empat

19.1K 1.7K 114
                                    

Aku kembali bekerja seperti biasa, kuliah, menjalani rutinitasku yang membosankan sepenuhnya. Tiga hari omong kosong. Pria itu tak lagi menggangguku meski sudah hampir seminggu berlalu dan aku sedikit kesal karena tak berhasil membuat pria itu kesal. Tapi, setelah kupikir-pikir, begini lebih baik dari pada dikejar-kejar Edward Drew dan harus beradu mulut dengannya. Hidupku jadi terasa tak tentram.

"Jadi, kau tidak berhasil menjadi sugar babynya Edward Drew?" tanya Mark sembari mengelap peluh di keningnya.

Ini hari rabu, yang berarti kami tak punya mata kuliah dan bisa memanfaatkan waktu untuk berolahraga di gym.

"Aku lebih suka bilang jika aku menolaknya," ujarku sambil meletakan kacamata di meja tempat menaruh minum.

Aku merenggangkan tubuhku, mengatur napas sembari mengusap keringat yang mengganggu. Mark memutar matanya malas, sementara Lucas membaringkan tubuhnya di salah satu bench untuk melakukan angkat beban. Kami bertiga memang sering kemari untuk berolahraga.

"Itu omong kosong," kata Mark. "Kau tidak secantik itu sampai bisa membuat seorang Edward Drew menyukaimu setengah mati. Lagi pula, kau cuma wanita dua puluh satu tahun yang hampir tak cocok jika disandingkan dengan seseorang sepertinya."

Aku mengabaikan ucapan Mark, memilih fokus dengan minumanku dan melirik Lucas yang masih sibuk dengan kegiatannya.

"Kau tidak tahu bagaimana sepak terjang rubah ini," kata Lucas membelaku. "Aku tak akan bilang ia pandai, tetapi ia cukup mengerti cara membuat orang penasaran padanya."

Mark berdecih sementara aku menatapnya dengan satu alis terangkat. "Kau tahu, iri itu tanda tak mampu."

"Siapa yang iri!"

Aku terkekeh, meletakan minumanku di meja dan beranjak menuju loker untuk mengambil tasku. Sun Gym tempat kami berolahraga punya kamar mandi yang bagus, sehingga aku bisa mandi dan membersihkan diri. Tak hanya itu, mereka punya shampoo dan sabun yang wangi. Aku membersihkan diriku, mengganti pakaian dan keluar dari kamar mandi dengan rambut basah.

Aku baru ingat jika kacamataku tertinggal di meja, jadi aku harus kembali mengambilnya. Penglihatanku tidak seburuk itu, tapi minus di mataku membuatku tak benar-benar bisa tahu siapa yang berada di depanku dalam jarak dua sampai tiga meter. Aku beranjak hendak pergi melewati kamar mandi ketika tubuhku diseret masuk ke dalam kamar mandi pria.

Kupikir Edward Drew sudah menyerah, tapi nyatanya ia masih mengikutiku ke mana-mana. Ia mendudukanku di atas wastafel yang kering, membuang tas dan handuk yang kupegang sembarangan. Aku mencoba mendorongnya menjauh, tetapi ia memeluk pinggangku kuat. Suara pintu yang dikunci dari luar membuatku menyadari jika aku masuk ke dalam lubang buaya.

Edward tidak nampak serapi sebelumnya. Kacamatanya menghilang entah ke mana dan ia bahkan tak memakai jas atau kemeja. Ia bertelanjang dada. Aku menyadari jika jas dan kemejanya tergantung di tempat handuk. Aku menatapnya yang nampak begitu garang.

"Sudah kuperingatkan kau," bisiknya seraya menaikan tangannya di pahaku. "Aku tak suka pemberontak."

Ia menyelipkan jemarinya di antara celana pendekku (yang sialnya kukenakan di hari ini dari sekian banyak hari) sembari mencium bibirku. Aku terkesiap ketika merasakan satu jarinya masuk ke dalam pusat tubuhku. Ia langsung menggunakan jarinya, memperlemah pertahananku masih sambil menciumi bibirku dan sesekali menyerang leherku.

Jari kakiku menekuk ketika merasakan sensasi geli ketika ia mempermainkan jarinya di pusat tubuhku. Aku tak asing dengan hal itu. Jauh sebelum Edward melakukannya, aku sudah pernah mencoba memenuhi kebutuhan seksualku. Sudah kukatakan, aku bukan wanita polos dalam drama. Aku juga masturbasi seperti orang lainnya.

Twenty OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang