dua puluh sembilan

7.9K 1.5K 158
                                    

Seperti yang kurencanakan, aku kembali ke rumah orang tuaku. Mereka sempat bingung saat aku kembali, tetapi begitu kuberitahu jika alasanku kembali adalah karena aku hamil, Ibu langsung membisu. Ayahku, jelas marah. Mereka jelas ingin memukulku, tetapi tak bisa karena aku hamil dan mereka tak tega.

Jadinya, mereka mendiamkanku selama berminggu-minggu selama aku di rumah. Sepupuku kadang berkunjung, sekedar memberikan jus buah atau mengantarkan makanan. Aku yakin mereka sudah tahu soal kehamilanku dan mungkin membicarakannya juga di belakangku. Namun, aku tak peduli. Aku tak mau buang-buang tenaga untuk memikirkan mereka.

"Ibumu menangis lagi," kata Yona, sepupu yang rumahnya berada beberapa meter dari rumahku.

Ia biasanya datang setiap hari, mengantarkan buah-buahan dan kadang membuatkan milkshake jeruk buatku. Hari ini, ia hanya buah jeruk. Aku menghela napas pelan, mengeluarkan cokelat yang Harley bawakan minggu lalu saat ia berkunjung.

"Mau cokelat?" tawarku pada Yona yang langsung ia angguki.

Aku memberikan cokelat pada Yona, duduk di meja sambil mengupas jeruk dan melirik Yona yang menikmati cokelatnya. Aku tidak suka makan cokelat sejak aku hamil. Entah apa alasannya, yang jelas aku jadi alergi.

"Ibuku pergi ke rumahmu lagi?" tanyaku sambil mengunyah jeruk.

Yona mengangguk. "Kemarin malam juga, Ayahmu ke rumahku dan mulai menangis ketika bercerita."

Aku tutup mulut, mengunyah lagi dan memandang jeruk dengan tatapan kosong. Mereka tak mengatakan apa-apa ketika menatap wajahku, tetapi menangis di depan sepupuku. Bahkan, kemarin saja mereka masih mengantarku ke dokter untuk sekedar check up walau masih mendiamkanku.

"Lalu, kenapa kau menyembunyika identitas pria yang bertanggung jawab untuk kekacauan ini?" tanya Yona membuatku meliriknya. "Teman-teman priamu yang datang kemari jelas bukan orang yang bertanggung jawab. Jika mereka yang menghamilimu, mereka tak akan punya nyali kemari."

"Kau cukup pintar walau tinggal bersama orang-orang kolot ini," gumamku membuat Yona berdecak.

"Ini tidak lucu, Miu! Kau tahu, hampir satu kampung membicarakanmu-"

"Aku jelas tahu. Biarkan saja, mereka juga tak bisa memberiku uang, cuma bisa membicarakan saja," gerutuku. "Paling tidak, mereka mengumpulkan sumbangan supaya aku punya biasa bersalin kalau mau membicarakanku."

"Kenapa tidak minta pada Ayah dari jabang bayimu?" decak Yona kesal. "Bicarakan lagi baik-baik dengan kedua orang tuamu. Mereka sangat kecewa."

"Aku tahu, tapi apa yang bisa kulakukan? Aku juga mau meratapi nasibku, tapi aku tak punya waktu. Aku ingin fokus membesarkan anakku, dan mungkin mencari kerja," selorohku sambil mengunyah jeruk lagi. "Lupakan soal lulus, aku harus mencari pekerjaan."

"Beritahu pria itu dan minta dia menikahimu," ujar Yona sambil menatapku lurus. "Dengan begitu, kau tak perlu memikirkan soal uang."

Aku mendesah, "niatku juga begitu, mengingat ia sangat kaya."

"Lalu kenapa tidak kau lakukan?"

Aku menatap Yona lurus, bersandar di kursi seraya mengelus perutku lembut. Masih rata karena aku baru hamil sembilan minggu. "Ia membuatku terluka. Aku juga akan melukainya." Aku terdiam sejenak, merindukan Edward tetapi masih begitu marah padanya. "Aku lebih suka jadi ibu tunggal saja."

"Kenapa? Apa dia jahat? Apa dia tukang selingkuh?" terka Yona membuatku menggeleng.

"Dia sangat tampan dan juga baik, memperlakukanku seperti puteri dan selalu berusaha memanjakanku. Pria itu juga sangat kaya. Aku bisa hidup mewah tanpa perlu banyak berpikir soal uang jika aku mau. Masalahnya, ia terlalu posesif. Kadang, aku merasa seperti anjing peliharaan." Aku menarik napas panjang, mengusap mataku pelan. "Bagaimana kalau kita tidak membicarakan ini?"

Yona tutup mulut, sementara aku terdiam. Aku beranjak dari kursi. "Aku pusing. Aku akan tidur siang. Kau bisa nonton TV, tapi jangan terlalu berisik. Channel  nomor tujuh punya drama yang bagus, kusarankan kau menontonnnya."

Aku kembali ke kamarku, berbaring sambil menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Aku tidak mengalami morning sick atau sejenisnya yang sangat bagus buatku. Hamil saja sudah masalah besar, gejala morning sick akan memperburuk keadaan.

Aku meraih bantal guling, memeluknya sambil membayangkan jika Edward ada di sini. Mau bagaimana pun aku berpikir jika kami tak akan bisa bersama, aku tetap merindukannya. Semarah apapun diriku, aku masih merindukannya. Aku tak bisa mengendalikan perasaanku dan mungkin kerinduanku juga karena efek kehamilanku.

Aku sedikit menangis karena frustasi dan kebingungan dengan keadaan, lalu tertidur selama satu jam.

Saat aku bangun, Ibu sedang menyiapkan air kelapa. Sejak beberapa hari terakhir, ia menyiapkannya untukku karena menurut Bibi (ibunya Yona) air kelapa bagus untuk wanita hamil. Ibu menatapku sekilas ketika aku menghampirinya.

"Kenapa? Kau mual?" tanyanya.

Aku menggeleng, mendudukan diri di kursi dengan wajah tanpa ekspresi. Ibu meletakan gelas berisi air kelapa di depanku, menatapku dengan kening berkerut. "Bagaimana kalau kau mulai minum susu untuk ibu hamil? Kau bahkan tak minum vitamin atau sejenisnya."

"Iya," kataku pelan sambil meneguk air kelapa dan menatap wajah Ibu. Matanya sedikit sembab dan kerutan di wajahnya seperti bertambah. Aku merasa bersalah. "Maaf."

Ibu terdiam ketika ia mendengar bisikanku. Aku kembali melanjutkan, "aku akan kembali ke kota jika kehamilanku membuat kalian sedih."

Ibu masih tak berkata-kata, menatapku lekat sementara aku buru-buru menghabiskan air kelapa dan kembali ke kamar. Aku tak keluar sampai ibu memanggilku untuk makan malam. Saat aku menuju dapur, aku mendapati Ayah juga berada di sana, seperti sedang menungguku.

Aku tak mengatakan apa-apa, mulai menyantap makan malam tanpa bersuara. Keheningan sempat melanda selama bermenit-menit sampai Ayah membuka suara. "Makan sayuranmu sampai habis. Setelahnya, makan lagi jeruk yang Yona bawakan."

"Iya," jawabku pelan dan menghabiskan makananku.

Ayah langsung mengupaskan jeruk begitu aku selesai makan dan memberikannya padaku. Aku tak bisa berkata-kata, hanya bisa menerimanya dengan kepala tertunduk. Air mataku mengalir saat aku mengunyah jeruk.

"Kalau kau menangis, nanti bayimu juga akan merasa tertekan," gumam Ayah serak.

Justru aku semakin ingin menangis usai mendengar ucapannya. "Bukankah Ayah juga tak menginginkan anak ini?" tanyaku pelan.

"Ayah tentu menginginkan cucu," jawabnya parau. "Tapi bukan dalam kondisi yang begini."

Aku terisak pelan, membuat Ayah menegurku lagi, "jangan menangis saat hamil. Tidak baik untuk bayimu. Nanti dia mengira kau tak menginginkannya."

Ibu juga menangis, aku bisa mendengar isakannya. Namun, aku tak bisa mengatakan apa-apa dan hanya bisa menunduk sambil menangis.

"Jangan kembali ke kota. Tinggalah di sini. Paling tidak sampai kau punya pekerjaan tetap," kata Ayah pelan. "Ayah dan Ibu memang sangat kecewa tentang hal ini, tapi kami bisa apa? Kau sudah dewasa dan tahu resiko perbuatanmu. Kami juga tidak mungkin tega menelantarkanmu ke kota dengan keadaan begini."

"Ibu bisa memasak untukmu dan merawatmu," kata Ibu sambil menangis. "Jangan ke mana-mana. Di rumah saja."

"Aku juga maunya di rumah saja, tapi kalian akan terus menangis jika melihatku. Jujur saja, saat melihat wajahku, kalian akan merasa kecewa lagi karena aku hamil di luar nikah kan?" isakku pelan. "Dari pada mendiamkanku dan menangis di depan Bibi, kenapa kalian tidak memarahiku saja?"

"Benar! Ayah sangat ingin memukulmu dengan rotan! Kenapa kau tak bisa menjaga diri dan hamil di luar nikah?" marahnya membuat tangisanku menjadi. "Tapi, jika sudah begini, kami bisa apa? Mengusirmu? Tidak, kami sangat menyayangimu. Memarahimu juga tak tega karena takut bayimu mendengar. Kami bisa apa selain menangisi ini?"

"Maaf," lirihku sesak. "Maafkan aku."

Kami bertiga menangis, terisak tanpa henti selama hampir satu jam sampai aku merasa lelah menangis. Ibu menyuruhku kembali ke kamar, membiarkan piring ditumpuk untuk dicuci besok. Ayah membawakan lilin beraroma mint saat aku akan menutup pintu. Katanya supaya aku rileks. Ibu juga berpesan padaku supaya menggunakan kaus kaki sebelum tidur.

Setelah berminggu-minggu mendiamkanku, mereka akhirnya memutuskan untuk menerima keadaan malam itu.

Twenty OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang