dua puluh

10.6K 1.4K 71
                                    

"Apa yang kau bicarakan dengan mantan istrinya Edward?"

Lagi-lagi, Mark kembali mengulang pertanyaan yang sama dan aku membalasnya dengan reaksi yang sama. Mengedikan bahu sekenanya dan berlalu. Mark kali ini mengikutiku, menemaniku menunggui Edward karena khawatir aku akan diserang Callia. Aku meragukan hal itu. Wanita itu langsung gemetaran dan berkeringat dingin ketika ia menatapku lagi setelah keluar dari toilet.

"Ayolah!" gerutu Mark. "Apa yang ia lakukan? Kenapa tanganmu sampai berdarah-darah begitu?"

Berdarah-darah adalah kata yang berlebihan. Nyatanya, pergelangan tanganku hanya lecet-lecet dipenuhi bekas cakaran dan hanya mengeluarkan sedikit darah yang akan sembuh jika diobati. Aku mengabaikan Mark, memutar bola mataku malas sembari melirik pergelangan tangan kananku yang dipenuhi bekas cakaran. Kuku jalang sialan itu tajam juga. Aku harus membersihkan lukanya lagi jika sudah di rumah nanti dan harus menyembunyikannya dari Edward sebisa mungkin. Aku menatap Mark yang nampak kesal.

"Jangan beritahu Edward," kataku singkat membuat Mark mengerjap.

"Apa? Tentang apa?" tanyanya.

"Tentang semua yang terjadi hari ini," jawabku sembari menyembunyikan lukaku di balik jas. Brengsek, perih sekali. "Edward tak akan suka mendengar ini."

"Kau ingin aku tak memberitahu Edward? Kau gila! Kau bahkan tidak memberitahuku apa yang kalian bicarakan di toilet!" omel Mark dengan nada mulai meninggi.

Aku menarik napas panjang, menatap Mark agak kesal dan akhirnya buka mulut. "Aku mengancam wanita itu."

Mark terdiam begitu mendengar ucapanku. Ia mengerutkan kening dan menatapku tak percaya. Melihatnya yang diam dan membiarkanku untuk bicara, aku kembali melanjutkan. "Kukatakan padanya supaya jangan memprovokasiku kalau tidak mau mati saat itu juga. Aku bawa cutter dan sudah sangat siap menusuk pembuluh darah di lehernya."

"Kau sudah sinting," komentar Mark membuatku menyeringai.

"Aku belum selesai. Kucekik dia sampai tak bisa bernapas dan ia melawan dengan mencakarku. Makanya aku terluka," kataku puas mengingat kejadian tadi. "Kau harus lihat wajah ketakutannya."

Mark langsung bergidik ketika melihat senyum psikopat yang muncul di wajahku. "Kau tahu, sekarang aku merasa takut padamu. Berapa banyak kepribadian yang kau sembunyikan di balik wajah sok polosmu itu? Kau membuatku ngeri!"

"Tidak banyak," kataku sambil terkekeh. "Kau tahu kan, tentang tiga kepribadian dasar manusia? Yang serius, yang lucu dan yang tak akan ingin kau lihat. Itulah kepribadianku dan kepribadianmu juga."

"Aku hanya punya satu kepribadian. Kau muka dua!" Mark menunjuk wajahku dengan wajah ngeri. "Bahkan, muka dua pun terlalu bagus untukmu! Kau psikopat mengerikan! Aku tidak akan mau berurusan denganmu."

Aku tertawa. "Jangan takut. Ini tidak seperti aku sudah gila dan mencoba membunuh siapapun yang dekat denganku. Aku hanya berbahaya bagi orang-orang yang kubenci."

"Aku tahu, makanya aku berusaha berteman denganmu semenyebalkan apapun dirimu," kata Mark mendumal. "Dan jika lain kali wanita itu datang, jangan terima dia di kontermu. Aku yang akan menanganinya."

"Kan sudah kubilang supaya jangan mengkhawatirkanku," kataku malas.

"Aku bukannya mengkhawatirkanmu, tapi wanita itu! Bagaimana kalau kau mendadak lepas kendali dan menusuk matanya dengan pena? Ada begitu banyak benda tajam di kontermu dibanding konter teller lainnya. Sekarang aku paham kenapa kau suka menyimpan benda-benda tajam itu!" oceh Mark sambil menatapku sinis. "Bahkan benda-benda yang harusnya tak bahaya pun bisa menjadi senjata jika sudah di tanganmu."

Twenty OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang