dua puluh lima

8.9K 1.5K 124
                                    

Aku langsung mengemasi barang-barangku dari rumah Edward, mencari kontrakan yang paling dekat dengan kantorku dan membereskan barang-barangku malam itu juga. Aku masih percaya diri jika Edward akan langsung mencariku begitu ia tersadar dan membaca pesan yang kukirimkan. Makanya aku memutuskan pergi dan pindah malam ini juga. Aku tak ingin ditemukan olehnya dan kuanggap main-mainku dengannya sudah selesai.

Sejak awal bertemu, aku sudah tahu pria itu akan jadi masalah untukku tetapi aku terlalu menganggapnya santai dan malah bermain-main sampai sejauh ini. Aku menjadi marah setiap kali teringat betapa pria itu sangat posesif padaku tetapi ia bahkan tak bisa menjaga dirinya sendiri supaya jangan terlibat dengan wanita selain diriku. Pepatah lama memang benar, pria selalu mengecewakan.

Aku baru selesai berberes dan hendak membuang sampah ketika menemukan Callia yang sedang merawat Orion yang terluka di samping kontrakan baruku. Lalu, ada pria berwajah termenung duduk di sebelahnya sambil memegang kotak P3K dan menggumamkan sesuatu tak jelas. Pria itu mengenakan topi dan jaket, tetapi aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Wajahnya mirip dengan Callia dan saat itulah aku menyadari jika ialah pria yang menguntitku.

"Aku tak menyangka bisa menemukanmu di sini," kataku sambil mendekatinya.

Callia menatapku terkejut, melangkah mundur dan menyembunyikan pria itu di belakang tubuhnya. Sementara Orion anaknya memeluknya erat sambil memasang wajah ketakutan. Wah, mereka membuatku merasa seperti penjahat.

"Bagaimana kau menemukan tempat ini?" tanyanya sambil menatapku tajam. "Kau mengikutiku?"

Aku mendengus geli, menatapnya malas dengan wajah tak tertarik. "Aku punya banyak pekerjaan dan tak punya waktu mengikutimu. Tapi karena kebetulan kita bertetangga, aku akan menginterogasi kalian semua sedikit."

"Jangan ganggu Callia! Jangan ganggu Callia! Jangan ganggu Callia!"

Aku menatap pria penguntit yang menatapku dengan mata besar dengan wajah takut. Ia mengucapkan kalimat yang sama berulang-ulang, kemudian menggumamkan entah apa setelahnya. Aku menatap Callia dengan kening berkerut. "Kau memanfaatkan pria ini untuk menguntit dan mengancamku?" tanyaku menghakimi.

Pria itu jauh dari kata normal, tetapi aku tak tahu apa masalahnya. Callia menyembunyikan pria itu di belakang tubuhnya lagi.

"Dia melihat fotomu di ponselku dan berpikir jika kau orang jahat, makanya dia mengikutimu!" Callia menatapku garang.

"Tetap saja kau memanfaatkan pria yang bisa dikatakan cacat-"

"Dia mengidap autisme!"

"-baik, pria yang mengidap autisme untuk menguntitku dan melakukan kejahatan."

"Dia kakakku!" kata Callia cepat. "Dan aku tak pernah ingin melibatkannya dalam urusan kita." Sekarang, aku mengerti kenapa ia nampak familiar. Ia mirip Callia yang pernah kutemui, makanya aku merasa pernah melihatnya.

"Nyatanya ia menguntitku sampai membuat Edward cukup panik," kataku datar membuat Callia membuang wajahnya.

"Aku tidak berniat melukaimu. Aku hanya mengancamnya agar ia memberiku uang supaya kami bisa pergi dari sini," kata Callia pelan membuatku menatapnya dengan alis terangkat. "Kami tidak bisa hidup dengan nyaman di sini. Anakku selalu dirundung dan Kakakku dipukuli orang-orang. Aku ingin mengumpulkan lebih banyak uang supaya kami bisa pergi dan memulai kehidupan baru."

"Dengan cara mencoba melukaiku?" tanyaku sinis.

Callia menarik napas panjang dan mulai menangis penuh penyesalan. Entah ia sedang berakting atau tidak, ia benar-benar menangis terisak. Orion memeluknya lembut, menatapku dengan mata besarnya yang seolah meneriakan supaya aku memberi ibunya pengampunan.

Twenty OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang