enam

14.7K 1.7K 79
                                    

Aku tak masuk kerja keesokan harinya, dan baru akan masuk hari Senin. Tidak masalah. Aku bisa menikmati akhir pekanku yang panjang di kamar.

Aku menghabiskan hampir separuh hariku di kamar, menikmati kemewahan bermalas-malasan di kasur tanpa diganggu siapapun. Ponselku masih nonaktif. Tidak akan ada yang meneleponku kecuali Edward Drew. Yah, setelah bertengkar dengan diri sendiri, aku memutuskan untuk mengabaikan Edward dan berniat mengganti nomor ponselku.

Aku membersihkan tubuhku setelah berhasil mengumpulkan niat. Tubuhku tidak terlalu sakit seperti kata Ayah Jeno, tetapi lebamnya semakin nyata dan membiru. Mirip tato. Aku mengenakan pakaianku, mengikat rambut yang sudah kukeringkan dan keluar dari kamar. Aku membeli makan siang, dan nomor ponsel baru.

Iya. Sisi tidak mau peduli dalam diriku lebih kuat meyakinkanku untuk tidak main-main dan menghindar saja. Edward Drew bukan pria biasa. Bisa saja aku dalam masalah jika berhubungan terus menerus dengannya. Lagi pula, aku tak benar-benar tahu siapa dia. Tak banyak informasi yang ia miliki di internet. Seolah ia sengaja memblokir semua berita tentang dirinya dan menjaga profilnya tetap misterius.

Aku menikmati hari libur dadakanku dan tidak pergi kuliah malam harinya karena memang tak ada kelas. Kelasku dibatalkan, itu memberi sedikit kesenangan untukku, walau aku merasa kesal akan kelas penggantinya nanti. Lucas kembali mengajak berkumpul di Polar Bar malam ini. Aku memutuskan untuk pergi, sekalian bersantai. Yah, tak mungkin juga aku bertemu Edward Drew lagi di sana.

Seperti biasa, kami berkumpul di tempat biasa kami duduk. Hari ini, anak-anak itu memutuskan untuk tidak merokok dan lebih memilih untuk memperhatikanku yang baru mengalami insiden kecelakaan. Motorku sudah diservis. Terimakasih pada Jamie yang memperbaiki semuanya dan menggratiskan biaya servis.

"Aku tak mengerti kenapa kau bisa begitu santai sehari setelah kau kecelakaan," ujar Mark sambil menatapku yang sedang meminum jus jeruk.

Aku mengangkat bahu, "mungkin santai sudah mendarah daging di tubuhku."

"Kau minum obatmu dan makan dengan  benar kan?" tanya Jeno yang kuangguki.

"Ngomong-ngomong, aku mengganti nomor ponselku."

"Yah kami tahu. Notifikasinya muncul di grup," kata Lucas sambil melirikku sekilas. "Kau memang harus melakukannya."

"Memangnya ada apa?" tanya Harley heran.

"Seseorang mengirimkan pesan aneh untuknya. Tidak mengancam, tapi dia memang harus melakukannya supaya tidak terganggu," kata Lucas membantuku menutupi kisah Edward.

Aku mengangguk, meneguk jus jerukku dan bersandar di sofa. Mataku menelisik sekeliling. Sepi. Separuh diriku berharap bisa melihat wajah tampan Edward, tetapi aku bersyukur ia tak berada di sini. Aku bisa tenang.

Namun, aku melihat Jeffrey yang duduk di depan meja bar, menatap lurus ke arahku. Aku tak tahu berapa lama. Mungkin sejak tadi. Aku ingin mengabaikannya, tetapi ia membuat gestur seolah mengajakku bertemu secara rahasia. Kemudian, ia melangkah keluar dari bar.

Aku menatap kepergiannya, meneguk jus jerukku sekali lagi dan menarik napas. Haruskah kutemui saja dia? Aku memutuskan untuk mengikutinya. Jeffrey menungguku di dekat toilet, menatapku dengan kening berkerut ketika aku melangkah ke arahnya dengan agak tertatih.

"Ada apa dengan kakimu?" tanyanya.

"Kecelakaan," balasku seadanya. "Ada apa?"

"Parah?" tanyanya lagi.

"Tidak. Langsung saja ke intinya!" desakku membuat Jeffrey berdecih.

"Aku tidak sedang berbasa-basi. Kau pekerjaan baruku sekarang," katanya nampak kesal. "Aku bisa saja mati kalau kau sampai lecet."

Twenty OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang