sembilan

15K 1.6K 175
                                    

"Badanmu masih sakit?" tanya Edward ketika aku baru bangun tidur.

Awalnya kukira ia pergi bekerja kemarin. Nyatanya, ia membatalkan jadwalnya dan memilih bersama denganku selama akhir pekan. Ia membuatku merasa sedikit tersentuh. Tak ada banyak hal yang kulakukan dengannya. Edward juga cukup paham untuk tidak melakukan yang aneh-aneh karena kondisiku tak sekuat itu. Ia menemaniku tidur siang, membuatkan makan malam dan terus memanjakanku seolah aku ini anak kecil sampai aku tertidur lalu bangun lagi keesokan harinya.

Aku mengusap mataku, mendudukan diri di ranjang dan menggeleng. "Tapi perutku sakit."

Edward langsung sigap bangun dan menyentuh perutku begitu aku selesai menjawab pertanyaannya. "Sangat sakit?"

"Tidak juga," jawabku lagi. Aku melirik jam, mengerjap ketika melihat tanggal di samping jam dan langsung berlari ke kamar mandi.

"Ada apa?" tanya Edward berusaha menyusulku.

Aku mengunci pintu, membiarkan Edward mengetuk-ngetuk pintu beberapa kali dengan cemas dari luar. Aku memeriksa celana dalamku, mendapati jika menstruasiku dimulai. Syukurlah. Edward sama sekali tak memakai pengaman selama kami berhubungan badan. Aku sedikit cemas akan hal itu, tapi syukurlah. Aku akan hati-hati mulai sekarang.

"Miu, buka pintunya! Jangan buat aku khawatir!"

Aku mengerutkan bibir ketika mendengar suara Edward. Ia berlebihan sekali. Aku membuka pintu, melongokan kepalaku sedikit menatap wajah Edward yang berkerut-kerut nampak cemas.

"Apa yang terjadi?" tanyanya mencoba menerobos masuk, tetapi aku menahan pintu kamar mandi.

"Kau punya pembalut?" tanyaku membuatnya menatapku heran. "Aku menstruasi."

Ia menghela napas, nampak lega juga jengkel. "Kau membuatku cemas."

"Maaf. Aku kan tak mau membuat sepraimu kotor lagi," kataku pelan. Edward menggeleng pelan.

"Tunggulah sebentar. Aku akan membelikan pembalut."

Aku mengangguk, membiarkan Edward beranjak membeli pembalut. Sementara itu, aku menunggu di kamar mandi. Sekitar dua puluh menit, ia kembali dan membawakan pembalut untukku. Aku segera menyelesaikan urusanku, keluar dari kamar mandi dan langsung menghempaskan diri di ranjang Edward. Perutku sakit. Aku meringkuk dengan wajah muram.

Edward mendekatiku yang meringkuk menahan sakit, mengelus rambutku kemudian berbaring di sisiku. Ia meraih tubuhku, memelukku erat dan sesekali mengecup keningku.

"Mau makanan manis? Aku beli es krim dan cokelat," katanya lembut.

Aku menggeleng. Perutku terlalu sakit untuk membuatku memikirkan makanan manis. Edward mengeratkan pelukannya, mengusap-usap punggungku lembut sekedar membuatku merasa nyaman. Pria ini. Sepertinya dia sudah sering berurusan dengan wanita.

"Kau pasti sudah membawa banyak wanita ke kamarmu," sindirku seraya menatapnya sedatar mungkin.

Ia melirikku sekilas, menyeringai kesenangan. "Cemburu?"

"Tidak. Aku tak punya tenaga untuk cemburu," jawabku sekenanya.

Edward terkekeh, mencium wajahku beberapa kali sebelum kembali mengelus punggungku. Aku menatapnya lekat. Tak ada banyak hal yang kuketahui tentangnya meski kami sudah sampai tahap tidur satu ranjang. Sudah kubilang kan jika ia memblokir berita-berita tentangnya? Aku penasaran.

"Berapa umurmu?" tanyaku membuatnya menatapku.

"Tahun ini 32," jawabnya membuatku berkedip sejenak, memproses jarak usia antara kami. Sebelas tahun. Aku mengerjap.

Twenty OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang