tiga puluh tiga

9.8K 1.6K 271
                                    

Melisa dan pendukungnya membuat surat perjanjian dengan ditandatangani kepala sekolah sebagai saksi. Mereka sebaiknya tidak bertingkah kalau tak mau bertemu denganku di meja hijau. Aku mungkin tak punya uang, tapi Loey sepertinya masih mendukungku terlepas aku sudah meninggalkan Edward.

Ponselku terus bergetar sejak aku masih di dalam kantor kepala sekolah karena membuat surat perjanjian dibutuhkan waktu yang sedikit lama untuk negosiasi. Selain itu, aku juga harus beramah-tamah pada kepala sekolah yang selalu memihakku. Tentu saja karena aku donatur terbesar. Kalau aku tak punya uang, ia mungkin akan memihak Melisa.

Aku kembali ke mobil, mengendarainya menuju Orenji. Ponselku lagi-lagi berdering sehingga aku terpaksa menyambungkannya dengan earphone dan menjawab telepon Loey.

"Kubilang telepon lima belas menit-"

"Aku baru selesai dengan wanita-wanita sial itu, oke?" potongku kesal. "Terimakasih atas bantuanmu. Kupikir kau akan mematikan telepon."

"Aku sangat ingin mematikan teleponmu kalau saja-" Loey menghentikan ucapannya dan berdecak kesal. "Dari mana kau tahu nomorku?"

"Lucas. Kau menangani sengketanya kan?"

"Ah, benar juga. Anak itu kan tahu di mana kau berada dan selalu mengeluarkan banyak uang supaya keberadaanmu tersamarkan! Harusnya aku tak menanyakan soal itu!" gerutunya membuatku menyeringai. "Di mana kau sekarang?"

"Aku akan beritahu jika kau tidak memberitahu Edward Drew."

"Kau gila ya? Dia mencarimu bertahun-tahun dan hampir gila karena masih tak bisa menemukanmu! Pria itu bahkan hampir membusuk karena menunggu- sialan! Lupakan saja! Katakan di mana kau berada. Aku tidak akan beritahu Edward."

"Kau bisa cari aku di Orenji. Cari saja di maps, kau akan temukan dengan mudah," kataku ringan.

"Kau kerja di situ?"

"Aku pemiliknya! Memangnya, aku kelihatan seperti pegawai selamanya?" kesalku. "Jovanna juga mampir ke kafeku kemarin. Kau boleh mampir kapan-kapan kalau sedang liburan."

"Lalu, apa kau sudah menikah?"

"Belum."

"Kau bilang kau punya anak!"

"Aku memang punya anak dan tidak menikah. Ia lucu dan menggemaskan."

"Anak adopsi?"

"Kau mau kupukul? Beraninya menyebut anakku anak adopsi! Aku membawanya dalam perut selama sembilan bulan dan kesakitan setengah mati saat melahirkannya!" omelku kesal.

"APA?" Loey berteriak. Bisa kubayangkan matanya membulat besar saat ini. Aku mengumpat kesal.

"Bisakah kau jangan teriak-teriak?" tanyaku jengkel.

"Kau hamil di luar nikah?"

Loey banyak tanya sekali. Aku jadi menyesal sudah meneleponnya. Ia sedang menginterogasiku atau apa?

"Benar."

"Anak siapa?"

"Kau masih berani tanya? Tentu saja itu anak Edward! Aku cuma pernah tidur dengannya seumur hidup!" gerutuku sedikit kesal. "Katakan padanya supaya pakai pengaman jika mau berhubungan seks dengan sugar baby barunya nanti. Pria itu tidak tahu cara menahan diri dan tidak bisa berhati-hati!"

"Beritahu langsung padanya!"

"Tidak mau. Ingat ya, jangan beritahu soal ini pada Edward. Tutup mulutmu dengan benar kalau tak mau kugoreng hidup-hidup!"

Twenty OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang