sepuluh

14.4K 1.7K 154
                                    

Liburan dadakanku berakhir. Aku kembali bekerja. Edward sebenarnya sama sekali tidak mengizinkanku pergi dari apartemennya tetapi aku berhasil kabur saat ia tertidur di malam harinya. Tentunya, aku mengiriminya pesan dan memberitahu jika aku pulang ke kontrakan karena harus bekerja. Aku tidak mungkin tidak pergi kerja hanya karena Edward tidak mengizinkanku. Ayolah, memangnya dia siapa? Kami hanya tidur bersama dan ia tak punya hak melarang-larangku.

Aku masuk kerja, menjadi pusat perhatian karena beberapa staff terutama yang berjenis kelamin laki-laki memperhatikan dan menanyakan kabarku. Aku menikmati perhatian yang mereka berikan. Beberapa ada yang sampai membelikan buah dan makanan ringan, sampai-sampai konter teller dipenuhi makanan. Mark yang paling senang karena ia punya banyak cemilan.

"Kau benar-benar populer," komentar Mark sembari menggigit buah apel yang kuterima dari Kakak staff back officer, Angga. "Aku tidak mengerti apa yang mereka lihat dari dirimu."

Aku memasang wajah sok manisku, "aku cantik dan imut."

Mark mengernyit jijik, menghabiskan apelnya dan beranjak menuju konter. Aku juga beranjak menuju konter. Belum ada antrian nasabah pagi ini, jadi kami masih berleha-leha dan sedikit bersantai. Hingga melewati jam makan siang, antrian masih sepi dan tak terlalu ramai.

"Hei, apa di lehermu?" tanya Mark membuatku meraih cermin kecil yang terletak di balik komputerku.

Hickey dari Edward masih tersisa. Aku menggerutu kecil. Lain kali, aku akan memperingatkan Edward untuk hati-hati. "Bekas bercinta dengan suami orang," celetukku asal.

"Suami orang tidak mau menyentuh orang gila seperti dirimu," ketus Mark.

Aku menatapnya sinis, "kau kira kau lebih baik dariku ya?"

Mark hendak membalas ketika ada nasabah yang datang. Aku langsung berdiri, memasang senyum paling manis karena yang datang adalah pria tampan. Pria itu awalnya nampak kebingungan ingin datang ke konter siapa, tetapi akhirnya memutuskan untuk datang ke arahku. Aku bisa mendengar decihan Mark yang kuabaikan.

"Selamat siang dengan Miu, bisa dibantu Pak?"

Pria itu memasang senyum ramah, mengeluarkan beberapa lembar kertas dan meletakannya di meja konterku. "Apa pembayaran pajak masih bisa di jam ini?"

"Tentu bisa," kataku sembari meraih kertasnya dan menghitung total yang harus ia setorkan. "Dengan Bapak siapa?"

"Damian."

Aku menyebutkan sejumlah nilai yang harus ia setorkan, menghitung uang yang ia berikan sambil sesekali mengajaknya bicara.

"Bapak bekerja di dekat sini? Saya baru pertama kali melihat Bapak."

Ia tersenyum, menatapku dan mengangguk.

"Staffku tidak masuk. Biasanya ia yang mengurus ini."

Aku mengangguk paham. "Tapi, harusnya Bapak yang lebih sering ke sini."

"Kenapa?"

"Cuci mata," jawabku sambil tersenyum genit.

Mark melirikku jijik, "abaikan saja dia, Pak. Dia sedikit sakit jiwa."

Damian tertawa kecil. Aku mendengus, melirik Mark sebal, memutuskan untuk mengabaikannya dan kembali fokus pada Damian. Aku kembali mengobrol dengannya sembari menginput pembayaran pajaknya. Ia cukup lucu dan menyenangkan jika diajak mengobrol, jadi aku sedikit menggodanya dengan gaya sok manis.

"Sudah selesai Pak, ada lagi yang bisa dibantu?" tanyaku sembari memberikan bukti lembaran pajaknya.

"Bisa dibantu dengan nomor ponselmu?" balasnya menggodaku, membuatku tertawa tapi tak membalas.

Twenty OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang