sebelas

13.3K 1.6K 223
                                    

Rabu adalah jadwal rutinku pergi olahraga ke Sun Gym bersama Mark dan Lucas. Sayangnya, Lucas mendadak diare sehingga ia tak bisa olahraga. Mark memutuskan pergi menjenguk, sementara aku hanya mengirimkan parsel buah dan akan menyusul setelah olahraga. Aku tidak bisa meninggalkan olahragaku karena biaya membernya mahal. Lagi pula, Lucas juga tidak suka dijenguk. Aku juga belum pernah main ke rumahnya karena seingatku kedua orang tua Lucas tidak suka melihat anaknya membawa pulang gadis lain selain wanita yang akan mereka jodohkan. Padahal sebenarnya, mereka tak perlu khawatir. Aku kan tidak dianggap wanita dalam lingkungan pertemanan ini dan lagi, Lucas punya banyak simpanan yang tidak perlu disebutkan akan dia manjakan dengan kekayaan orang tuanya.

Aku meletakan kacamata dan botol minumku di meja yang ada, berjalan ke atas treadmill dan mulai menyalakannya. Aku tidak begitu kuat lari dalam waktu lama walau lariku cukup cepat, jadi kuputuskan hanya mengatur mode jalan cepat saja. Sun Gym masih sepi. Pada hari dan pukul ini, jarang sekali aku melihat orang yang berolahraga. Aku suka karena itu membuatku serasa memiliki gym ini.

Selesai dengan treadmill, aku memutuskan untuk menggunakan dumbell supaya lenganku mengecil dan berotot. Aku tidak mengerti kenapa simpanan lemak di lenganku begitu banyak sampai aku merasa jengkel melihatnya. Hampir selama satu jam lebih aku berolahraga, banjir keringat dan sungguhan nampak jelek. Aku mengelap keringat, melakukan pendinginan sebelum minum sambil mengatur napas. Saat itulah aku melihat seseorang masuk ke dalam ruang gym.

Aku tidak bisa benar-benar melihat wajahnya karena tidak menggunakan kacamata. Namun, figurnya memgingatkanku pada Edward. Ia tinggi, dengan kulit nampak begitu putih dan bentuk tubuh yang atletis. Aku tidak mengerti kenapa ia memakai jas saat berada di gym. Benar-benar mirip Edward Drew.

Oh, tunggu. Itu memang Edward.

Aku melangkah mundur beberapa langkah ketika ia terus berjalan menghampiriku. Ia kelihatan bersih, aku tak mau mengotori tubuhnya dengan keringatku.

"Kenapa kau di sini?" tanyaku membuatnya mengangkat sebelah alis, seolah aku menanyakan hal yang tak perlu.

"Tempat ini milikku. Salah jika aku di sini?" balasnya ringan membuatku membelalak.

"Apa? Tempat ini?" Wah sumpah, aku tidak tahu lagi sebenarnya sekaya apa pria ini. Mark pernah bilang jika separuh kota ini miliknya. Aku jadi penasaran apa memang Edward memiliki separuh kota ini secara teknis.

"Kau tidak tahu?" tanyanya heran membuatku menggeram sebal.

"Memangnya aku ini petugas pajak sampai tahu jumlah kekayaanmu? Petugas pajak saja belum tentu tahu!" kataku jengkel.

Edward nampak ingin membalas ucapanku ketika seorang pria tinggi dengan rambut dicat abu-abu masuk ke dalam gym dengan berkas di tangannya. Sama seperti Edward, ia juga mengenakan jas. Namun, ia lebih fashionable dari Edward.

"Wanita itu setuju menandatangani surat cerainya," katanya tertuju pada Edward sambil melangkah mendekat untuk memberikan berkasnya. "Kau tidak mau hak asuk anakmu?"

Edward menerima berkasnya, memeriksa dan menandatanganinya sejenak kemudian memberikannya lagi pada pria itu.

"Tidak perlu," katanya ringkas.

Aku terdiam, berusaha mencerna yang diucapkan oleh pria itu. "Surat cerai dan hak asuh anak?" Aku menatap Edward garang. "Kau punya istri?"

Pria tinggi itu menatap Edward dengan wajah terkejut, nampak tak enak. Aku menatapnya tajam, membuatnya melirik Edward sekali lagi dan merapat padanya.

"Apa aku merusak rencana mulusmu?" tanyanya berbisik yang sebenarnya tak perlu karena aku bisa mendengarnya.

Edward menghela napas, mengabaikan pria tinggi itu dan hanya fokus menatapku. "Kami sudah lama berpisah dan sah bercerai dalam beberapa hari ke depan."

Twenty OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang