Malam telah tiba, Zila dan Nini sedang sibuk-sibuknya menyiapkan makan malam.
"Zila, bawa sup daging itu," pinta Nini, Zila membawa mangkuk berisi sup berjalan kemeja makan.
Ia menaruhnya di samping tempat nasi, Zila merapikan sendok, garpu, serta gelas satu persatu.
Bianca dan Vero turun dari atas tangga, ia berdua mendekati meja lalu duduk berdampingan.
"Silakan dimakan, Umi, Abi," ujar Zila tersenyum.
Mereka berdua mulai mengambil nasi serta lauk, memakannya secara perlahan. Zila pergi ke dapur untuk memakan juga bersama Nini.
Selang beberapa menit, Zila kembali lagi untuk membereskan piring kotor, membawanya ke dapur dan di cuci. Setelah itu menaruhnya di rak. Zila memasuki kamarnya, duduk di pinggir ranjang.
Ia rentangkan otot-ototnya kalah merasakan kaku di semua badannya. Mungkin efek baru pertama kerja, jadi belum terbiasa.
"Huft! Cape juga," keluh Zila, membaringkan tubuhnya di atas kasur. Zila menatap atas atap yang bercorak bunga, bibirnya tersenyum tipis.
Zila mulai menutup matanya, hawa kantuk mulai menyerang. Dengan cepat ia memasuki alam mimpi.
_
Malam berganti pagi. Zila membuka matanya secara perlahan, membenarkan duduknya. Matanya ia kedip-kedipkan ketika penglihatnya kurang jelas.
"Astaga! Aku terlambat bangun. Umi bisa marah nanti!" kaget Zila, menyeka selimut dan berlari keluar. Ia pergi ke dapur untuk mengambil sayuran di dalam kulkas, setelah itu menaruhnya di meja.
Zila mengambil bakul serta tatakan pengiris bawang lalu duduk di bangku. Ia memotongnya secara rinci, air matanya keluar saat Pemotongan bawang terakhir.
"Aww," ringki Zila tak sanggup melihat bawang.
"Zila, kamu kenapa?" tanya Nini yang baru datang membawa sekantong daging.
"Zila nangis gara-gara bawang, Ni," ungkap Zila menyeka air matanya menggunakan punggung tangannya.
Nini hanya terkekeh, ia duduk di samping Zila. Mengambil alih sayuran, Nini mulai memotongnya.
"Potong dagingnya, buat nanti malam," titah Nini, Zila mengambil daging sapi dari kantong plastik. Daging yang cukup besar membuat Zila keberatan membawanya di tempat pencucian.
Zila mulai memotong dagingnya kecil-kecil lalu di taruh di bakul. Ia menyeka keringet saat merasakan kewelahan.
"Udah selesai belum?" tanya Nini, menaruh sayuran di situ.
"Dikit lagi, Ni," jawab Zila melanjutkan pemotongannya.
Mereka berdua mulai menyiapkan bumbu dan memasakannya, sesekali tertawa saat bumbunya keasinan.
_
"Gak sabar balik ke Indonesia," gumam seseorang, Gibran Devino Lucas.
Gibran berada di kamarnya, tepatnya di hotel bintang 5. Ia menatap ke bawa untuk melihat lalainya banyak kendaraan.
Ia menatap jam dinding, ternyata sudah pukul 4 sore. Gibran berjalan ke lemari, ia menaruh semua pakaiannya di koper.
Selesai membereskan pakaian, Gibran meraih handuk lalu pergi ke kamar mandi.
Suara air bergemericik, ritual mandi sedang berlangsung. 30 menit berlalu, Gibran keluar yang hanya mengenakan handuk sepinggang sehingga membuat perut sixpacknya terlihat jelas.
Gibran menghampiri bibir ranjang, ia memakai pakaiannya perlahan. Selesai dengan itu, Gibran menyeret koper keluar dari hotel.
Berjalan di parkiran sembari menunggu jemputan. Tak memakan waktu lama, mobil telah sampai di depan Gibran. Ia segerah masuk dan mobil jalankan kembali.
_
"Zila, apa kau sudah selesai membereskan semuanya?" tanya Bianca di dalam kamar Gibran.
"Dikit lagi Umi," sahut Zila, Bianca kembali keluar meninggalkan Zila yang sedang membersihkan kamar putranya.
"Welcomeback, Umi, Abi!" suara barotan terdengar jelas dari arah pintu, nampak seseorang tengah membawa koper menghampiri mereka.
Bianca dan Vero menengok ke sumber suara, senyuman muncul di bibirnya. Bianca langsung memeluk tubuh Gibran dengan erat.
"Gimana kabar kamu, Nak?" tanya Bianca menangkup pipi Gibran.
"Baik, Umi. Melelahkan juga menjadi seorang CEO," keluh Gibran, Vero yang mendengar itu hanya terkekeh. Ia menghampiri Gibran, menepuk Pundaknya.
"Jalanin saja, Abi begitu dulu," balas Vero, Gibran tersenyum kikuk.
"Gibran mau ke kamar dulu," ujar Gibran meninggalkan orang tuanya.
Mereka menatap punggung putranya yang sudah mulai hilang. "Putra kita sudah besar ya," ucap Vero memeluk pinggang istrinya dari samping.
Gibran memang seorang CEO, ia meneruskan perusahaan milik Vero. Di angkat menjadi kepala perusahaannya.
Gibran membuka knop pintu, nampaklah seorang gadis tengah merapikan selimut. Gibran tersentak kaget, dengan cepat Gibran mencengkram tangan gadis itu.
"Siapa kau?!" bentak Gibran membuat Zila ketakutan plus meringis akibat cengkraman maut milik Gibran.
"A-aku Zi-zila, pembantu di sini," jawab Zila terbata-bata.
"Keluar kamu!" usir Gibran, Zila terburu-buru keluar meninggalkan Gibran.
"Ganteng-ganteng kok galak," monolog Zila dalam hati. Ia langsung pergi ke dapur untuk membantu Nini menyiapkan makan malam.
"Dari mana kamu, Zila?" tanya Nini yang masih merapikan piring di meja makan.
"Dari kamar, tuan Gibran. Tadi Umi nyuruh Zila membersihkannya," balas Zila, Nini mengangguk. Zila mengambil mangkuk lalu menaruh di meja.
Bianca, Vero, dan Gibran mendekati meja. Ia duduk bersamaan sesekali Gibran melirik Zila dengan tatapan tajam.
Zila yang merasa dilihatin hanya menunduk takut dengan Gibran, ia sangat kasar dan suka membentak perempuan.
Sifat Gibran memang seperti itu, galak kesemua cewe namun baik kepada Uminya. Bagi Gibran, wanita saat ini yang ada di hatinya adalah Ibu kandungnya.
"Makan!" titah Vero, Gibran melihat Vero lalu mulai dengan ritual makannya.
_______
Sorry forr typo!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bos Gantengku Galak
Fanfiction[FOLLOW SEBELUM BACA. JANGAN LUPA, TINGGALKAN BINTANG AKANG TETEH😉] Menjadi seorang pembantu bukan kemauan Zila. Akan tetapi, memang sudah jalannya untuk lebih maju dari sebelumnya. Siapa sangkah, kalau nanti dirinya akan berjodoh dengan majikanny...