delapan belas

11.5K 1.5K 36
                                    

"Sesuatu terjadi?" tanya Mark ketika melihatku berdiri di hadapannya.

Ia kebingungan melihatku yang diantar dengan mobil dan dijemput dengan mobil. Lalu, melihatku yang datang ke kampus dengan kembali diantar-jemput juga semakin membuatnya keheranan. Kupikir, ancaman Callia pada Edward cukup serius sehingga Edward menjadi overprotektif begini. Walau begitu, aku masih penasaran dengan apa yang wanita itu katakan sampai-sampai Edward sepanik ini.

"Mantan istri Edward berniat mencelakaiku dan Edward langsung senewen soal itu." Aku melangkahkan kakiku menuju kelas, diikuti Mark yang berjalan berdampingan bersamaku. "Walau aku tak yakin ancamannya serius."

"Sebenarnya, ancamannya lumayan serius," kata Mark membuatku menatapnya. "Aku membuka paket misterius yang dikirimkan untukmu. Isinya bangkai tikus yang sudah membusuk. Kubuang karena kupikir itu omong kosong. Aku mengerti sekarang."

"Kau menerima paket itu?" tanyaku terkejut.

Mark mengangguk. "Dan ada surat juga." Ia mengeluarkan surat tanpa amplop.

Aku membukanya, mendapati hanya ada sebaris kalimat di kertas itu, kemungkinan ditulis dengan darah tikus. Aku akan membalasmu. Begitu bunyinya. Aku mengernyitkan hidung jijik, membuang surat itu dan bergegas mencuci tanganku.

"Wanita sial itu membuatku ingin membunuhnya," kataku sembari menatap Mark yang berdiri di depan toilet wanita. "Menurutmu, kutemui dan kubunuh saja dia?"

"Jangan gila," balas Mark dengan wajah datar. "Wanita itu sudah kehilangan akal sehatnya. Kau bisa saja mati muda karena ulahnya."

Aku mendengus, "benar. Ia memang sudah kehilangan akal sehatnya dengan membuatku jengkel dan mencoba mengancamku." Aku mengeringkan tanganku, keluar dari toilet dan menghampiri Mark. "Kita lihat saja siapa yang mati duluan, aku atau jalang itu."

"Kau tahu, aku merasa sedang mengkhawatirkan hal yang tak perlu. Kau cukup kuat dan keras kepala untuk menghajar wanita itu sendirian, tetapi bagaimana kalau ia punya senjata?"

Aku hendak menjawab ketika melihat sesosok pria bersembunyi di balik pagar hijau yang membatasi koridor dengan lapangan rumput. "Hei, siapa kau!"

Sosok pria itu melonjak, berlari pontang-panting begitu mendengar seruanku. Aku berlari mengejarnya, diikuti oleh Mark. Namun, pria itu menghilang secepat angin berhembus. Aku menatap Mark yang berhenti di sisiku.

"Kau lihat wajahnya?" tanyaku pada Mark yang dibalas gelengan. "Sial. Pasti dia dikirim oleh Callia sialan itu!"

"Kita belum tahu kebenarannya, tapi terlepas dari itu, kau harus tahu kau dalam bahaya," ujar Mark serius. "Jangan ke manapun sendirian. Ajak Edward bersamamu. Jika tidak, telepon salah satu dari kami."

Aku mendengus, merasa tak puas karena tak berhasil menangkap pria tak dikenal itu. Yang lebih membuatku kesal, aku tak bisa melihat wajahnya dan Mark juga tak mengenalinya.

"Kita ke kelas saja," kata Mark sambil menarikku mengikutinya.

Aku menarik napas panjang, menahan kesal dan masuk ke kelas. Sepanjang pelajaran, aku sama sekali tak fokus. Pria itu menggangguku. Aku ingin tahu apakah dia benar-benar suruhan Callia atau aku saja yang berprasangka buruk padanya. Namun, mengingat jalang itu mengirim surat ancaman pada Edward dan juga mengirimiku paket berisi bangkai pengerat yang untungnya dibuka oleh Mark, aku akan berburuk sangka padanya.

Usai mata kuliah berakhir, aku keluar dari kelas duluan bersama Mark dengan harapan bisa bertemu lagi dengan pria sialan itu dan aku akan menghajarnya kalau sampai tertangkap. Sayangnya, aku tak melihat tanda-tanda keberadaannya sampai mobil Edward muncul. Mark langsung menyerobotku, berbicara serius pada Edward dan mengadu tentang kejadian tadi.

"Seseorang mengikutinya," kata Mark. "Aku tak tahu apa itu suruhan mantan istrimu atau ada orang lain yang terobsesi padanya."

"Kau tahu tentang itu?" tanya Edward terkejut.

"Miu memberitahu. Aku juga menerima paket menjijikan untuk Miu dan surat ancaman juga." Mark menampakan wajah paling serius yang pernah kulihat. "Mantan istrimu mungkin berniat sangat buruk."

"Jangan berlebihan." Aku mendorong Mark menyingkir, kemudian masuk ke mobil. "Pulang sana. Aku juga sudah dijemput."

Mark berdecih, meninggalkanku menuju motornya. Edward melajukan mobilnya, membisu tanpa berniat buka suara. Aku bisa melihat raut wajah Edward yang berubah menjadi tak senang dan amat jengkel usai mendengar pengaduan Mark. Ia membawaku pulang dengan suasana hati tak baik setelahnya.

"Callia benar-benar menguji kemurahan hatiku," gumam Edward membuatku meliriknya. "Mengirim seorang penguntit dan paket menjijikan untukmu merupakan tindakan yang keterlaluan."

"Jangan khawatir. Akan kubuat pria dan jalang aneh itu menjadi serpihan debu," kataku santai. "Mereka akan memohon kematiannya sampai aku menangkap mereka."

Edward menatapku, menghembuskan napas panjang dan menggenggam tanganku. "Jangan lukai tanganmu untuk hal menjijikan seperti wanita itu. Biarkan aku menangani ini."

"Ini juga berhubungan denganku. Paling tidak, aku ingin menghantam kepalanya dengan batu baru kubiarkan kau menanganinya."

Edward tersenyum walau kecemasan masih nampak di wajahnya. "Akan menyenangkan melihatmu begitu, tapi tidak. Aku tidak mau kau terluka."

"Aku bisa saja membuat Callia ketakutan begitu melihatku," kataku meyakinkan tetapi Edward menggeleng.

"Aku tahu kau bisa. Nyatanya, ia emang takut padamu, tapi aku ingin menanganinya sendiri dengan caraku, tanpa melibatkanmu." Edward mengelus punggung tanganku dengan ibu jarinya. "Kulakukan ini supaya aku merasa tenang."

Aku bisa merasakan kekhawatiran Edward, jadi yang kulakukan adalah menyetujuinya setelah menarik napas panjang. "Baiklah. Lakukan yang kau mau."

Edward tersenyum lega. Ia mengendarai mobilnya menuju rumahnya, dan menciumku sesaat setelah mesin mobilnya dimatikan. "Mulai saat ini, jangan ke mana-mana sendirian. Aku tidak mau mengurangi usiaku karena terlalu mencemaskanmu. Kita harus bersama sampai akhir."

Aku menatap wajah Edward, bertanya-tanya apa yang ia maksud dengan sampai akhir? Mungkinkah ia ingin menikahiku? Mungkinkah ia menginginkan hubungan yang jauh lebih serius dari sekedar yang kami miliki saat ini? Jika iya, Edward harus menunggu. Aku tak tahu berapa lama, tetapi ia harus menunggu. Aku tak punya keinginan menikah dan tidak mau hamil duluan.

"Aku akan bersama dengan Lucas atau Mark, atau yang lainnya. Jangan cemas," kataku sambil mengusap wajahnya. "Tangkap saja dua bajingan itu dan buat mereka menjilat kakimu untuk memohon ampun."

"Akan kuhancurkan mereka." Edward menciumku lagi sekilas sebelum turun dari mobil dan menggandengku masuk ke rumah.

Aku mengganti pakaianku, bersiap-siap tidur sementara Edward terus mengikuti ke manapun aku pergi dan mengawasi apapun yang kulakukan. Aku menatapnya ketika ia mendudukan diri di ranjang, beberapa saat setelah aku berbaring.

"Ingat aturannya, beri aku privasi," kataku mengingatkan.

"Aku mencoba, tetapi sulit sekali," balasnya kemudian membaringkan diri di sampingku dan memelukku erat. "Sulit sekali menjauh darimu dan melepaskan pandanganku sebentar saja."

"Kalau begitu, mulailah belajar menahan dirimu."

Edward menarik napas panjang, mengecup keningku. "Kau lumayan kejam."

"Aku sangat kejam dan konsisten."

"Mau bagaimanapun aku tetap akan menyukaimu." Edward meraih selimut dan mengecup keningku sekali lagi. "Tidurlah. Selamat malam."

Aku memejamkan mataku, membalas pelukannya yang terasa nyaman.

"Aku mencintaimu," katanya terdengar tegas walau lembut.

Aku tak membalas, mengeratkan pelukanku dan mencoba tertidur. Aku masih belum sampai pada tahap mencintai, tapi baiklah. Siapa juga yang tidak bisa mencintaiku? Kuputuskan tak membalas ucapan Edward sampai waktu memutuskan aku bisa membalas ucapannya dan membuatku sampai di titik mencintai. Mungkin, ia harus menunggu sampai hari itu tiba.

Twenty OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang