sembilan belas

9.6K 1.6K 136
                                    

Aku melihat Callia bersama dengan anaknya di antrian. Berani sekali wanita itu muncul di hadapanku.

"Wanita itu bagianku," kataku pada Mark saat ia mencoba memanggilnya.

"Apa?"

"Tutup palangmu," perintahku yang mau tak mau dituruti Mark.

"Antriannya, silakan ke konter sembilan!" panggilku sambil tersenyum.

Wanita itu menatapku sinis, kemudian beranjak menujuku dengan gaya sok angkuh sambil menggandeng anaknya yang tampak lusuh. Sial, ia tidak merawat anaknya?

"Jangan bilang itu mantan istri Edward," bisik Mark yang kubalas dengan senyum meremehkan.

"Selamat siang dengan Miu bisa dibantu?"

Wanita itu menatapku tajam, sinis dan tak suka. Meletakan uang setoran dan buku tabungannya di konterku dengan kasar.

"Aku tidak menyangka bank sebesar ini menerima pelacur untuk kerja di sini," gumamnya keras membuatku menyeringai.

"Saya juga kaget melihat pelacur rendahan menabung di sini," balasku tenang sambil menghitung uangnya. "Apa ini hasil melacur atau hasil menggadaikan rumah Edward?"

"Kau benar-benar merasa berkuasa karena memiliki Edward, huh?" tanyanya sambil menatapku geram.

Aku tersenyum manis, "tentu saja. Ia punya banyak uang yang otomatis akan memberi kekuasaan untuk saya."

"Kau pasti bersenang-senang dengan suami orang," sindirnya.

"Saya tak berhubungan dengan suami siapapun. Kalau duda, itu adalah Edward." Aku menatapnya, tersenyum walau mataku memandangnya rendah. "Ah, jangan bilang Anda masih menganggapnya suamimu? Kalian kan sudah bercerai."

Wajah perempuan itu berubah berang. Ia langsung memukul meja konter emosi. "Kau!"

Beberapa orang menoleh ke arah kami dengan terkejut. Aku tersenyum polos, membuat orang-orang mulai berbisik dan menatap wanita itu sinis. Callia menoleh ke sekitar, menyadari jika ia tak berada di area atau posisi yang menguntungkan. Aku sudah pernah bilang kan jika aku ini bak primadona di area kantorku? Di kalangan nasabah pun, aku juga disukai.

"Bersikaplah yang baik di sini, jalang," bisikku masih menampakan senyum manisku yang sebenarnya beracun. "Kau tahu ini wilayahku."

Callia mendengus kesal dan mendelik padaku. "Kau akan tahu akibatnya!"

Ia kemudian beranjak pergi sambil menyeret anaknya kasar. Aku menatapnya yang melangkah menuju toilet, melirik Mark yang menatapku.

"Jangan memancingnya. Ia bisa berbuat yang tidak-tidak," ujar Mark yang membuatku menyeringai.

Aku menutup palangku, mengunci laci dan komputer, kemudian meraih cutter yang ada di mejaku. Kusimpan benda itu dalam saku jasku, beranjak menyusul Callia ke toilet. Anak lelakinya menunggu di luar sementara wanita sial itu ada di salah satu bilik toilet. Aku mendengar suaranya yang sedang menelepon seseorang, berbicara menyerapah dan menyebut-nyebut sesuatu tentang memberiku pelajaran. Fokusku sedikit pudar ketika anak lelakinya menarik ujung jasku.

"Ibu akan melukai Kakak jika terus berada di sini," lirih anak itu pelan.

Aku tersenyum, menatap wajahnya yang terdapat sedikit memar dan mengusapnya lembut. "Apa ia juga melukaimu?"

Anak itu menatapku takut-takut dan mengangguk. Aku mengelus rambutnya, memberikan permen yang selalu kusimpan dalam jas padanya. "Siapa namamu?"

"Orion."

"Nah, Orion, keluarlah lebih dulu. Aku ingin membicarakan sesuatu dengan ibumu. Jangan masuk sampai kami keluar, mengerti?"

Orion menatapku ragu, mengangguk dan meraih permen yang kuberikan. Ia melangkah keluar sementara aku berdiri di membelakangi cermin, menunggu wanita sial itu keluar. Sekitar lima menit kemudian, ia keluar dari bilik dan langsung terperanjat kaget begitu melihatku yang sudah menungguinya.

Twenty OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang