empat puluh satu

12.4K 1.1K 44
                                    

"Kau tak banyak mengubah interior rumahmu," komentarku sembari membongkar koperku.

Edward membawaku dan Elliot kembali ke rumahnya. Ayah dan Ibu tak mempermasalahkan hal ini. Mereka hanya berkata akan datang berkunjung saat sempat. Jeffrey adalah satu-satunya orang yang repot bolak-balik mengurus kepindahan Elliot dari sekolah lamanya.

Sementara aku repot mengurusi kebutuhan sehari-hari Elliot dan kebutuhan biologis Edward yang tidak ada habisnya. Pria itu jadi makin agresif padahal pernikahan kami juga belum benar-benar diurus.

"Apa aku harus mengubahnya?" tanya Edward, membantuku merapikan pakaian.

"Tidak perlu. Aku juga rindu melihat rumah ini."

Edward tersenyum, menarik pinggangku kemudian mencium bibirku sekilas. "Aku lebih rindu padamu."

Aku mendorong Edward menjauh sebelum ciumannya merambat ke hal yang tidak-tidak. Pakaianku belum selesai dirapikan dan aku masih lelah karena perjalanan jauh. Namun, Edward memasang wajah sok imutnya. Ia mendekat padaku dengan wajah mirip anak kecil tak diberi permen.

"Daripada menggangguku, bagaimana kalau kau mengawasi Elliot?" tanyaku segera menghindarinya dan membereskan pakaianku.

"Ada babysitter yang menemaninya, kau lupa?" balas Edward dengan gaya sok manis.

Aku memutar bola mata. "Tidak. Aku tidak mau hamil di luar nikah sekali lagi. Kau bahkan belum mengenalkanku pada orang tuamu! Bagaimana jika mereka menolakku?"

"Mereka tidak akan menolak, aku janji," tekad Edward membuatku berdecak.

"Apa yang mau kau janjikan? Apa kau akan mem-blackmail mereka seperti yang dulu kau lakukan padaku?" Aku menatap Edward dengan mata menyipit kesal. "Kalau kau tak punya kerjaan, lakukan hal lain sana! Aku sibuk."

"Miu!" rengeknya membuatku mendelik.

"Dia bertingkah dewasa di hadapan semua orang, tetapi bertingkah memalukan pada Ibumu."

Aku langsung menoleh ke arah pintu kamar. Seorang wanita awal enam puluhan menatap Edward sinis dengan wajah masam. Di belakangnya, ada pria yang lebih tua (sekitar pertengahan enam puluhan) menggendong Elliot sambil tertawa. Aku bukan idiot, jadi aku langsung mengenali mereka sebagai orang tua Edward.

Tubuhku membeku sesaat. Aku memang mempersiapkan diri untuk dikenalkan pada orang tua Edward, tetapi bukan dengan cara begini. Tanganku yang masih memegang pakaianku tak bisa digerakan. Jelas, kemunculan mereka langsung membuat kerja otakku melambat.

"Aku tidak ingat mengundang Ayah dan Ibu kemari," kata Edward datar.

Mendengar ucapan Edward, otakku kembali bekerja. Aku memukul lengannya kuat-kuat dengan mata melotot kesal. Pria ini! Ia bersikap sangat sopan dan baik di depan orang tuaku, tapi kurang ajar pada orang tuanya sendiri.

"Perhatikan cara bicaramu yang menyebalkan itu!" desisku mendelik padanya. Aku tersenyum formal pada kedua orang tua Edward. "Selamat siang."

Ibu Edward menatapku dari atas ke bawah, menatap Edward masam dan mendekat padanya. Aku mengamati pergerakannya dengan hati cemas. Apa ia akan memukulku-

Plak

Oh, ia tidak memukulku, tetapi memukul bahu Edward sekitar lima kali. Edward langsung berjengit dan melangkah mundur.

"Kenapa aku dipukul?" tanyanya tak terima.

"Kau tanya kenapa? Kau tidak lihat betapa mudanya wanita ini, dan kau membuatnya mengandung anakmu sendirian dan membesarkannya sampai seumur ini? Kupikir, kau sudah belajar dari Callia!" omelnya membuatku melirik Edward.

"Aku bukannya melepas tanggung jawab, dia yang melarikan diri- aw!" Ucapan Edward terhenti karena Ibunya kembali memukuli lengannya.

"Tidak peduli apapun alasannya, kau harusnya menikahinya lebih dulu baru membawanya pulang, bukan sebaliknya!" geramnya lagi.

Aku menarik sudut bibirku puas. Aku bukannya dendam pada Edward, tapi yang Ibunya katakan memang ada benarnya. Ia dulu memaksaku menjadi sugar babynya, menggunakan segala cara supaya bisa meniduriku alih-alih bersikap baik dan mendekatiku dengan cara yang normal.

Aku sama sekali tak merasa kasihan melihat Edward yang meringis kesakitan dipukul Ibunya. Ia pantas mendapatkannya.

Ibu Edward menarik napas panjang, menatap ke arahku sambil tersenyum. "Kau pasti mengalami banyak kesulitan kan, Miu?"

Aku menatapnya kaget. Bagaimana ia tahu namaku?

"Jangan kaget begitu, tentu saja aku tahu namamu," katanya sambil tersenyum manis. "Uang selalu membantu dalam urusan background check."

Ah.

Kenapa ucapannya membuatku teringat pada seseorang yang menggunakan uang untuk memiliki nomor ponselku dulu?

Aku melirik Edward. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Aku akhirnya hanya tersenyum, mencoba memaklumi. Keluarga Edward Drew jelas terkenal kaya sejak dulu, jadi aku tak akan heran jika mereka tahu nama kakek buyutku.

Ibu Edward mengulurkan tangannya, meraih tanganku dan menggenggamnya lembut. "Terimakasih sudah merawat cucu kami, dan terimakasih sudah bersedia menikahi putra kami."

"Aku juga berterimakasih karena Bibi mau menerimaku," kataku sopan.

"Bukankah kau harusnya memanggilku Ibu? Kalian akan menikah minggu depan."

Aku tersenyum, tetapi kemudian menyadari keanehan pada kalimatnya. "Minggu depan?"

"Ibu sudah siapkan pernikahan kalian sejak Edward menyusulmu. Yang kurang hanya gaun pernikahan kalian."

Aku melongo. Ibu Edward bahkan jauh lebih ekstrim dari Edward soal urusan memaksakan kehendak. Pantas saja putranya begini. Aku tak banyak berkata-kata. Ia sudah mempersiapkan pernikahan kami, walau aku sendiri tak tahu seperti apa persiapannya.

"Istriku memang selalu seperti ini." Ayah Edward tersenyum padaku.

Walau usianya sudah lewat enam puluh, aku masih bisa melihat ulas-ulas ketampanan yang ia wariskan pada Edward. Ucapanku tentang keluarga Edward yang punya gen super sepertinya memang benar adanya. Aku bersyukur karena anak-anakku kelak akan tumbuh menjadi tampan dan cantik.

Yah, aku belum punya putri saat ini, tapi Edward sudah merencanakannya. Aku bisa berkata apa? Kupikir, aku menjadi lebih sabar dan dewasa karena bertambah usia dan sudah terbiasa dengan tingkah Edward. Dan selanjutnya, aku juga harus memahami tingkah kedua orang tuanya, terutama Ibunya Edward.

"Tidak apa-apa. Terimakasih sudah bersikap baik padaku dan juga Elliot."

"Kau ini bicara apa? Tentu saja kami harus baik pada calon keluarga kami."

Aku hanya tersenyum menanggapi. Selanjutnya, kami keluar dari kamar Edward dan berbicara di ruang tamu. Pelayan rumah Edward menyiapkan makan malam dan kami makan malam bersama.

Kedua orang tua Edward memutuskan untuk kembali ke kediaman mereka. Sementara, aku menemani Elliot hingga jam tidurnya. Edward juga selalu menempel bersama kami.

"Ibu?" Elliot menatapku dengan wajah polosnya.

"Eum?" Aku mengelus wajah Elliot lembut, tersenyum. "Ada apa?"

"Mulai sekalang, kita semua akan telus belsama kan? Aku, Ibu dan Ayah?"

Aku terkekeh, mengecup kening Elliot sayang. "Tentu. Kau khawatir jika kita akan tinggal terpisah lagi?"

"Aku tidak mau belpisah dali Ayah ataupun Ibu."

Edward meraih Elliot dalam pelukannya. "Jangan khawatir. Ayah akan selalu bersama dengan Elliot dan Ibu untuk melindungi kalian."

Aku mendekat, ikut masuk dalam pelukan Edward seraya mencium pipi Elliot lagi. "Kau dengar Ayah? Kita akan baik-baik saja."

Elliot mengangguk, memeluk kami berdua dan mengecup pipi kami secara bergantian. "Aku sayang Ayah dan Ibu."

Aku dan Edward tertawa, membisikan kasih sayang kami pada Elliot sembari memeluknya dan meninabobokannya. Malam itu, kami tidur bertiga. Begitu pula malam-malam berikutnya hingga Elliot beranjak dewasa nanti.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 17, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Twenty OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang