tiga puluh lima

10.2K 1.6K 163
                                    

Aku pulang pagi-pagi sekali, sebelum kafe buka pukul sepuluh nanti. Pegawaiku punya kunci cadangan. Mereka bisa membuka pintunya saat aku tak datang. Aku juga sepertinya tak bisa kembali ke kafe untuk hari ini. Edward langsung memintaku mengajaknya bertemu dengan Elliot juga kedua orang tuaku begitu ia membuka matanya. Aku bahkan tak sempat membuatkan sarapan karena ia sudah mendesakku pagi-pagi seperti ini.

"Demi Tuhan, bisa sabar tidak?" geramku hampir memekik sambil memelototi Edward yang berdiri di belakangku saat aku berias. "Aku harus menutupi wajah kurang tidurku atau Ibu akan menyadari yang kita lakukan semalam!"

"Kenapa? Kita sudah melakukannya sampai memiliki anak," balas Edward heran.

Aku mendelik kesal, menyisir rambut dan beranjak dari kursi meja riasku. "Begitu ia tahu, ia akan memukulmu sampai babak belur dan memintamu menikahiku hari ini juga!"

"Aku tidak keberatan. Jeffrey bisa menyediakan gedung dan mempersiapkan upacara pernikahan. Lalu kita bisa langsung mengadakan resepsi malamnya," kata Edward membuatku menatapnya kesal.

"Jeffrey masih kerja denganmu?" tanyaku dibalas anggukan Edward. "Wah, kasihan sekali! Ia pasti sudah mengalami penuaan dini sekarang."

"Aku tidak separah itu!" protes Edward tersinggung.

Aku memutar bola mata malas, menghampirinya dan menarik jasnya. "Lepaskan jas ini. Orang-orang akan berpikir kau mau melamarku."

"Aku memang mau melamarmu," katanya membalas. "Kita bercinta lagi semalam dan kau mungkin akan hamil lagi."

"Aku akan menolakmu jika kau melamarku hari ini," sahutku malas. "Lepas jasmu sekarang juga atau kutelanjangi kau."

"Apa aku sudah bilang kau menjadi diktator sejak punya anak?" tanyanya sambil menatapku dengan wajah masam.

"Sudah, kau mengatakan itu semalam."

Edward menyengir, melepaskan jasnya perlahan. Aku mendorongnya pelan keluar dari ruanganku, membawanya masuk ke mobil dan menyalakan mesin.

"Kau sangat sukses sampai mampu hidup seperti ini," puji Edward membuatku meliriknya. Ia tersenyum, nampak bangga. "Aku sangat bangga padamu."

"Kau akan menangis tersedu-sedu kalau mendengar prosesku menjadi begini," celotehku, mengendarai mobil menuju rumah orang tuaku.

"Aku akan mendengarnya saat kita berdua saja dan punya banyak waktu untuk saling bicara."

"Kalau begitu, kau harus menunggu. Elliot akan menempel di sekitarmu terus-menerus," gumamku sambil memarkirkan mobil di depan halaman orang tuaku. "Kita sampai."

"Kau bilang rumah orang tuamu jauh? Kita sudah sampai kurang dari sepuluh menit," gerutu Edward menatapku kesal.

Ya, aku sempat bilang padanya jika rumah orang tuaku jauh dan akan makan waktu jika langsung pergi semalam. Aku tidak bohong, karena kalau malam hari aku harus ekstra hati-hati mengendarai mobilku kalau tak mau menabrak anjing liar atau sejenisnya. Karena berkendara hati-hati, aku jadi butuh waktu lebih lama dan lebih praktis menginap di kafe saja.

"Menurutku, ini lumayan jauh," balasku tanpa dosa membuka pintu mobil tanpa menunggu Edward mengoceh lagi.

Edward turun dari mobil, membuntutiku dengan wajah masam yang membuatku terkekeh. Aku meraih kunci rumah dari tasku, hendak memasukan anak kunci ketika Ibu membuka pintu secara tiba-tiba.

"Astaga!" pekikku terkejut. "Ibu!"

Ibu menatapku sinis, melirik Edward dan seketika bibirnya langsung terbuka. Ia langsung membukakan pintu lebar-lebar dan mendekat pada pria itu. "Astaga, wajahmu sangat mirip dengan Elliot!" komentarnya sambil menatap Edward seolah ia melihat simpanse beratraksi. "Pantas saja cucuku tumbuh begitu tampan!"

Twenty OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang