lima belas

13.2K 1.6K 104
                                    

Aku terbangun pukul sebelas siang dengan keadaan kacau balau dan telanjang bagai bayi baru lahir. Kamar Edward masih gelap karena ia membiarkan tirainya tertutup. Pria itu tak ada di kamar. Mungkin di kamar mandi. Aku beranjak menuju kamar mandi, tak menemukan batang hidungnya.

Kuputuskan untuk mandi, membersihkan diri dan berganti pakaian dengan kaus kebesaran Edward yang ujungnya menjuntai hampir menutup separuh pahaku. Kemudian, aku membereskan kamar Edward dan membuka tirai.

Aku menyentuh pipiku yang syukurnya tidak terasa sakit. Untunglah wanita jelek itu tak meninggalkan bekas tamparan karena kalau iya, aku sendiri yang akan mencekik lehernya dengan kedua tanganku sampai ia mati. Edward pasti mau mengeluarkan uang yang banyak supaya aku tak masuk penjara jika aku membunuh mantan istri sialannya itu. Aku mengikat asal rambutku, keluar dari kamar Edward dan mendapati pria itu sedang mengurusi akuarium miliknya.

Edward memelihara ikan hias dan punya akuarium besar di ruang tamunya. Aku tak pernah benar-benar mempedulikan akuarium itu saat aku pertama kali datang karena aku tak tertarik pada ikan. Punggung Edward yang menghadapku nampak begitu menggoda. Aku menemukan bekas cakaran yang memerah dan sedikit luka di sana. Itu ulahku. Ia membuatku tak tertidur sampai dinihari, terus membuatku bangun supaya bisa melayaninya dan ia sama sekali tak menahan diri. Karena ulahnya, beberapa bagian di tubuhku terasa sakit.

Edward berbalik menatapku ketika ia menyadari aku sudah terbangun. Mungkin ia melihat bayanganku dari kaca akuariumnya. Ia menyeringai senang begitu melihatku yang berdiri beberapa langkah di belakangnya.

"Aku membuatkanmu sarapan. Sepertinya sudah dingin, tapi makanlah dulu," katanya. "Sebentar lagi sudah waktunya makan siang. Kita akan pergi makan siang di luar."

Aku menatapnya datar, tanpa mengucapkan apapun beralih menuju ruang makannya. Aku tak punya sesuatu untuk dikatakan dan tidak berniat bicara saat ini. Aku menghabiskan sarapan yang dibuat Edward, roti isi dan susu, kemudian membereskan peralatan makan yang kugunakan. Edward tiba-tiba saja memelukku saat aku masih sibuk mencuci piring.

"Kau masih marah?" tanyanya sembari mengecup leherku.

Aku menggeliat geli. "Jauh-jauh dariku."

"Kau masih marah." Ia menyimpulkan. "Soal perceraianku lagi atau karena wanita itu menamparmu?"

"Semuanya." Aku membasuh tanganku, mengeringkannya dan mendorong Edward menjauh. "Minggir. Aku mau pergi."

Alih-alih melepaskanku, Edward memelukku sekali lagi, menyandarkan kepalanya di bahuku sementara tangannya menepuk-nepuk bokongku. "Jangan terus-terusan marah. Aku tidak suka melihatmu marah."

"Memangnya kau pikir aku suka marah-marah?" ketusku kesal.

Edward terkekeh di bahuku, meremas bokongku pelan sebelum melepaskan pelukannya. "Aku minta maaf. Semuanya di luar kendaliku. Sekarang, kita bisa bebas berkencan."

"Kau benar-benar membuatku terdengar seperti perebut suami orang," komentarku sambil menatapnya sinis. "Aku tidak memaafkan orang semudah itu, aku ini pendendam."

"Kau yakin? Tapi kau rindu padaku, bukan?" Ia menatapku sambil tersenyum. "Kalau tidak salah dengar, semalaman kau terus menjeritkan namaku dan memohon supaya aku jangan berhenti menyetubuhimu."

"Hei!" Aku melotot menatap Edward, membuatnya tertawa terbahak. Sialan. "Baik, aku merindukanmu, tapi tidak berarti aku memaafkanmu."

"Lalu apa yang harus kulakukan supaya kau memaafkanku?" tanyanya sambil menyeringai, kelihatan licik. "Haruskah kita bercinta lagi? Aku belum pernah mencoba bercinta di sini."

"Kau gila?" decihku. "Memangnya kau tidak puas semalaman?"

Edward kembali menyeringai, "manusia memang tidak pernah puas, ingat?"

Twenty OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang