tiga puluh

8.6K 1.6K 185
                                    

Kandunganku memasuki usia kedelapan saat kelima teman-temanku wisuda. Aku sedikit kesal karena tak jadi wisuda bersama mereka. Harusnya, aku juga sudah wisuda sekarang.

Karena perutku sudah membesar dan aku kesulitan bergerak, aku lebih banyak duduk di kursi halaman depan sambil menatap bunga-bunga yang Ibu tanam. Harusnya aku tak keluar ke teras mengingat aku sedang hamil tanpa suami dan akan jadi sasaran empuk para tetangga, tetapi aku memutuskan untuk tak peduli. Aku tak bisa selamanya bersembunyi. Saat anak ini lahir juga, aku tak mau menyembunyikannya seolah ia aib.

Yang membuat aib adalah aku, bukan anak ini. Ia bukan anak yang kusesalkan walau aku tak menyangka akan memilikinya. Paling tidak, ia akan jadi anak yang menemaniku sampai aku tua. Aku tahu jika aku berpikir terlalu jauh, tetapi aku juga tak bisa mengharapkan ada pria yang akan melamarku jika aku punya anak.

Dan soal Edward, aku sudah memutuskan untuk tidak memberitahunya. Mark tentu sangat tidak menyetujui keputusanku, tetapi aku berhasil memaksanya supaya tetap tutup mulut. Aku juga berhasil meyakinkan empat orang lainnya agar jangan mengatakan apapun soal aku pada Edward sekalipun ia memaksa mereka memberitahu. Aku sudah mantap menjadi ibu tunggal. Lagi pula, niat awalku sejak dulu adalah tidak mau menikah.

"Hei bumil!"

Suara Lucas membuatku menatap ke arahnya. Di belakangnya, ada Mark, Jeno, Jamie dan Harley yang masih mengenakan pakaian wisuda lengkap dengan toga. Mereka tersenyum cerah walau kantung mata menebal.

"Kenapa kemari pakai toga? Mau pamer sudah wisuda?" ketusku masam.

Mereka masuk ke terasku dengan wajah malas. Jamie memberiku sebuket bunga dengan wajah kesal. "Kami kemari karena ingin menemuimu! Hargailah usaha kami!" omelnya. "Suruhan Edward mengikuti kami sejak tadi sehingga kami harus memutar, berkelit dan hampir tersesat. Untungnya ia tak berhasil menangkap kami!"

"Kenapa? Apa ia menyukai salah satu dari kalian?" celetukku membuat Mark berdecak.

"Tentu saja karena ia mencarimu, kau bo-" Mark menghentikan ucapannya. "Aku tak bisa mengumpat karena anakmu akan dengar! Ia mencarimu selama ini karena kau menghilang, lalu kami juga jadi sasaran dan sekarang orang suruhannya terus mengikuti kami semua!"

"Kau harus bersyukur karena Lucas cukup kaya untuk membeli beberapa mobil yang mirip dan menyewa beberapa aktor yang mirip kami untuk memecah fokus suruhannya," ketus Jeno. "Dan dari pada kita bahas soal itu, bagaimana kalau kita berfoto? Kami kemari supaya bisa foto denganmu!"

"Sekalian pamer!" sambar Harley membuatku melotot padanya.

"Ia sedang hamil, jangan buat ia mengumpat!" tegur Lucas lelah. "Ayo cepat foto supaya aku bisa melepas toga ini!"

Harley mengeluarkan kameranya, menggunakan kursi untuk memotret kami selama beberapa kali sampai Ibuku datang. Ia tadi berpamitan padaku ingin ke pasar untuk membeli perlengkapan rumah. Wajahnya langsung tersenyum ketika ia melihat teman-temanku.

"Kalian semua sudah lulus?" tanyanya menyapa membuat mereka semua mengangguk. Ibu tersenyum lebar. "Benarkah? Ibu harus memasak untuk merayakan wisuda kalian!"

"Kenapa harus memasak? Mereka kan bisa beli-"

Ibu mendelik padaku. "Bersikap baiklah pada temanmu! Mereka yang sering mengunjungimu selama ini! Lagi pula, kenapa tidak kau suruh mereka masuk? Ayo, semuanya masuk. Ibu akan masakan sesuatu."

Mereka berlima langsung kegirangan mendengar ucapan Ibu. Mereka jadi dekat karena sering berkunjung dan membantu Ibu, jadi Ibu juga menganggap mereka seperti saudaraku. Aku sih, tidak sudi punya saudara sejenis mereka.

Aku menggerutu pelan, perlahan bangkit dari kursi dengan di bantu oleh Lucas. Kami beranjak masuk ke ruang tamu. Jeno dan Jamie kompak membantu Ibu memasak, Harley memotret mereka, Mark juga membantu mencuci piring, sementara Lucas terus menatapku seolah ia punya sesuatu untuk dikatakan.

Twenty OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang