tujuh belas

11.6K 1.6K 102
                                    

"Aku masih tak paham." Mark menatapku yang meninju samsak dengan wajah tak mengerti. "Apa sih yang dilihat Edward Drew darimu?"

Pertanyaan yang sama yang diucapkan Mark sudah kudengar hampir seratus kali dari mulutnya. Sejak hari Senin, ia terus mengucapkan hal yang sama, menanyakan seputar Edward dan menatapku tak mengerti. Seisi kantorku masih sama hebohnya. Aku hampir gila setiap kali datang bekerja. Semua orang hampir menggodaku tentang Edward Drew. Beberapa yang jahil menanyakan tanggal pernikahan dan menanyakan hal-hal yang sudah kami lakukan. Tipikal rekan kerja yang suka bergosip jika melihat satu kawannya mendapat jackpot. Seperti yang kualami saat ini.

Aku menghela napas, meninju samsak sekali lagi untuk meluapkan kejengkelanku selama dua hari belakangan. Aku terus memasang senyum palsuku setiap kali mulut-mulut jahil mereka menanyai tentang Edward, seolah menarik sekali mengetahui urusan orang. Hari Rabu ini, tidak seperti biasanya, aku, Lucas dan Mark memilih untuk berlatih tinju di gedung lain. Yang jelas gedung ini bukan milik Edward dan aku tidak akan bertemu dengannya di sini.

"Berhentilah menanyakan hal yang sama. Kau tidak takut melihatnya yang sedang mengenakan sarung tinju?" tanya Lucas sembari mengatur napas, mengelap keringatnya dan menggerak-gerakan tubuhnya untuk mendinginkan otot-otot. "Matamu bisa saja membengkak atau hidungmu akan berdarah jika ia melayangkan satu pukulan ke wajahmu."

Aku memberi satu pukulan keras ke samsak, mengakhiri latihanku dan menatap Lucas dan Mark dengan napas terengah-engah. "Sebaiknya, kita berhenti dari gym dan berlatih tinju saja. Perasaanku jadi baik setelah memukul sesuatu."

"Bilang saja kau menghindari pacarmu," kata Mark. "Ia kan pemilik gedung gym tempat kita olahraga juga."

"Dia bukan pacarku. Dan aku memang berusaha tidak banyak berinteraksi dengannya karena ia belum memberikan satu gedung untukku. Paling tidak, ia harus memberikan tanah supaya aku cepat kaya," balasku sambil mengelap keringat.

"Oh, aku lupa. Ia bukan pacarmu tapi sugar daddymu," celetuk Mark. "Dan tentu saja ia tak akan memberimu sebuah gedung semudah itu. Kalau kau sudah kaya, kau pasti akan kabur. Apalagi, kau punya reksadana, saham dan dana pensiun yang ia investasikan atas namamu."

"Tidak usah gedung pun kau sudah kaya sekarang," timpal Lucas. "Nikahi saja dia. Jangan sampai kau lepaskan pria itu."

"Aku belum niat menikah," kataku ringkas.

"Ah, aku iri sekali. Apa tidak ada tante-tante seksi yang menyukaiku? Aku juga mau jadi sugar baby kalau begini," keluh Mark membuatku dan Lucas berdecih.

"Bagaimana dengan mantan istrinya? Kudengar dari Jeno, ia melabrakmu." Lucas menatapku, nampak agak khawatir.

"Kau lupa siapa aku? Wanita itu bertingkah seperti brengsek gila dan menamparku. Hampir kubunuh dia kalau Edward tidak datang," ujarku.

"Ah, ngomong-ngomong soal Edward, sugar daddymu itu memberi kami rolex," kata Mark membuatku menatapnya kaget.

"Apa?"

"Benar juga. Aku juga kaget waktu Jeno membawakannya untukku, Mark dan Harley." Lucas menatapku dengan senyum konyolnya. "Pria itu benar-benar kaya dan ia sungguhan menyukaimu."

Aku menarik napas panjang. "Lain kali jangan kaget kalau ia membelikan kalian mobil."

"Wah, aku akan menerima dengan senang hati," cetus Mark.

Aku menatapnya sinis, meneguk air minumku dan beranjak untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Setelahnya, kami kembali ke tempat masing-masing. Hari masih pukul tujuh ketika aku tiba di kontrakan. Aku terperangah ketika melihat Edward Drew yang berdiri di teras kontrakanku bersama dengan Jeffrey dengan wajah gusar.

Twenty OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang