh mendengar itu, sedangkan Gio sudah lebih dulu tertawa terbahak-bahak.

3G SignalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang