empat puluh

6.5K 1K 66
                                    

Seperti yang kukira, Yona memang merongrongku dengan berbagai pertanyaan begitu kami tiba di kafe. Tentu saja hal itu ia lakukan saat Edward sibuk mengurus Elliot. Yona beberapa kali menanyaiku tentang pernikahan kami, dan juga terus bertanya apakah aku sudah tidur dengan Edward.

Wanita itu banyak tanya. Aku hanya membalas seperlunya dan memilih menghindar dengan cara selalu menempel di sisi Edward sampai kafe tutup dan kami pulang ke rumah.

"Kau kan masih sakit! Kenapa kau masih gila kerja sih?" omel Ibu begitu aku menapak satu langkah ke dalam rumah.

Aku menarik napas panjang. Tidak Yona, tidak Ibu, mereka selalu saja berisik.

"Aku tidak kerja kok!" balasku.

"Tidak apa-apa, Bu. Aku sudah memastikan Miu beristirahat," ujar Edward membelaku.

Ia menggendong Elliot, masuk ke rumah sambil tersenyum menenangkan Ibu.

"Anak ini tidak pernah mendengarkan perkataanku!" adu Ibu kesal.

Aku berdecak, memutar mataku malas dan bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Biarkan saja Ibu mengadu pada Edward. Begitu selesai mandi dan berpakaian, aku mendapati Edward yang memangku Elliot sedang berbicara dengan Ayah dan juga Ibu di ruang tamu.

"Ada apa? Kalian tidak akan makan malam?" tanyaku heran sembari mengeringkan rambut dengan handuk.

Ibu menghela napas begitu melihat tampangku. Ayah tak mengatakan banyak hal dan lebih memilih diam. Sementara Edward tersenyum. Aku mengerutkan kening.

"Apa aku melewatkan sesuatu?" tanyaku lagi.

Ayah tak membalas, menatap Edward lurus sambil berkata, "beginilah putriku. Ia selalu cuek dan tak peduli pada lingkungannya. Mungkin saat kalian menikah, ia tak akan benar-benar mengurusimu."

Aku berkedip, menatap Ayah heran dan beralih pada Edward dengan wajah terkejut. "Apa ini? Kenapa tiba-tiba bicara soal pernikahan saat aku sedang mandi?"

Aku segera mendudukan diri di samping Edward, menatap Ayah dan Ibu yang balas menatap kami dengan tatapan penuh arti. Ekspresi Ibu melembut.

"Ibu selalu ingin melihatmu berkeluarga," ujar Ibu pelan. "Tapi, kau pulang berbadan dua tanpa suami."

"Kenapa tiba-tiba membahas masa lalu?" keluhku.

Ayah tersenyum. "Kau sudah menyetujui lamaran Edward, benar?"

Aku melirik Edward sejenak. "Aku yang memintanya menikahiku."

"Berarti kalian akan menikah?"

Aku mengangguk. Sekali lagi Ayah tersenyum. "Ayah selalu mendukung pilihanmu. Keinginan Ayah hanya ingin melihatmu bahagia."

"Aku tahu." Aku tahu. Ayah selalu berusaha keras membahagiakanku, bahkan di saat aku mengandung Elliot. Walau aku mengecewakannya, ia selalu berusaha menjaga supaya pembicaraan tetangga tak menyakiti hatiku. "Terimakasih, Ayah dan Ibu."

Ayah dan Ibu tersenyum. Malam itu berlalu dengan damai. Usai makan malam, Ayah dan Ibu menemani Elliot bermain di ruang tamu bersama Aku dan Edward. Lalu, Elliot tertidur di kamarnya tanpa banyak bicara atau bertanya mengenai pembicaraan kami di ruang tamu.

Ayah dan Ibu juga sudah tertidur, menyisakan aku dan Edward yang duduk di teras sambil menatap langit malam. Edward menyeruput cokelat panas yang kubuat. Aku bersandar di kursi tanpa berkata-kata.

"Sudah lama aku tak merasa begini," kata Edward membuatku meliriknya. "Damai, juga hangat."

Edward menggenggam tanganku. Aku menatap jarinya yang mengait di jariku, kemudian menatap wajahnya yang masih rupawan. Aku tak melihat kerutan sedikit pun di wajahnya meski ia hampir mendekati usia empat puluh. Ia masih sama seperti saat aku pertama melihatnya.

"Aku masih penasaran," kataku menatapnya lekat.

"Tentang apa?" balas Edward lembut.

"Kenapa kau mencintaiku seperti ini?"

Edward terdiam. Aku juga diam, menunggu jawabannya.

Aku sadar diri jika aku bukan yang paling cantik. Walau memang penampilanku tidak jelek-jelek amat, tetapi Edward pasti bisa menemukan yang lebih baik daripada sekedar wanita biasa-biasa sepertiku. Apalagi, dengan status dan kekayaannya.

"Aku juga tak tahu." Edward akhirnya bersuara. "Yang kutahu hanyalah aku mencintaimu tanpa alasan ataupun syarat. Aku hanya ingin mencintaimu."

Aku tersenyum. Edward mengelus punggung tanganku dengan ibu jarinya. "Lalu, bagaimana denganmu?"

"Aku selalu mencintaimu," balasku pelan. "Mungkin aku tak terlalu menunjukannya, tapi aku juga mencintaimu."

Edward tertawa, merasa puas dengan jawabanku. "Dulu, kita tak pernah membicarakan soal perasaan kita."

"Yah, kau selalu meniduriku apapun keadaannya dan bagaimanapun suasana hatimu," komentarku membuat Edward melirikku setengah kesal.

"Aku tak akan melakukannya jika kau menjadi si penurut yang manis."

"Ya,ya. Aku akan percaya," ledekku. "Mau jadi penurut atau pembangkang, yang kau pikirkan saat itu cuma berhubungan seks denganku."

"Aku bukan maniak."

"Hah! Kata pria yang mengikatku di ranjang begitu aku mengganti nomor ponselku dulu."

"Aku melakukannya karena tingkahmu diluar batas kesabaranku."

"Ya, ya. Tentu saja aku memang menyebalkan."

"Kau masih menyebalkan sampai sekarang."

Aku berdecak melirik Edward kesal dan menarik tanganku paksa. Edward tertawa, kembali meraih tanganku dan menggenggamnya erat.

"Tapi, aku masih mencintaimu walau kau menyebalkan."

"Apa aku harus berterimakasih?" decakku kesal.

Edward tertawa pelan. Aku menatapnya sinis, tetapi perlahan tersenyum. Aku juga sudah lama tak merasakan perasaan ini. Hangat dan nyaman.

Aku membalas genggaman Edward lembut, membuatnya menatapku bahagia.

"Kau sudah siap bertemu dengan orang tuaku?" tanya Edward membuatku mengangkat alis. "Aku akan mengenalkanmu pada mereka. Siapa tahu kau pingsan karena gugup?"

Aku tertawa sarkastik. "Mantan istrimu yang dulu saja takut padaku. Kalau hanya sekedar dikenalkan pada orang tuamu, aku tak akan masalah."

"Ah, benar." Edward terkekeh. "Aku lupa jika kau adalah psikopat kecil yang nakal."

Aku berdecak mendengar julukan Edward. Ia bisa memilih julukan yang bagus, tapi memilih kata psikopat.

Sisa malam itu kami habiskan dengan bercengkrama, mengingat masa lalu dan menyempatkan sedikit waktu untuk berhubungan badan diam-diam tanpa membuat gaduh. Yah, memangnya apa yang bisa kulakukan jika Edward menginginkannya?

Aku sudah meyakinkan diriku untuk tinggal di sisi Edward selamanya, dan aku merasa puas pada diriku sendiri. Aku hanya terlalu overthinking sampai lupa jika aku hanya akan bahagia jika orang yang bersamaku adalah Edward.



Note:

Mau namatin cerita ini karena pengen bikin cerita baru. Twenty-one sudah melalui perjalanan panjang bung.

Sekalian mengobati rindu kalian para wanita haus smut dan nc. Dahlah, baca aja dulu, tar gue balik sama yang lebih hot panas lu semua.

Udah gue ketik sih. Gue jujur kaget sama ketikan gue yang makin dewasa (adegannya) wkwkwkkw. Dulu mah, pas nulis crudelis sama casse masih babu banget, duh amatir Miu.

Ya udah sih, ga penting karena gue emang mau bacot aja. Yang penting ini cerita pasti bakal tamat dan gue selesaiin kok.

Twenty OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang